Seharusnya ini bukan senja terakhir. Seharusnya ini senja paling
membahagiakan untukmu, Seharusnya saat ini kita masih bisa duduk di pinggir
pantai sambil tertawa menikmati sunset. Jika saja, 2 jam yang lalu aku
berhasil mengurungkan niatmu untuk pergi ke kampus. Jika saja aku sukses
menghentikan langkahmu masuk ke sedan hitammu untuk ke kampus, pasti ini bukan
senja terakhir kita.
Apakah sebuah
perpisahan harus digambarkan dengan tangis selama sepekan? Bahkan
berbulan-bulan? Apakah sebuah perpisahan harus menyisakan kepahitan? Kenapa
pula ada perpisahan? Kenapa harus ada akhir di tengah hubungan kita? Kenapa
hubungan kita harus kandas tanpa ombak dan badai yang berarti? Apa karena aku
terlalu sibuk dengan sekolahku dan kamu terlalu sibuk dengan hobi sepak
bolamu—yang sempat memporakporandakan sekolahmu, sehingga Tuhan sengaja
menamparku dengan perpisahan ini?
“Lebih baik kamu
merayakan syukuran dengan timmu, Mas, daripada balik ke kampus. Jauh lo.
Bukannya kamu juga capek habis tanding kemarin?”
Kamu hanya
tersenyum dengan kekhawatiranku. “Aku kan tandingnya kemarin, bukan 5 menit
yang lalu. Tenang saja. Aku baik-baik, kok,” jawabmu menenangkanku. Tapi tetap
saja aku merasa gelisah. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Entah itu
apa, aku tak mengerti.
“Kamu itu pemain
sepak bola, Mas. Masih betah-betahnya kuliah di ekonomi,” kataku lagi.
Senyummu
terkembang jadi tawa. “Memangnya kenapa? Salah jika nanti aku jadi pengusaha
sukses, punya klub sepak bola sendiri, bahkan aku merintis SSB sendiri, tanpa
bingung bagaimana mengelola keuangan dari usahaku? Aku kan sudah punya ilmu
dasar tentang pengelolaan uang,” lagi-lagi kamu membicarakan mimpimu.
Cita-citamu. Menjadi pengusaha yang punya klub sepak bola sendiri. Tidak perlu
menggantungkan nasib klub dengan status pegawai negeri.
“Tapi, Mas......”
“Ssst... sudah.
Oke! Aku janji. Pulang dari kampus, aku bakal ngajak kamu nonton sunset.
Ya?” kamu memotong rengekanku. Aku masih manyun. “Jangan cemberut dong,
Sayang,” manyunku berganti terlongo. Apa kamu bilang? Sayang? Sejak kapan kamu
memanggilku dengan kata itu? Yang kutahu, kamu sangat geli dengan kata itu,
bahkan anti-pati.
“Sa-yang?” ulangku
tak percaya pada pendengaranku.
“Iya. Kenapa?
Salah ya?” aku langsung tertawa keras dengan pertanyaan polosmu. Kenapa kamu
jadi pelupa begini? Bahkan dengan wajah yang cukup lugu untuk ukuranmu.
“Katanya jijik
sama kata ‘Sayang’,”
Seketika wajah
polosmu berubah jadi wajah usil. “Ya nggak papa dong. Kan aku beneran sayang
sama kamu. Kalau enggak, wah, aku pasti sudah nggak betah sama cewek bawel
kayak kamu. Suka kepo sama klub lawan lagi,”
“Ehhh....” aku
hampir saja mencubitmu jika tanganku tak kautangkis dengan tepat. Kamu tertawa
dan aku tertawa. Kita tertawa bersama. Tawa yang menurutku paling bahagia
selama 3 tahun hubungan kita.
“Sudah ya. Aku
berangkat,” katamu akhirnya. Gelisahku datang lagi. Dan mau tak mau aku
mengangguk. Mau tak mau aku melihat mobilmu menjauhi pelataran rumahku.
Aku masuk kamar
ketika sedanmu sudah tak terlihat lagi. Bersiap jika nanti kamu akan
menjemputku untuk ke pantai—salah satu tempat favoritmu. Jujur, aku baru
menyukai pantai setelah kamu mengenalkanku pada tempat itu. Tapi mungkin, mulai
sekarang aku tak akan menyambangi tempat itu lagi. Sama seperti kamu yang tidak
akan pernah ke pantai—nonton sunset lagi.
2 jam yang lalu aku masih bisa melihat tawamu.
Senyummu dengan mata menyipit yang jadi ciri khasmu. Yang membuatku suka padamu
sejak pertama kali aku melihatmu. Sejak kamu menyatakan “Aku suka kamu” padaku.
Sejak kamu mengajakku menemui orang tuamu—keluargamu, teman-temanmu; mengajakku
menyukai sepak bola; mengajakku menyukai pantai terutama ketika matahari mulai
tenggelam. Kamu sangat suka dengan senja, bukan karena kamu lahir di senja
hari, tapi kamu suka melihat matahari yang terpejam secara lembut dan perlahan.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar