Rabu, 09 April 2014

Dia (Bukan) Untukku - Episode 4



Malam minggu. 2 kata yang biasanya selalu kutunggu. Saat-saat dimana kita sebagai pelajar, dimanjakan dengan 1 kata. Santai. Selama aku hidup, malam minggu tak pernah kulewatkan dengan sia-sia. Tapi, tidak untuk hari ini. Aku merasa bosan dengan acara televisi yang semakin tidak jelas; sosial media yang sudah sangat sering kukunjungi; permainan di komputer yang sudah kuselesaikan sampai level tertinggi.

Main dengan kakakku? Dia sudah keluar selepas maghrib. Tinggal aku merenung sendiri di teras rumah. Berbekal handphone yang sepertinya tidak begitu berguna, karena pasti teman-temanku sedang bercengkrama dengan pacar masing-masing. Sempat terlintas di benakku, apa yang sedang dilakukan tetangga depan rumahku. Hmm...
“Hai tetangga!” seru sebuah suara. Kontan aku mendongak. Kudapati Ravi tengah tersenyum lebar ke arahku. Ah, Ravi. Mengapa kau tampan sekali malam ini?
“Eh, hai juga tetangga!” balasku dengan melambaikan tangan tanpa bermaksud mengajaknya ke rumah. Tapi, dia malah melangkahkan kaki menuju teras rumahku. Duduk di sampingku! Oh, Tuhan! Mimpi apa aku semalam?
“Nggak keluar? Mumpung malam minggu,” tanyanya. Semerbak bau parfum membuatku kian melayang. Apa dia sengaja datang kerumahku, dalam rangka apel?
“Hehe. Keluar sama siapa? Tembok?” gurauku. Dia tertawa.
“Kalau kamu mau, kenapa enggak?” balasnya. Akhirnya aku tertawa juga. Kenapa aku merasa tersanjung dibuatnya tertawa? Kenapa tiba-tiba malam minggu ini sama sekali tidak membosankan? Kenapa aku sangat suka dengan malam minggu yang sempat kukatakan bosan? Kenapa tiba-tiba Ravi melangkahkan kaki di teras rumahku? Kenapa cowok satu ini duduk di sampingku? Benarkah dia juga punya rasa denganku?
“Oh, iya. Kamu mau ngelanjutin ke mana?” tanyanya membuyarkan pertanyaan yang sempat berkelebat di benakku.
“Ke psikologi mungkin,”
“Nggak ke polisi? Enak lho jadi polisi.”
“Takut disuruh push-up,” mendengar jawabanku, Ravi tertawa. Aku juga ikut menertawakan jawaban jujurku.
“Kalau kamu nggak salah, juga nggak bakal dihukum kok. Tenang aja,” terang Ravi setelah tawanya reda. Aku hanya tersenyum kecut.
“Eehh.... ada Ravi,” tiba-tiba Mama datang dari dalam. Sempat terlongo juga, kenapa tiba-tiba Ibundaku jalan ke depan. Ravi hanya tersenyum basa basi.
Setelah prosesi basa basi yang cukup basi, Mama ke dalam lagi. Tak butuh waktu lama, Mama keluar lagi membawa 2 cangkir kopi susu hangat.
“Diminum lo, ya,” kata Mama sambil menghidangkan. Aku sendiri tak tahu, kenapa Mama tiba-tiba baik hati, di depan tetangga sendiri. Padahal, kalau teman-teman sekolahku yang main, pasti aku sendiri yang membuatkan minum. Mengapa Ravi diistimewakan? Jangan-jangan...... orang tuaku sudah menjodohkanku dengan polisi di sampingku ini?
Kami pun mulai ngobrol ngalor-ngidul. Aku suka ketika Ravi menceritakan bagaimana dia dulu dikarantina. Aku suka ketika Ravi bercerita tentang pendidikan kepolisiannya. Aku suka ketika Ravi menertawakanku yang bersikap pongah waktu aku ditilang. Aku suka ketika Ravi meminum secangkir kopi susu hangat buatan Mama. Aku suka ketika Ravi menjejakkan kakinya di teras rumah. Aku suka ketika Ravi mengingatkanku bagaimana masa kecil kita berdua. Aku suka Ravi. Entah bagaimana makna rasa suka ini. Aku sangat menikmatinya. Sangat!
“Aku pulang dulu ya, bye!” katanya setelah melihat jam di tangannya, sambil berdiri. Sekarang sudah pukul 10 lewat. Itu tandanya, sudah 2 jam lebih dia bercengkrama denganku. Membuatku lebih mengenal dirinya yang sekarang. Lebih dewasa, pintar, dan .....tampan.
Aku melambaikan tangan lalu mengambil 2 cangkir yang sudah tak ada isinya setelah Ravi leuar dari halaman rumah. Meletakkan gelas-gelas itu ke dapur, dan segera berlari ke kamar. Berteriak sekencang-kencangnya.
“Aaaaaaaaa.......!!!!” teriakku sekuat tenaga. Yang sepertinya Ravi heran ada apa dengan tetangganya yang baru saja mendengar cerita-ceritanya.
***
Tak perlu punya pacar jika hanya untuk bermalam minggu atau mendengar ceritamu. Cukup punya teman baik, pasti keinginanmu akan terpenuhi! Seperti diriku malam minggu yang lalu. Ketika Ravi tiba-tiba mendatangiku, mendongengiku tentang dunianya, dan mendegupkan jantungku dengan tak karuan. Oh, Ravi! Mungkin aku jatuh cinta! Kepadamu! Apalagi bejekan dari kakakku minggu paginya.
“Cie... abis diapelin polisi. Katanya polisi itu tua. Nggak mau sama polisi.”
“Ada masalah kalau punya adik ipar polisi?” tanyaku spontan. Kakakku makin riuh dengan bejekan-bejekan yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Entah mengapa, aku menjadi suka. Menikmati helaian cerita Ravi. Karena sejak malam minggu dia datang ke rumahku, hubungan kita sangat akrab. Bahkan bisa dibilang, lebih dari sekedar teman.
            Tapi, aku merasa ada yang berbeda dengan pagi ini. Ya! Aku tak melihat Ravi memakai baju polisi. Bahkan aku tak melihat batang hidungnya. Kemana cowok itu? Apakah dia sakit? Atau dia sedang ditugaskan di luar kota?
            Pagi tak ada Ravi, bukan Cuma hari itu. Hari-hari berikutnya juga sama. Ravi tak ada. Kemana dia? Aku rindu ceritanya. Aku rindu senyumnya. Aku rindu dia. Semuanya! Malam ini adalah malam minggu keempat tanpa dirinya. Jadi, sudah sekitar satu bulan, dirinya tidak mampir di rumahku. Bahkan, sudah satu bulan dia tidak menjadi tetanggaku. Kemana dia? Apa dia tidak tahu ada seseorang yang merindukan hadirnya? Seorang bocah SMA yang tinggal di depan rumahnya. Teman kecilnya. Ah, mungkin Ravi sedang membuat cerita untuk diceritakan padaku.
            “Ravi kan mau menikah,” cerita Mama lugas. Aku bak disambar petir. Menikah? Itukah nanti yang akan ia ceritakan padaku?
            “Ka-kapan?” tanyaku terbata.
            “Sudah lamaran. Mungkin sebentar lagi,” jawab Mama yang tidak menyadari wajahku telah memucat.
***
            Pagi ini aku memilih di rumah. Mataku masih sembab bekas menangis semalam. Aku berpikir, tak ada yang perlu ditangisi. Tapi, aku merasa perlu mengeluarkan sesak di dada dengan air mata. Berkat Ravi. Polisi muda yang pernah kuacuhkan, yang ternyata teman kecilku, dan ternyata adalah pemuda yang kucinta.
            Lagi-lagi air mataku turun. Sedangkan di depan rumahku, sebuah acara pernikahan sedang berlangsung.
Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini