Mungkinkah ini penderitaan, jika aku hanya bisa mengamatimu dalam diam?
Atau ini kenikmatan jika dalam diam, aku jatuh cinta?
Kautak mungkin tahu,
ada sepasang mata yang berusaha mengurai keramaian demi melihat sosokmu di
antara lautan siswa yang sekedar nongkrong di kantin sekolah. Kautak mungkin
tahu, ada seseorang yang menunggumu memasuki pintu rumah peribadatan umat
muslim di sekolah, setelah adzan dhuhur mulai berkumandang. Kaujuga tak mungkin
tahu ada siswi kelas 2 yang diam-diam memperhatikanmu.
Mungkin takkan begini
jadinya bila aku jadi kamu dan kamu jadi aku. Kamu perempuan dan aku laki-laki.
Aku kelas satu dan kamu kelas 2. Jika sudah begitu, tak perlu terbentur sebuah
benteng bernama gengsi yang disalahgunakan dengan kata wajar. Kata orang di
sekeliling kita, biasa jika kakak kelas bergender laki-laki memacari adik kelas
perempuannya. Tak aneh. Tapi, itu tidak terjadi pada kita. Kamu kelas satu dan
laki-laki, sedangkan aku, kelas dua, kaum hawa pula. Kita juga tak pernah
berkomunikasi. Hanya mungkin, saling pandang secara tak sengaja. Itu saja.
Ah. Kenapa kamu harus
jadi juniorku? Kenapa kamu harus menyita perhatianku? Kenapa kamu tidak
memperhatikanku? Kenapa kamu tidak tahu ada senior yang mengincarmu? Kenapa
gedung timur—tempat ruang kelas 1 itu tidak berdekatan dengan gedung
barat—sarang kelas 2? Kenapa harus ada aula, kantor guru, lab komputer, lab
fisika, ruang pertemuan, dan sederet ruangan lainnya yang menghalangi
pandanganku dari kelasmu? Kenapa kelasku harus di bagian selatan, sedangkan
kelasmu di bagian utara? Kenapa tidak ada satupun ekstrakurikuler kita yang
sama? Apa karena kita tidak ditakdirkan untuk bersama?
Tapi, tenanglah, Dek.
Aku sebagai seniormu—orang yang menaruh perhatian padamu dalam diamku, tak akan
membiarkan satu orang seniorpun yang mengganggumu hanya karena kamu junior
kami. Tidak akan. Aku akan melindungimu semampuku. Meskipun hanya berperan
sebagai seniormu.
Dari kakak kelasmu, yang sering mengamatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar