Sabtu, 26 April 2014

Senja Terakhir




Seharusnya ini bukan senja terakhir. Seharusnya ini senja paling membahagiakan untukmu, Seharusnya saat ini kita masih bisa duduk di pinggir pantai sambil tertawa menikmati sunset. Jika saja, 2 jam yang lalu aku berhasil mengurungkan niatmu untuk pergi ke kampus. Jika saja aku sukses menghentikan langkahmu masuk ke sedan hitammu untuk ke kampus, pasti ini bukan senja terakhir kita.

            Apakah sebuah perpisahan harus digambarkan dengan tangis selama sepekan? Bahkan berbulan-bulan? Apakah sebuah perpisahan harus menyisakan kepahitan? Kenapa pula ada perpisahan? Kenapa harus ada akhir di tengah hubungan kita? Kenapa hubungan kita harus kandas tanpa ombak dan badai yang berarti? Apa karena aku terlalu sibuk dengan sekolahku dan kamu terlalu sibuk dengan hobi sepak bolamu—yang sempat memporakporandakan sekolahmu, sehingga Tuhan sengaja menamparku dengan perpisahan ini?
            “Lebih baik kamu merayakan syukuran dengan timmu, Mas, daripada balik ke kampus. Jauh lo. Bukannya kamu juga capek habis tanding kemarin?”
            Kamu hanya tersenyum dengan kekhawatiranku. “Aku kan tandingnya kemarin, bukan 5 menit yang lalu. Tenang saja. Aku baik-baik, kok,” jawabmu menenangkanku. Tapi tetap saja aku merasa gelisah. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Entah itu apa, aku tak mengerti.
            “Kamu itu pemain sepak bola, Mas. Masih betah-betahnya kuliah di ekonomi,” kataku lagi.
            Senyummu terkembang jadi tawa. “Memangnya kenapa? Salah jika nanti aku jadi pengusaha sukses, punya klub sepak bola sendiri, bahkan aku merintis SSB sendiri, tanpa bingung bagaimana mengelola keuangan dari usahaku? Aku kan sudah punya ilmu dasar tentang pengelolaan uang,” lagi-lagi kamu membicarakan mimpimu. Cita-citamu. Menjadi pengusaha yang punya klub sepak bola sendiri. Tidak perlu menggantungkan nasib klub dengan status pegawai negeri.
            “Tapi, Mas......”
            “Ssst... sudah. Oke! Aku janji. Pulang dari kampus, aku bakal ngajak kamu nonton sunset. Ya?” kamu memotong rengekanku. Aku masih manyun. “Jangan cemberut dong, Sayang,” manyunku berganti terlongo. Apa kamu bilang? Sayang? Sejak kapan kamu memanggilku dengan kata itu? Yang kutahu, kamu sangat geli dengan kata itu, bahkan anti-pati.
            “Sa-yang?” ulangku tak percaya pada pendengaranku.
            “Iya. Kenapa? Salah ya?” aku langsung tertawa keras dengan pertanyaan polosmu. Kenapa kamu jadi pelupa begini? Bahkan dengan wajah yang cukup lugu untuk ukuranmu.
            “Katanya jijik sama kata ‘Sayang’,”
            Seketika wajah polosmu berubah jadi wajah usil. “Ya nggak papa dong. Kan aku beneran sayang sama kamu. Kalau enggak, wah, aku pasti sudah nggak betah sama cewek bawel kayak kamu. Suka kepo sama klub lawan lagi,”
            “Ehhh....” aku hampir saja mencubitmu jika tanganku tak kautangkis dengan tepat. Kamu tertawa dan aku tertawa. Kita tertawa bersama. Tawa yang menurutku paling bahagia selama 3 tahun hubungan kita.
            “Sudah ya. Aku berangkat,” katamu akhirnya. Gelisahku datang lagi. Dan mau tak mau aku mengangguk. Mau tak mau aku melihat mobilmu menjauhi pelataran rumahku.
            Aku masuk kamar ketika sedanmu sudah tak terlihat lagi. Bersiap jika nanti kamu akan menjemputku untuk ke pantai—salah satu tempat favoritmu. Jujur, aku baru menyukai pantai setelah kamu mengenalkanku pada tempat itu. Tapi mungkin, mulai sekarang aku tak akan menyambangi tempat itu lagi. Sama seperti kamu yang tidak akan pernah ke pantai—nonton sunset lagi.
            2  jam yang lalu aku masih bisa melihat tawamu. Senyummu dengan mata menyipit yang jadi ciri khasmu. Yang membuatku suka padamu sejak pertama kali aku melihatmu. Sejak kamu menyatakan “Aku suka kamu” padaku. Sejak kamu mengajakku menemui orang tuamu—keluargamu, teman-temanmu; mengajakku menyukai sepak bola; mengajakku menyukai pantai terutama ketika matahari mulai tenggelam. Kamu sangat suka dengan senja, bukan karena kamu lahir di senja hari, tapi kamu suka melihat matahari yang terpejam secara lembut dan perlahan.
            Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini