Setiap
aku di luar rumah, dan kebetulan Ravi juga di luar rumah, aku pasti segera
bersembunyi ke dalam rumah. Aku masih malu untuk sekedar tahu batang hidungnya.
Banyak sekali malu yang kutimbulkan sendiri. Dari yang aku ketus dengan seorang
polisi, padahal polisi itu ingin menolongku, sampai aku dengan sok tahunya
menduga dia adalah seorang anak kos. Ravi... Ravi... Aku tersenyum sendiri
memikirkan tetanggaku itu.
Tiba-tiba aku tersentak. “Ha? Sudah hampir jam 7?” aku mulai kalang kabut. Mengambil tas, lalu turun. Dompet ketinggalan. Naik lagi, ambil dompet, turun lagi. Jam tangan ketinggalan. Naik lagi, ambil jam tangan, turun lagi.
Tiba-tiba aku tersentak. “Ha? Sudah hampir jam 7?” aku mulai kalang kabut. Mengambil tas, lalu turun. Dompet ketinggalan. Naik lagi, ambil dompet, turun lagi. Jam tangan ketinggalan. Naik lagi, ambil jam tangan, turun lagi.
“Mas
Fahri!! Bangun!! Anterin aku sekolah!!” selama sepeda motorku masih berurusan
dengan kepolisian, kakakkulah yang jadi kuli antar-jemput. Duh, nyebelin
banget. Dia malah asyik molor, sedangkan aku serasa dikejar maling. “Ayo Mas!!”
kugoyang-goyang badannya. Dia pun terduduk tegak lalu menguap.
“Iye
iye...” dia bangkit sambil mengucek-ucek matanya. Aku segera keluar rumah,
memakai sepatu dengan kecepatan ekstra.
“Ayo
Mas cepetan!! Nanti kalau aku telat gimana coba?!” teriakku dari luar.
“Mau
sekolah ya? Bareng aku aja,” aku seketika menoleh. Di seberang rumahku sudah
ada polisi gagah nan ganteng yang baik hati. Aku tersenyum bingung.
Tiba-tiba
abangku muncul di ambang pintu dengan muka antusias. “Nah, itu kamu bareng sama
dia aja,” katanya. Aku melongo menatapnya. “Udah! Aku ngantuk banget!” pungkas
kakakku lalu menutup pintu rumah. Aku masih di antara kaget karena mendapat
pertolongan dari malaikat, si Ravi, dan kaget karena ada dorongan dari manusia
setengah iblis, kakakku.
Mau
tak mau, aku melangkah menuju depan rumah. Ravi tersenyum simpul. Hatiku
dag-dig-dug. Bagaimana tidak? Dianter sama polisi muda ganteng bro!
Motor
sport itu segera melaju, meninggalkan komplek perumahanku. “Pegangan ya!
Aku agak ngebut. Biar nggak telat lagi!” terdengar samar-samar suara Ravi. Aku
tak menjawab, hanya tersenyum. Aku merasa sangat dekat dengan manusia ini. Aku
bisa merasakan hangat tubuhnya.Dan jantungku berdegup tak karuan. Satu hal yang
belum pernah kualami sepanjang hidupku.
Sejak
kejadian aku diantar sama Ravi, kakakku kian gencar membejek. Entah mengapa,
aku suka itu. Biasanya, aku marah-marah tidak jelas padanya jika ia membejekku.
Tapi kali ini tidak. Aku menikmatinya. Aku malah semakin merasa bersemangat
kalau kakakku menghubung-hubungkan diriku dengan Ravi. Terkadang, aku berada di
teras rumah, sekedar untuk menyapanya pulang dari kantor, atau melihatnya
sedang bersantai. Lebih sering lagi, aku mengamatinya diam-diam dari jendela
kamarku. Oh, betapa gantengnya Ravi. Jangan-jangan aku sedang jatuh cinta? Ha?
Siang
ini, pulang sekolah aku dikejutkan dengan sosok sepeda motorku yang sudah
berada di garasi rumah. Aku terlongo sejenak sebelum memutuskan bertanya pada
kakakku.
“Mas,
siapa yang ambil?” tanyaku sambil menunjuk motor.
Kakakku
mengulum senyum. Aku sudah menduga bahwa ini dari tetangga baik hati depan
rumahku. Ravi. Aku memilih diam, tak melanjutkan pertanyaan. Dan segera berlari
menuju kamarku.
Oh,
Ravi. Baik sekali kamu. Kok bela-belain bawa sepeda motorku ke rumah? Kok kamu
tahu kalau itu motorku? Jangan bilang kalau kamu juga sudah mengamatiku sejak
peristiwa tilang-menilang itu. Ah, jangan buat aku gila, Ravi!
“Motornya
Ravi masuk bengkel. Jadi, dia bawa pulang motor kamu. Tadi Bu Tika telpon Mama.
Tanya yang mana motor kamu. Kebetulan prosesnya di kepolisian sudah selesai.
Sekarang, kamu tidak perlu diantar-jemput Mas Fahri,” cerita Mama yang
membuatku hanya menanggapi dengan kata “oh”.
Oh,
ternyata begitu ceritanya? Jadi, Ravi tidak mengamatiku? Jadi, Ravi tidak
sengaja membawa pulang motorku karena motornya sendiri masuk bengkel? Oh,
terima kasih Ravi. Kau buat aku dilanda kebingungan yang amat sangat. Kau buat
aku menerka-nerka yang berujung pada kesalahpahaman. Sekali lagi kamu memang
amat sangat baik hati sekali, Ravi! Yang tanpa kamu sadari, kaubuat aku jatuh
setelah melayang jauh di atas awan. Ya!
Tanpa kamu sadari.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar