Hai. Sepotong
kata sapa yang tak aku ucapkan ketika pertama kali melihatmu. Tentu saja.
Karena kamu adalah manusia yang terlalu berharga jika hanya dipanggil dengan
“Hai”.
Siang ini, aku
sendirian. Menanti kakakku yang sedang kuliah, dan aku baru saja menghabiskan 1
film dari Thailand, judulnya Hello Stranger. Ehm, memang tak ada hubungannya
dengan dirimu. Sekedar cerita, betapa sepinya saat ini, dan tiba-tiba aku ingin
tahu kabarmu.
Berhubung,
tweet terakhirmu tanggal 21 Juli—sama sekali tak mencerminkan kabarmu, aku
memilih melihat-lihat foto-foto yang kauunggah di twittermu—yang belum kulihat
sampai unggahan foto pertamamu. Satu per satu foto tampil di layar monitor
bergantian. Ada senyum tipis, senyum lebar, tawa, wajah bingung, ekspresi
datar, dan satu pose yang hampir sama dengan yang kautunjukkan saat di depanku.
Senyum tipis, dengan tangan ke belakang. Rata-rata, itu gaya yang kaubagikan di
depan kamera, jika di sampingmu adalah wanita yang tidak kaukenal. Berarti, aku
adalah gadis yang tidak.... ehm, #YouknowwhatImean.
Tapi, ada satu
foto di twittermu yang membuatku mengumpat pelan. Kamu, dengan kekasihmu.
Senyummu di gambar itu, tak beda jauh dengan senyum yang sekarang berada di
salah satu akun media sosialku. Ya, hanya senyum tipis. Yang berbeda adalah
posemu di situ. Satu tanganmu memegang kamera, dan kamu sedikit mendekat dengan
wanita itu. Dengan kalimat di bawah foto itu: Di belakang pria hebat, pasti
ada wanita tegar.
Seharusnya aku
baik-baik saja melihat foto itu. Seharusnya aku baik-baik saja membaca kalimat
itu. Seharusnya aku baik-baik saja menyadari bahwa kamu bukan pemuda yang
sedang sendiri. Seharusnya aku tak sejauh ini memaknai dirimu bukan lagi idola.
Seharusnya aku yang tahu diri bahwa kamu bukan pangeran yang sedang jatuh cinta
dengan gadis biasa sepertiku. Seharusnya aku tak menganggap awal pertemuan kita
akan berlanjut dengan saling jatuh cinta.
Sayangnya, aku
tak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa aku tak suka melihat fotomu itu.
Bahwa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Bahwa, jantungku berdetak tak
teratur, bahwa air mataku ingin meluncur, bahwa aku ingin menjadi wanita
itu—yang berada di sampingmu—mengiringi perjalanan karirmu. Bahwa, aku ingin
menjadi wanita beruntung yang setiap saat kauingat, bukan wanita beruntung yang
sekali ketemu, langsung kaulupakan. Aku tak bisa memungkiri hal ini.
Oke, baiklah.
Entah, tulisan ini kaubaca atau tidak, kaumenginginkan ini atau tidak, aku
mengunggah tulisan ini hanya untuk berbagi rasa kepada para pembaca. Mungkin di
luar sana, ada yang bernasib sama denganku. Mengharapkan seseorang yang sama
sekali tak mengharapkan diri ini. Selamat siang.