Sudah
beberapa hari ini, aku melihat polisi muda itu keluar-masuk kosnya. Bahkan,
terkadang membawa motor polisi yang sering kulihat di jalan raya. Keren sih.
Coba saja dia tidak membuatku terlambat. Pasti aku betah nangkring di teras
ngelihatin dia. Hihi. Pikirku jahil sembari memeriksa tugas buat besok.
“Bahasa
Indonesia.... Puisi..... Foto.... Ah, ya ampun! Aku belum motret!” pekikku.
“Motret bunga di mana ya?” aku berpikir. Sejurus kemudian, muncul lampu di atas
kepalaku. Aku tahu di mana tempatnya. Aku segera menuruni tangga, mengambil
kamera kakakku, lalu menjalankan sebuah misi.
Sepi.
Tak ada orang. Aku celingak-celinguk dari teras rumah sambil membawa kamera.
Kakakku masih mandi. Jadi, tak perlu ada perang dunia ke-3 gara-gara aku
meminjam kameranya tanpa izin. Sekali lagi aku memastikan suasana lengang sore
ini depan rumahku. Para penghuni kos pasti tengah bersantai di kamarnya
masing-masing atau malah sedang bermain dengan teman-temannya. Dan yang paling
penting, tidak ada polisi di rumah itu! Semoga. Kuayuhkan langkahku menuju
depan rumahku.
Klik!
Aku memotret bunga anggrek yang tengah mekar di halaman rumah ini. Meskipun
tidak begitu luas, namun halaman rumah ini tampak asri berkat belasan tanaman
yang tampak sedap dipandang mata. Bu Tika, pemilik rumah ini, sangat telaten
merawat tanaman-tanamannya. Acapkali aku menjumpainya tengah menyiram bunga
anggrek yang menggemaskan untuk segera dipetik.
Klik!
Aku mengarahkan kamera pada bunga anggrek berwarna ungu yang tampak mungil,
imut-imut. Aku tersenyum sendiri melihat aneka ragam bunga menggemaskan ini.
Dan ketika akan mengarahkan kamera pada bunga yang ketiga, aku dikejutkan pada
sebuah suara di belakangku.
“Dek?”
deg! Jantungku berdetak cukup keras. Mati aku! Ketahuan! Spontan aku berteriak
dalam hati.
Aku
menoleh. Seorang pria ganteng dengan wajah bingung tertangkap mataku. Ha?
Polisi itu? Ya! Aku bertemu polisi itu! Sungguh memuakkan! Antara gugup dan
kesal bercampur jadi satu. Gugup karena aku baru saja ketahuan, dan kesal
karena dia pernah membuatku terlambat hingga aku dibejek habis-habisan.
Terutama oleh kakakku sendiri.
“Oh,
kos di sini juga?” tanyaku dengan nada datar. Pasti orang itu berpikiran aku
cuek sekali. Iya cuek. Kulihat dia mengangguk ragu. Aku pura-pura mengotak-atik
kamera. Padahal aku sama sekali tidak mengerti selain tombol untuk mengambil
gambar dan melihat hasil gambar!
Dia
diam. Aku juga diam. Tapi sepertinya, dia masih ingin berbicara denganku.
Tiba-tiba Bu Tika keluar rumah. Dia bertanya pada orang di depanku.
“Ravi,
kamu tahu Sandi?” tanya Bu Tika. Pria di depanku menggeleng. “Padahal tadi dia
kusuruh beli gas di warung depan. Kemana ya?” Bu Tika bertanya pada dirinya
sendiri.
Aku
masih terlongo. Bingung bagaimana bersikap jika ada Bu Tika. Tidak enak kalau
tidak menyapa, tapi bingung bagaimana menyapa. Seketika, pandangan Bu Tika
mengarah padaku. “Ehhh.... ada kamu.
Sedang apa?” tanyanya. Aku tersenyum bingung.
“Ngg...
motret anggrek, Tante,” jawabku.
“Ohh...
saya kira lagi main sama Ravi,” balas Bu Tika lalu tertawa. Aku ikut tertawa.
Tapi terlihat sumbang. Otakku masih memikirkan satu nama yang disebut Bu Tika
tadi. Ravi? Teman kecilku itu? Dia sudah pulang? Eh, tadi Bu Tika menyebut nama
Ravi, dan pria di depanku ini menoleh. Berarti dia....
“Sudah
lupa sama Ravi ya?” dia buka suara setelah Bu Tika masuk rumah lagi. Giliranku
tertegun sendiri. Akhirnya senyum campur adukku keluar. Dan lebih didominasi
oleh senyum malu.
“Hm...
he-he. Ya udah. Saya mau pulang,” ucapku. Dia juga tersenyum kaku.
“Motretnya
udah?” dia masih bertanya seakan mengulur waktu untuk berbicara dengan manusia
tidak punya sopan santun ini!
“Ng...
udah kok. Udah banyak,” jawabku. Setelah mengeluarkan wajah senyum tak senyum,
aku segera mengambil langkah seribu menuju kamarku.
Setibanya
di kamar, aku menelungkupkan wajahku di bantal. Sumpah! Malu banget! Aku udah
pernah ketus sama Ravi, padahal Ravi menolongku. Aku juga udah cuek sama Ravi,
padahal dia Cuma mau nyapa baik-baik. Parahnya lagi, aku tidak tahu kalau dia
Ravi. Dan aku dengan sotoynya mengatakan kalau dia kos di rumah Bu Tika. Ibunya
sendiri!! Aih, ya ampun!
Setelah
kehabisan oksigen di bungkaman bantal, aku membalik tubuhku. Menatap
langit-langit kamar, mengajaknya berbicara. Mas Ravi itu kan umurnya nggak beda
jauh sama aku. Mungkin dia sekarang, umurnya belum mencapai 25 tahun. Image polisi
itu tua, lenyap sudah. Lamunanku beberapa hari yang lalu berputar ulang dalam
memoriku. Bagaimana aku sering main sama polisi itu, dulu. Bagaimana aku
ngambek gara-gara polisi itu tidak datang di hari ulang tahunku, dulu. Tapi
sekarang? Aku sudah ketus dan cuek padanya. Ah, entahlah. Yang penting
sekarang, tugasku!
Aku
membuka kamera kakakku. Mencari foto bunga anggrek Ravi. Setelah kutemukan, aku
melongo. Cuma 2? Kabur semua lagi. Ah, jika aku kembali, tentu aku sudah ganti
wajah badak. Apalagi di sana sudah banyak anak kos yang nongkrong di depan.
Juga ada Ravi. Lantas, bagaimana ini? Ah, harus minta bantuan kakak.
“Mas
Fahri!” setengah berbisik aku memanggil kakakku. Manusia itu menoleh.
“Hhh...”
balasnya. Lalu melanjutkan gamenya.
“Fotoin
bunga anggrek di depan, dong, Mas,” rayuku. Matanya masih tak lepas pada
komputer di depannya. “Ya Mas ya? Di rumahnya Bu Tika itu lo,” kataku lagi.
Kali ini dengan menggoyangkan lengannya.
“Ahh...
motret sendiri kenapa, sih?” tanyanya. Aku menelan ludah. Malu Bang!
“Ngg....
tadi sih udah. Cuma, fotonya kabur semua. Hehe,” jawabku jujur. Tepat ketika
game di komputer kakakku meneriakkan gol. Dia terkekeh. “Tapi jangan bilang lo,
Mas!” tambahku cepat-cepat. Tawa kakakku makin keras. Dengan sigap, dia merebut
kamera dari tanganku lalu segera melangkah keluar. Aku mengawasinya dari
jendela kamarku.
Kulihat,
dia tengah berbicara sesuatu pada Ravi. Sepertinya minta izin atau hanya
basa-basi. Lalu seketika, orang-orang yang ada di situ tertawa. Hanya Ravi yang
tertawa dengan wajah bingung. Waduh! Mas Fahri bilang apa ya itu? Jangan-jangan
dia bilang kalau aku Cuma motret 2 gambar dan hasilnya buram semua? Gawat!
Begitu
kakakku sudah menjalankan pesanku, aku segera keluar kamar, menuruni tangga,
lalu menodongnya ketika dia sampai di ruang tamu.
“Mas
Fahri tadi bilang apa?” tanyaku dengan tatapan tajam. Kakakku mengedikkan bahu
lalu tertawa. “Mas!” pekikku. Dia malah tertawa makin keras.
“Cie
yang gaya jadi tukang potret. Fotonya kabur semua. Tapi bilangnya udah motret
banyak. Huuu....” sembur Mas Fahri. Aku beku di tempat. “Tadi Ravi yang bilang
gitu,” tambahnya. Duh! Muka ditaruh dimana ini?
“Mas
Fahri jahat! Kan aku udah bilang, Mas Fahri jangan cerita itu!”
“Ya
udah. Berarti ini fotonya aku hapus aja,” dengan entengnya kakakku membalas.
Aku kelimpungan.
”Eh,
jangan! Ya udah. Makasih ya Mas,” aku segera merebut kameranya lalu menuju
kamarku. Dan aku mendengar kekeh bangga dari kakakku. Uh! Menyebalkan!
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar