Satu
jam yang lalu aku menunggumu di teras rumah dengan perasaan yang makin tak
menentu. Kamu belum datang. Sedan hitammu belum juga terlihat. Telfonku juga
tak kaujawab. Kemana kamu? Jangan bilang kalau kamu tak jadi menjemputku.
Jangan bilang kalau klubmu memanggilmu lagi untuk pertandingan selanjutnya.
Terlalu sering hal itu terjadi pada hubungan kita. Tapi aku paham. Kamu jauh
lebih menyukai sepak bola daripada diriku. Hatimu terlalu banyak untuk sepak
bola. Dan aku bersyukur masih ada ruang di hatimu untukku.
Brakk...
Aku tersentak. Samar dari
kejauhan terdengar suara besi beradu aspal. Aku bangkit dari dudukku.
Perasaanku makin tidak menentu. Dalam keadaan bingung dan was-was, kakiku
melangkah keluar rumah. Dari kejauhan, tampak orang berkerumun di tikungan
terakhir menuju rumahku. Jantungku makin berdegup kencang. Tanpa pikir panjang,
aku berlari menyibak kerumunan itu. Berharap bukan sedan hitam milikmu yang
remuk terhantam aspal—yang suaranya sampai di indera pendengaranku.
Ternyata aku
salah, Mas. Salah besar. Sedan hitam itu, plat nomor itu, milikmu! Bahkan kamu
terlihat tergeletak lemas di sisi kemudi mobil. Dengan wajah berpeluh darah,
matamu terpejam. Mengisyaratkan damai yang amat sangat. Tanpa peduli bagaimana
teriakanku mengalahkan suara dentum keras mobilmu. Meneriakkan namamu, berusaha
menggapaimu, ingin mengelap darah yang sudah berhenti mengucur dari dahimu,
hingga seluruh tenagaku habis, sampai otakku berusaha membangunkanku bahwa
semua itu sia-sia, Mas. Apa kautahu itu? Apakah kausengaja lakukan hal itu
padaku, Mas?
Setelahnya, aku
tak tahu lagi dimana.
Aku menuju rumahmu
dengan pikiran limbung. Air mataku tak henti-hentinya menetes. Sampai di
rumahmu, sudah banyak orang-orang berbaju hitam. Di antara mereka ada
teman-temanmu yang kukenal. Bahkan beberapa dari mereka juga menangis sama
sepertiku. Yang membuat tangisku makin kencang adalah melihat perempuan paruh
baya yang terduduk di sudut ruang tamu rumahmu dengan setengah sadar. Ibumu.
Baru beberapa hari yang lalu aku melihat senyum di wajah ibumu yang
mengisyaratkan bangga karena kamu akan membenahi kuliahmu yang sempat
terbengkalai karena hobi sepak bolamu.
Sirine ambulan dan
mobil polisi memenuhi pendengaranku. Tanpa kukomando, air mataku mengalir
deras. Menghujani pipiku tanpa mampu kuhapus sampai benar-benar habis. Mataku
terlalu pedih ketika melihat jasadmu dibaringkan di ruang tamu rumahmu sendiri.
Tempat yang jadi saksi tawa kita. Tempat yang jadi saksi pertemuan kita di
sela-sela jadwal padatmu sebagai pemain sepak bola. Dan baru beberapa hari yang
lalu, kita berada di sini. Tertawa dan berbagi rasa. Tapi sekarang? Kamu telah
terbujur kaku dengan kulit yang sangat pucat. Yang membuatku hampir jatuh
pingsan. Makin menambah duka mendalam di rumah ini—di ruangan ini.
Beberapa temanmu memegangiku. Beberapa yang lain menangis
bersamaku.
Mas, sekarang tak
ada lagi yang mengajakku menikmati senja. Hari ini, adalah senja terakhir kita.
Sunset bulan lalu ternyata jadi yang terakhir dalam penglihatan kita. Beberapa
hari yang lalu, ketika aku ke rumahmu untuk merayakan ulang tahun ketiga
hubungan kita, ternyata itu juga yang terakhir. Tidak ada tahun ke-empat,
kelima, bahkan keenam. Hubungan kita hanya ditakdirkan sampai tahun ketiga. Sunset
senja ini juga yang terakhir. Tepatnya, rencana paling akhir. Rencana yang
tak akan terlaksana sampai kapanpun.
Di hatiku telah
tertulis
Satu nama untuk
cinta
Yang tak kan terganti
Walau kini sudah tiada di sisiku lagi
Air mata pun
berlinang
Melepas
kepergianmu untuk selamanya
Hancur lebur sudah
harapan tuk bersamamu
Hanya kenangan
melekat di hati
Slamat jalan duhai kekasih
Nanti aku tuk bersamamu
Walau sakit kujalani hidup tanpamu
Semoga engkau
damai di sana
Smoga kita
berjumpa lagi
Kan kujaga cinta
ini untukmu
Di hati
Oh do’aku slalu menyertaimu
Di setiap nafasku
Di setiap langkahku
Di setiap detak jantung ini
“.....Di hatiku
kau cintaku,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar