Malam
minggu. 2 kata yang biasanya selalu kutunggu. Saat-saat dimana kita sebagai
pelajar, dimanjakan dengan 1 kata. Santai. Selama aku hidup, malam minggu tak
pernah kulewatkan dengan sia-sia. Tapi, tidak untuk hari ini. Aku merasa bosan
dengan acara televisi yang semakin tidak jelas; sosial media yang sudah sangat
sering kukunjungi; permainan di komputer yang sudah kuselesaikan sampai level
tertinggi.
Main
dengan kakakku? Dia sudah keluar selepas maghrib. Tinggal aku merenung sendiri
di teras rumah. Berbekal handphone yang sepertinya tidak begitu berguna, karena
pasti teman-temanku sedang bercengkrama dengan pacar masing-masing. Sempat
terlintas di benakku, apa yang sedang dilakukan tetangga depan rumahku. Hmm...
“Hai
tetangga!” seru sebuah suara. Kontan aku mendongak. Kudapati Ravi tengah tersenyum lebar ke arahku. Ah,
Ravi. Mengapa kau tampan sekali malam ini?
“Eh,
hai juga tetangga!” balasku dengan melambaikan tangan tanpa bermaksud
mengajaknya ke rumah. Tapi, dia malah melangkahkan kaki menuju teras rumahku.
Duduk di sampingku! Oh, Tuhan! Mimpi apa aku semalam?
“Nggak
keluar? Mumpung malam minggu,” tanyanya. Semerbak bau parfum membuatku kian
melayang. Apa dia sengaja datang kerumahku, dalam rangka apel?
“Hehe.
Keluar sama siapa? Tembok?” gurauku. Dia tertawa.
“Kalau
kamu mau, kenapa enggak?” balasnya. Akhirnya aku tertawa juga. Kenapa aku
merasa tersanjung dibuatnya tertawa? Kenapa tiba-tiba malam minggu ini sama
sekali tidak membosankan? Kenapa aku sangat suka dengan malam minggu yang
sempat kukatakan bosan? Kenapa tiba-tiba Ravi melangkahkan kaki di teras rumahku?
Kenapa cowok satu ini duduk di sampingku? Benarkah dia juga punya rasa
denganku?
“Oh,
iya. Kamu mau ngelanjutin ke mana?” tanyanya membuyarkan pertanyaan yang sempat
berkelebat di benakku.
“Ke
psikologi mungkin,”
“Nggak
ke polisi? Enak lho jadi polisi.”
“Takut
disuruh push-up,” mendengar jawabanku, Ravi tertawa. Aku juga ikut
menertawakan jawaban jujurku.
“Kalau
kamu nggak salah, juga nggak bakal dihukum kok. Tenang aja,” terang Ravi
setelah tawanya reda. Aku hanya tersenyum kecut.
“Eehh....
ada Ravi,” tiba-tiba Mama datang dari dalam. Sempat terlongo juga, kenapa
tiba-tiba Ibundaku jalan ke depan. Ravi hanya tersenyum basa basi.
Setelah
prosesi basa basi yang cukup basi, Mama ke dalam lagi. Tak butuh waktu lama,
Mama keluar lagi membawa 2 cangkir kopi susu hangat.
“Diminum
lo, ya,” kata Mama sambil menghidangkan. Aku sendiri tak tahu, kenapa Mama
tiba-tiba baik hati, di depan tetangga sendiri. Padahal, kalau teman-teman
sekolahku yang main, pasti aku sendiri yang membuatkan minum. Mengapa Ravi
diistimewakan? Jangan-jangan...... orang tuaku sudah menjodohkanku dengan
polisi di sampingku ini?
Kami pun mulai ngobrol ngalor-ngidul. Aku
suka ketika Ravi menceritakan bagaimana dia dulu dikarantina. Aku suka ketika
Ravi bercerita tentang pendidikan kepolisiannya. Aku suka ketika Ravi
menertawakanku yang bersikap pongah waktu aku ditilang. Aku suka ketika Ravi
meminum secangkir kopi susu hangat buatan Mama. Aku suka ketika Ravi
menjejakkan kakinya di teras rumah. Aku suka ketika Ravi mengingatkanku
bagaimana masa kecil kita berdua. Aku suka Ravi. Entah bagaimana makna rasa
suka ini. Aku sangat menikmatinya. Sangat!
“Aku
pulang dulu ya, bye!” katanya setelah melihat jam di tangannya, sambil berdiri. Sekarang sudah pukul 10
lewat. Itu tandanya, sudah 2 jam lebih dia bercengkrama denganku. Membuatku
lebih mengenal dirinya yang sekarang. Lebih dewasa, pintar, dan .....tampan.
Aku
melambaikan tangan lalu mengambil 2 cangkir yang sudah tak ada isinya setelah Ravi leuar dari halaman rumah. Meletakkan gelas-gelas itu ke dapur, dan segera berlari ke kamar. Berteriak
sekencang-kencangnya.
“Aaaaaaaaa.......!!!!”
teriakku sekuat tenaga. Yang sepertinya Ravi heran ada apa dengan tetangganya yang baru saja mendengar
cerita-ceritanya.
***
Tak
perlu punya pacar jika hanya untuk bermalam minggu atau mendengar ceritamu.
Cukup punya teman baik, pasti keinginanmu akan terpenuhi! Seperti diriku malam
minggu yang lalu. Ketika Ravi tiba-tiba mendatangiku, mendongengiku tentang
dunianya, dan mendegupkan jantungku dengan tak karuan. Oh, Ravi! Mungkin aku
jatuh cinta! Kepadamu! Apalagi bejekan dari kakakku minggu paginya.
“Cie...
abis diapelin polisi. Katanya polisi itu tua. Nggak mau sama polisi.”
“Ada
masalah kalau punya adik ipar polisi?” tanyaku spontan. Kakakku makin riuh
dengan bejekan-bejekan yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Entah
mengapa, aku menjadi suka. Menikmati helaian cerita Ravi. Karena sejak malam
minggu dia datang ke rumahku, hubungan kita sangat akrab. Bahkan bisa dibilang,
lebih dari sekedar teman.
Tapi, aku merasa ada yang berbeda dengan
pagi ini. Ya! Aku tak melihat Ravi memakai baju polisi. Bahkan aku tak melihat
batang hidungnya. Kemana cowok itu? Apakah dia sakit? Atau dia sedang ditugaskan
di luar kota?
Pagi tak ada Ravi, bukan Cuma hari
itu. Hari-hari berikutnya juga sama. Ravi tak ada. Kemana dia? Aku rindu
ceritanya. Aku rindu senyumnya. Aku rindu dia. Semuanya! Malam ini adalah malam
minggu keempat tanpa dirinya. Jadi, sudah sekitar satu bulan, dirinya tidak
mampir di rumahku. Bahkan, sudah satu bulan dia tidak menjadi tetanggaku.
Kemana dia? Apa dia tidak tahu ada seseorang yang merindukan hadirnya? Seorang
bocah SMA yang tinggal di depan rumahnya. Teman kecilnya. Ah, mungkin Ravi
sedang membuat cerita untuk diceritakan padaku.
“Ravi kan mau menikah,” cerita Mama
lugas. Aku bak disambar petir. Menikah? Itukah nanti yang akan ia ceritakan
padaku?
“Ka-kapan?” tanyaku terbata.
“Sudah lamaran. Mungkin sebentar
lagi,” jawab Mama yang tidak menyadari wajahku telah memucat.
***
Pagi ini aku memilih di rumah.
Mataku masih sembab bekas menangis semalam. Aku berpikir, tak ada yang perlu
ditangisi. Tapi, aku merasa perlu mengeluarkan sesak di dada dengan air mata.
Berkat Ravi. Polisi muda yang pernah kuacuhkan, yang ternyata teman kecilku,
dan ternyata adalah pemuda yang kucinta.
Lagi-lagi air mataku turun.
Sedangkan di depan rumahku, sebuah acara pernikahan sedang berlangsung.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar