Polisi
itu menyebalkan! Seenaknya sendiri melakukan tilang pada anak kelas 3 SMA!
Padahal aku sudah punya SIM! Parahnya lagi aku lupa membawa surat izin
mengemudiku! Apalagi, polisi yang menilangku, beralasan bahwa aku terlalu muda untuk mengendarai kendaraan
bermotor! Apa wajahku masih seperti anak TK he?! It’s okay jika mereka
menilangku di siang hari atau malam hari. Tidak di saat aku berangkat sekolah
pagi ini! Sial!!
“Lihat ini Pak! Saya sudah SMA! Kelas 3!” ujarku sambil menunjuk badge nama sekolah di lengan seragamku.
“Lihat ini Pak! Saya sudah SMA! Kelas 3!” ujarku sambil menunjuk badge nama sekolah di lengan seragamku.
“Saya tidak berurusan dengan
sekolahmu atau kelas kamu. Yang jelas kamu tidak membawa SIM!” jawab polisi itu
enteng.
“Pak! Saya mau sekolah!!!” kataku
gusar.
“Tidak hanya kamu yang mau sekolah.
Itu juga banyak,” lagi-lagi polisi itu menjawab dengan tenang. Kali ini
tangannya menunjuk manusia-manusia lain yang bernasib sama denganku. Aku
berdecak sebal.
“Ini surat tilangnya,” polisi itu
menyerahkan secarik kertas padaku. Ingin kuremas kertas itu. Tapi aku tahu,
jika surat itu lenyap, motorku tak akan terselamatkan. Masalahnya, sekarang aku
terjebak di sini! Bagaimana aku bisa sampai di sekolah sebelum gerbang dikunci?
“Sekolahnya di mana, Dek?” tiba-tiba
seorang polisi muda menghampiriku. Jika aku sedang tidak kesal, pasti hatiku
berbunga-bunga. Pasalnya, polisi muda ini wajahnya ganteng. Iya ganteng. Tapi
tertutup sama angkuhnya profesi polisi; menilang pelajar seenaknya. “Kok diam?
Mari saya antar. Sekalian sama yang lain,” tuturnya halus.
“Tunas Muda Pancasila,” jawabku
ketus. Aku mengutuk diriku sendiri. Ditawari secara halus kok malah ketus.
Payah!
Aku
pernah membayangkan bagaimana rasanya naik tank kemanapun aku pergi. Tapi
jika berangkat sekolah naik mobil polisi belum pernah sama sekali! Aku cukup
beruntung berada di kursi depan. Di belakangku ada 4 pelajar lain yang
berdesakan. Padahal tubuhnya tidak seramping aku. Ah, tak masalah. Yang
penting, aku bisa sampai di sekolah dengan tepat waktu!
Sialku
tidak hanya sampai pada penilangan. Tapi berlanjut pada keberangkatanku menuju
sekolah. Aku adalah pelajar terakhir yang sampai di sekolah! Alhasil aku telat
30 menit! Aku urung berterima kasih. Kekesalanku pada polisi memuncak pada hari
ini dan selamanya! SELAMANYA!
***
“Cie
jadi pacarnya polisi. Enak tuh! Diantar pake mobil,” celetuk kakakku. Aku
mendelik.
“Udah,
deh, Mas. Hentikan!” pekikku.
“Cie
marah. Ampun deh. Jangan-jangan sebentar lagi aku dipenjara sama pacar kamu.
Hi....” jawab kakakku seraya bergidik.
“Siapa
pula yang pacarnya polisi. Polisi itu tua! Aku kan masih kelas 3 SMA!” tukasku
lalu segera meninggalkan kakakku yang kali ini terkekeh riang. Bejekannya
berhasil! Sialan!
Setelah
bejekan kakakku tadi, aku termenung di jendela kamar. Mengamati rumah di depan rumahku.
Dulu aku sering main ke sana. Main sama anak lelaki si pemilik rumah yang
berumur tak jauh beda denganku. Bahkan, aku pernah ngambek berkepanjangan
gara-gara teman kecilku itu tidak datang pada hari ulang tahunku. Aku tertawa
kecil di jendela.
Sekarang,
rumah itu dijadikan kos untuk putra. Kakakku yang girang. Hampir tiap waktu dia
yang main ke sana. Kira-kira apa yang dibicarakan cowok-cowok itu ya? Cewekkah?
Atau sekolah? Pekerjaan? Pikiranku meracau. Sampai mataku tertumbuk seorang
cowok yang baru saja keluar dari rumah itu.
“Oh....
kos di situ,” gumamku. Polisi yang mengantarku kemarin! Yang membuatku
terlambat kemarin. Huh! Kenapa polisi itu harus tinggal di depan rumah, sih?
Gerutuku sebal.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar