Senin, 05 Mei 2014

Senja Terakhir (Selesai)




Satu jam yang lalu aku menunggumu di teras rumah dengan perasaan yang makin tak menentu. Kamu belum datang. Sedan hitammu belum juga terlihat. Telfonku juga tak kaujawab. Kemana kamu? Jangan bilang kalau kamu tak jadi menjemputku. Jangan bilang kalau klubmu memanggilmu lagi untuk pertandingan selanjutnya. Terlalu sering hal itu terjadi pada hubungan kita. Tapi aku paham. Kamu jauh lebih menyukai sepak bola daripada diriku. Hatimu terlalu banyak untuk sepak bola. Dan aku bersyukur masih ada ruang di hatimu untukku.

            Brakk...
            Aku tersentak. Samar dari kejauhan terdengar suara besi beradu aspal. Aku bangkit dari dudukku. Perasaanku makin tidak menentu. Dalam keadaan bingung dan was-was, kakiku melangkah keluar rumah. Dari kejauhan, tampak orang berkerumun di tikungan terakhir menuju rumahku. Jantungku makin berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, aku berlari menyibak kerumunan itu. Berharap bukan sedan hitam milikmu yang remuk terhantam aspal—yang suaranya sampai di indera pendengaranku.
            Ternyata aku salah, Mas. Salah besar. Sedan hitam itu, plat nomor itu, milikmu! Bahkan kamu terlihat tergeletak lemas di sisi kemudi mobil. Dengan wajah berpeluh darah, matamu terpejam. Mengisyaratkan damai yang amat sangat. Tanpa peduli bagaimana teriakanku mengalahkan suara dentum keras mobilmu. Meneriakkan namamu, berusaha menggapaimu, ingin mengelap darah yang sudah berhenti mengucur dari dahimu, hingga seluruh tenagaku habis, sampai otakku berusaha membangunkanku bahwa semua itu sia-sia, Mas. Apa kautahu itu? Apakah kausengaja lakukan hal itu padaku, Mas?
            Setelahnya, aku tak tahu lagi dimana.
            Aku menuju rumahmu dengan pikiran limbung. Air mataku tak henti-hentinya menetes. Sampai di rumahmu, sudah banyak orang-orang berbaju hitam. Di antara mereka ada teman-temanmu yang kukenal. Bahkan beberapa dari mereka juga menangis sama sepertiku. Yang membuat tangisku makin kencang adalah melihat perempuan paruh baya yang terduduk di sudut ruang tamu rumahmu dengan setengah sadar. Ibumu. Baru beberapa hari yang lalu aku melihat senyum di wajah ibumu yang mengisyaratkan bangga karena kamu akan membenahi kuliahmu yang sempat terbengkalai karena hobi sepak bolamu.
            Sirine ambulan dan mobil polisi memenuhi pendengaranku. Tanpa kukomando, air mataku mengalir deras. Menghujani pipiku tanpa mampu kuhapus sampai benar-benar habis. Mataku terlalu pedih ketika melihat jasadmu dibaringkan di ruang tamu rumahmu sendiri. Tempat yang jadi saksi tawa kita. Tempat yang jadi saksi pertemuan kita di sela-sela jadwal padatmu sebagai pemain sepak bola. Dan baru beberapa hari yang lalu, kita berada di sini. Tertawa dan berbagi rasa. Tapi sekarang? Kamu telah terbujur kaku dengan kulit yang sangat pucat. Yang membuatku hampir jatuh pingsan. Makin menambah duka mendalam di rumah ini—di ruangan ini.
Beberapa temanmu memegangiku. Beberapa yang lain menangis bersamaku.
            Mas, sekarang tak ada lagi yang mengajakku menikmati senja. Hari ini, adalah senja terakhir kita. Sunset bulan lalu ternyata jadi yang terakhir dalam penglihatan kita. Beberapa hari yang lalu, ketika aku ke rumahmu untuk merayakan ulang tahun ketiga hubungan kita, ternyata itu juga yang terakhir. Tidak ada tahun ke-empat, kelima, bahkan keenam. Hubungan kita hanya ditakdirkan sampai tahun ketiga. Sunset senja ini juga yang terakhir. Tepatnya, rencana paling akhir. Rencana yang tak akan terlaksana sampai kapanpun.
            Di hatiku telah tertulis
            Satu nama untuk cinta
Yang tak kan terganti
Walau kini sudah tiada di sisiku lagi
            Air mata pun berlinang
            Melepas kepergianmu untuk selamanya
            Hancur lebur sudah harapan tuk bersamamu
            Hanya kenangan melekat di hati
Slamat jalan duhai kekasih
Nanti aku tuk bersamamu
Walau sakit kujalani hidup tanpamu
            Semoga engkau damai di sana
            Smoga kita berjumpa lagi
            Kan kujaga cinta ini untukmu
            Di hati
Oh do’aku slalu menyertaimu
Di setiap nafasku
Di setiap langkahku
Di setiap detak jantung ini
            “.....Di hatiku kau cintaku,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini