Rabu, 31 Desember 2014

Beberapa Keping Setahun Terakhir




Sampai di penghujung tahun 2014. Di sini, aku tak akan menulis panjang-panjang. Hanya, cerita, mengapa aku menganggap tahun ini begitu istimewa.
             
Awal tahun 2014. Tepatnya, tanggal 5 sampai 8 Januari 2014. Untuk pertama kali, menghirup udara kota Bandung. Untuk pertama kali, melewati terjalnya Jalan Daendels. Untuk pertama kali, mendengar langsung bahasa Sunda yang begitu kental, dan untuk pertama, pergi jauh-jauh dengan lebih dari seratus manusia seumuran. Ehm, se-angkatan, dalam program study tour. Oh iya, untuk pertama kali, berada di Trans Studio yang, yah, untuk penghuni sebuah kota kecil nan terpencil ini, wahana bermain dan belajar itu adalah spesial.
            
Bergerak lagi menuju bulan berikutnya. Lagi, untuk pertama kali, aku mendapat tugas membuat film. Santai, tak usah panik ketinggalan kereta. Cerita-ceritaku masih dalam bentuk tulisan. Film ini bukan tentang tulisanku, kok. Haha. Film yang kubuat tahun ini adalah Proklamasi Kemerdekaan. Untuk pertama kali, merasakan susahnya jadi penulis skenario, pengarahan pemain—kurang lebih sutradara, editor, aktrisnya pula. Begadang demi baiknya film ini, malah yang jadi perhatian adalah behind the scene yang kubuat Cuma-Cuma. :) Tapi aku rapopo. Dapat tanggapan bagus dari penonton itu sudah lebih dari cukup, kan, baru pertama kali.

Senin, 29 Desember 2014

Pungguk Ingin Bulan



Hai. Sepotong kata sapa yang tak aku ucapkan ketika pertama kali melihatmu. Tentu saja. Karena kamu adalah manusia yang terlalu berharga jika hanya dipanggil dengan “Hai”.

Siang ini, aku sendirian. Menanti kakakku yang sedang kuliah, dan aku baru saja menghabiskan 1 film dari Thailand, judulnya Hello Stranger. Ehm, memang tak ada hubungannya dengan dirimu. Sekedar cerita, betapa sepinya saat ini, dan tiba-tiba aku ingin tahu kabarmu.

Berhubung, tweet terakhirmu tanggal 21 Juli—sama sekali tak mencerminkan kabarmu, aku memilih melihat-lihat foto-foto yang kauunggah di twittermu—yang belum kulihat sampai unggahan foto pertamamu. Satu per satu foto tampil di layar monitor bergantian. Ada senyum tipis, senyum lebar, tawa, wajah bingung, ekspresi datar, dan satu pose yang hampir sama dengan yang kautunjukkan saat di depanku. Senyum tipis, dengan tangan ke belakang. Rata-rata, itu gaya yang kaubagikan di depan kamera, jika di sampingmu adalah wanita yang tidak kaukenal. Berarti, aku adalah gadis yang tidak.... ehm, #YouknowwhatImean.

Tapi, ada satu foto di twittermu yang membuatku mengumpat pelan. Kamu, dengan kekasihmu. Senyummu di gambar itu, tak beda jauh dengan senyum yang sekarang berada di salah satu akun media sosialku. Ya, hanya senyum tipis. Yang berbeda adalah posemu di situ. Satu tanganmu memegang kamera, dan kamu sedikit mendekat dengan wanita itu. Dengan kalimat di bawah foto itu: Di belakang pria hebat, pasti ada wanita tegar.

Seharusnya aku baik-baik saja melihat foto itu. Seharusnya aku baik-baik saja membaca kalimat itu. Seharusnya aku baik-baik saja menyadari bahwa kamu bukan pemuda yang sedang sendiri. Seharusnya aku tak sejauh ini memaknai dirimu bukan lagi idola. Seharusnya aku yang tahu diri bahwa kamu bukan pangeran yang sedang jatuh cinta dengan gadis biasa sepertiku. Seharusnya aku tak menganggap awal pertemuan kita akan berlanjut dengan saling jatuh cinta.

Sayangnya, aku tak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa aku tak suka melihat fotomu itu. Bahwa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Bahwa, jantungku berdetak tak teratur, bahwa air mataku ingin meluncur, bahwa aku ingin menjadi wanita itu—yang berada di sampingmu—mengiringi perjalanan karirmu. Bahwa, aku ingin menjadi wanita beruntung yang setiap saat kauingat, bukan wanita beruntung yang sekali ketemu, langsung kaulupakan. Aku tak bisa memungkiri hal ini.

Oke, baiklah. Entah, tulisan ini kaubaca atau tidak, kaumenginginkan ini atau tidak, aku mengunggah tulisan ini hanya untuk berbagi rasa kepada para pembaca. Mungkin di luar sana, ada yang bernasib sama denganku. Mengharapkan seseorang yang sama sekali tak mengharapkan diri ini. Selamat siang.

Sabtu, 27 Desember 2014

Kita (masih) Teman, kan?



Hai, Teman, selamat malam. Maaf, aku mengganggumu malam ini. Bukan maksudku membuang waktumu hanya untuk membalas pesan singkat dari temanmu ini. Bukan maksudku memaksamu membalas pesan singkat yang kukirim. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu jika waktumu malam ini terlalu berharga, karena kamu sedang bersama-nya. Aku benar-benar tidak tahu, bahwa posisiku sebagai teman, sahabat, tempat keluh-kesah, pendengar yang baik, sudah digantikan oleh seseorang yang kaunamai ‘kekasih’. Maaf, Sobat.
             
Ehm, aku baru tahu, ketika kekasihmu itu mengunggah fotomu yang tengah tersenyum lebar di kamera dengan dia. Oh, tidak, aku tidak ada masalah dengan kekasihmu. Tak ada yang salah di sini. Semuanya baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir, hatiku masih bisa diajak kompromi. Teruskan saja waktumu dengan dia. Jangan lupa, hapus jadwal-jadwal liburan kita yang sudah kita susun jauh-jauh hari. Hapus juga, daftar lagu dan film terbaru yang sudah siap kita buru. Hapus saja. Bakar sekalian, sampai jadi abu, hingga tak mengganggumu.
            
Jika kamu ingin menghubungiku karena kekasihmu sudah pulang, aku masih ada di sini. Kamu masih bisa meneleponku di nomor yang sama. Kamu masih bisa menghubungiku dari akun sosial media yang sama. Tak ada yang kuubah. Nama, email, dan password yang kauhafal di luar kepala, juga masih sama, kok, Teman. Tenang saja, aku masih di sini, meskipun kamu di sana, dengan seseorang.
            
Atau kamu sudah tak perlu menghubungiku, karena sudah ada yang selalu menghubungimu? Sudah ada yang selalu mengingatkanmu sholat, makan, dan istirahat. Sudah ada yang mengajakmu jalan-jalan. Sudah ada yang katanya selalu ada untukmu, bukan? Jadi, aku sekarang, tak perlu seperti itu? Hanya boleh bertanya tugas sekolah yang ini dan itu? Dan, sekarang adalah libur panjang, tak ada tugas, so, aku tak boleh menghubungimu?

Kamis, 25 Desember 2014

Hanya Ingin Bilang



Ini hari natal. Aku tahu kamu tidak ke gereja. Aku tahu kamu tidak akan tergesa membuka bungkusan-bungkusan kado di bawah pohon cemara berhias lampu warna-warni dengan bintang di pucuknya. Aku tahu, kamu tidak sedang bertanya-tanya apakah Santa bertandang ke rumahmu tadi malam. Aku juga tahu, kamu sudah terlalu dewasa untuk mengerti bahwa kamu tinggal di daerah khatulistiwa—tidak ada salju di hari natal. Aku tahu.
            
Malam natal, sudah kunanti-nanti esoknya menjadi hari natal. Tak sabar, ingin aku mendatangimu dan menjabat tanganmu lalu memberimu sekotak kado berpita biru—warna kesukaanmu. Ingin aku kembali melihatmu setelah sekian lama aku tak tahu kabarmu. Aku ingin kamu kembali, ke sini, di dekatku. Dan kurasa, hari natal, adalah waktu yang tepat untuk itu. Untukmu kembali.

Selasa, 23 Desember 2014

Mengenang



Hai, Mas Bayu. Apa kabar? Semoga, kabarmu baik-baik saja, seperti aku di sini yang baik-baik saja. Jika aku tak baik, tidak mungkin aku menulis tentang kamu, kan? Haha. Ini sudah bulan ke-enam setelah aku dan kamu bertatap muka, dan mengabadikan sore 23 Juni 2014 di Jogja. Sudah setengah tahun, Mas. Nggak kebayang, kan? Ah, pasti kamu sudah lupa. Mungkin saja, setelah aku meminta tanda tanganmu sore itu, besoknya, ada lagi yang bersikap sama denganku ketika melihatmu. Mungkin saja, ada gadis lain yang meminta berfoto denganmu lusanya. Mungkin saja, bukan?
            
Jadi, begini. Setelah aku bertemu denganmu untuk yang pertama, aku jadi sering stalk twittermu yang hanya dihuni jangkrik saking sepinya. Kamu jarang nge-tweet, kan? Atau, kamu punya twitter lain?

Sabtu, 20 Desember 2014

Teman dari Temanmu



Kisah kita mirip sinetron, Mas. Kita belum bertatap muka dan saling mengenal ketika aku sudah ngobrol ini-itu dengan kawan-kawanmu. Aku tak tahu jika kamu adalah teman mereka. Tentunya kamu juga belum tahu bahwa aku sudah mengenal teman-temanmu. Sampai sekarangpun, aku tak tahu, apakah teman-temanmu sudah bercerita bahwa aku juga salah satu kawan mereka, kawanmu juga, pastinya. Ah, entah. Ini terlalu rumit.
            
Lucu sekali, bukan? Seharusnya aku sudah mengenalmu sebelum teman-temanku mengenalmu. Seharusnya aku sudah tahu dirimu, sebelum teman-temanku tahu siapa namamu. Seharusnya kita sudah lebih dari sekedar aku-tahu-kamu—kamu-tahu-aku. Seharusnya kita adalah teman dekat, karib, dan akrab. Bukan jauh-jauhan seperti. Bukan tak saling kenal begini. Bukan tak saling anggap. Seharusnya bukan teman-temanku yang lebih mengenalmu. Tapi, aku. Ehm, jika waktu itu kamu ikut teman-temanmu. Jika waktu itu kamu ikut bergabung. Jika waktu itu kamu tak berhalangan untuk hadir. Kita pasti sudah saling kenal.
              
Bukannya apa-apa. Aku hanya takut, kamu tak mengenalku. Aku hanya takut, kamu tak tahu namaku. Aku hanya takut, kamu benar-benar tak peduli padaku. Aku hanya takut menyalah-artikan pertanyaanmu dulu. Aku hanya takut jika—jika kamu mengistimewakan yang lain. Jika sudah ada wanita spesial di hidupmu. Yah, perlu kuakui, aku takut.
             
Oke. Aku mengaku kalah. Aku menyerah. Aku tak betah berpura-pura. Harus kuakui, bahwa aku merindukanmu. Sangat rindu.
            
Hari yang begitu berarti, hari yang tak kusangka-sangka menjadi hari pertemuanku denganmu, hari yang tak kunanti-nanti, hari yang sama sekali jauh dari kata istimewa. Sayangnya kamu menjungkirbalikkan itu semua. Kamu membuat hari itu sangat berarti, sangat spesial, membuatku selalu ingin memutar hari itu, ketika aku dan kamu bertatap muka untuk yang pertama.

Rabu, 17 Desember 2014

Duabelas, Aku Masih di Sini




Masih di tempat duduk yang sama, pagi ini aku menyaksikan beberapa pemain yang tengah melakukan pemanasan. Berlari kecil dari ujung ke ujung lapangan, mencoba tendangan jarak jauh, saling oper sesama teman, dan menguji tangkapan bolanya bagi kiper. Masih dari tempat duduk yang sama, aku melihat para supporter mulai memenuhi bangku penonton dengan segala atribut yang dibawanya untuk menyemarakkan pertandingan. Sayangnya, orang-orang itu—pemain di lapangan dan para penonton, adalah orang yang berbeda, tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Padahal, aku masih di tempat duduk yang sama.

            Beberapa waktu lalu, ketika aku menggilai sepak bola semenjak aku bertemu salah satu pemain timnas—Bayu Gatra, kamu mengajakku ke tempat ini. Berpromosi jika olahraga yang kamu tekuni, tak kalah menarik dengan olahraga yang aku sukai. Kamu menggamit lenganku, mendudukkanku di tempat duduk ini, berpesan aku harus hati-hati, dan jangan lupa meneriakkan namamu ketika kamu berhasil menjebol gawang lawan. Aku mengangguk sedikit malas, karena antusiasme olahraga dengan 5 pemain ini, kalah jauh dibanding sepak bola. Supporter yang datang, bahkan bisa dihitung jari.

Sabtu, 13 Desember 2014

Ah, Kecewa



Sore ini rumahku kedatangan tamu istimewa. Tanpa identitas seragam merah atau biru dengan garuda di dada, aku langsung tahu siapa dia. Sepupuku, Putu Gede Juni Antara yang mengajak temannya, Mahdi Fahri Albaar. Entah bagaimana mereka berdua bisa bertemu, yang kutahu, Bli Putu berada di Surabaya dan Kak Mahdi ada di Maluku. Pokoknya, mereka berdua ada di rumahku sore ini.

            Aku langsung heboh tak karuan ketika melihat mereka ruang tamu. Mendapati seorang berkaos hitam, dan satunya memakai jaket biru ala timnas. Seisi rumah menyambut mereka berdua, dan aku segera menggandeng Bli Putu, bercerita apa saja yang lebih sering ditanggapi dengan senyum dan tawa kecilnya. Kak Mahdi hanya mesam-mesem, karena baru kali ini dia menginjakkan kaki di rumahku. Baru pertama ini dia kenal denganku. Mungkin, rada heran dengan gadis yang baru bangun tidur, bisa bercerita dengan kecepatan 100 km/jam.
            Aku tersadar sesuatu. Kapan lagi sepupuku ini datang ke rumah? Tidak pasti setahun sekali. Apalagi, rumahnya tidak di Jawa, tapi di Pulau Dewata. Kerjanya di Surabaya. Jauh, kan, dari kota tercinta? Serta-merta aku kembali ke kamar, mengambil kamera. Mengabadikan pertemuan kami berdua, ehm, bertiga, sore ini.

Senin, 08 Desember 2014

Peristiwa Malam Ini



Malam ini, aku belajar satu hal dari percakapan antara kakakku dan orang tuaku. Ini terkait perjuangan kakakku yang harus mengorbankan sesuatu yang penting baginya untuk menuju Negeri Pizza.
            “Tapi, Bunda, teman-temanku sudah dapat piagam yang dapat digunakan untuk kelas selanjutnya,” suara kakakku yang menembus tembok kamar, membuyarkan fokusku pada materi Perang Dunia II. Kubiarkan kursor berkedip. Aku menanti tanggapan bunda terhadap anak sulungnya.
            “Ravi....” lembut suara bunda menyusul. “Kaumeninggalkan klub sepak bolamu di sini, kan, untuk keberangkatanmu ke Italia. Bukannya sudah dari dulu kamu ingin ke sana? Makanya, kamu rela jauh-jauh menimba ilmu sampai Bandung demi Italia,”
            Aku tersenyum kecil. Siap mendengar tanggapan abangku.

Jumat, 05 Desember 2014

Bukan Cinta



Wejangan Mas Ravi malam ini emang bikin ‘nyesss’ banget.
“Untuk apa kaususah-susah memendam rindu pada seseorang yang tak sepenuhnya merindukanmu? Untuk apa kausulit melupakan seseorang yang bahkan tak pernah mengingatmu?” ini ‘nyess’ pertama. Bayangkan saja, jika pada kalimat awal percakapan, langsung ditodong kalimat sebegini tajamnya?

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini