Sabtu, 26 Oktober 2013

Dilema (Episode 3)



Episode lalu...
Tekad apa yang harus kupegang agar tak terjatuh saat menyelamatkan Mas Fian dan Mas Vano dari akal licik Renata? Haruskah aku menunggu agar mereka putus? Apakah aku mampu bersabar melihat kakakku sendiri diperdaya? Apakah aku mampu menerima dengan ikhlas kakakku disakiti?
          
Di sekolah, aku masih memikirkan kejadian tempo hari. Pertemuanku dengan Renata dan Mas Vano yang tentu saja mengejutkanku, masih berputar-putar dalam kepalaku. Aku tak ingin diam saja. Aku ingin bertindak. Tapi apa?
             “Hayo... ngelamun. Hati-hati. Nanti kesambet.” Lagi-lagi Tama mengagetkanku dari belakang. Lamunanku tentang Renata pun buyar.
            “Idih. Kata siapa ngelamun? Enggak, tuh.” Aku meleletkan lidah. Tama tertawa. Suasana berubah hening. Aku memilih diam. Otakku benar-benar tak mampu untuk menciptakan topik baru yang setidaknya asyik untuk dibicarakan. Jantungku sudah cukup berdebar dengan Tama yang tiba-tiba duduk di dekatku.
            “Udah pernah jatuh cinta, Fin?” pertanyaan Tama tak kunjung membuatku mengoceh. Malah, semakin membuat hening di antara aku dan dia. Jeda yang cukup lama, namun tak membuat jengah. “Nggak tahu. Udah kali. Emang kenapa?” tanyaku balik. Kali ini Tama terlihat termenung.
            “Nggak papa. Cuma tanya aja, sih. Gimana rasanya?” tanyanya polos sambil memandangku. Aku berpikir sejenak. Mencoba mendiskripsikan, bagaimana perasaanku saat di dekatnya. “Mmmm... gimana ya? Pokoknya kalo lagi deket sama dia, nyaman gitu. Seneng.” Jawabku seadanya. Sesuai dengan perasaanku saat ini. Tama manggut-manggut.
            Diam-diam aku nyaman membicarakan ini. Ada suatu perasaan yang mengisyaratkan aku-ingin-dekat-dengan-Tama. Pria yang sejauh ini telah membuat jantungku berdesir halus, berdegup kencang, memompa darah dengan kecepatan tinggi, dan diam-diam otakku mengendalikan saraf-saraf untuk menyunggingkan senyum. Inikah yang namanya jatuh cinta?
            Untaian demi untaian cerita, mengalir di antara aku dan Tama. Selalu ada topik menarik yang Tama suguhkan untuk kutanggapi, kukomentari, dan kucermati. Selama ini, hanya Tama yang mampu begini.
            Dalam diam, aku mendengarkan dengan cermat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dalam kecermatan itu, aku mengamati setiap inci lekuk wajahnya dengan detail. Hidungnya mancung, kulinya putih, rambutnya tak pernah tersisir rapi, dan matanya yang selalu terlihat tegas namun aslinya lembut. Jam tangan hitam yang dengan setia bertengger di pergelangan tangan kirinya, menambah ketegasan dalam sosoknya. Diam-diam batinku berkata ‘Tama patut untuk dikagumi’. Tanpa tahu, apakah aku mampu memperjuangkan Tama.
            “Tama. Bagaimana perasaanmu jika dicintai seseorang?” giliranku menciptakan topik baru. Membicarakan soal diriku tentangnya, tanpa dia tahu. Tama diam cukup lama. Menggaruk kepala sebentar, sebelum kemudian menjawab dengan agak bimbang.
            “Tergantung. Aku dicintai sama siapa. Tapi, menurutku, jaman kayak gini belum ada namanya cinta-cintaan. Ini tuh, namanya Cuma suka sama suka. Kalo cinta itu, pasti ntar ujung-ujungnya sama nikah. Nah, kalo masih sekolah gini? Emang pulang sekolah nanti mau nikah? Enggak, kan?” jawabnya. Aku mengernyitkan kening.
”Apakah itu sebuah jawaban?” tanyaku. Tama memandangku lembut, sedangkan jantungku semakin giat untuk berdegup.
“Fin, kita itu masih ngalamin suka sama suka. Bukan cinta.” Tama menghela nafas. “Aku cukup senang kalo disukai seseorang. Tapi jujur, aku saat ini belum suka sama seseorang. Kalo kamu?” sebersit kekecewaan muncul begitu saja. Tanpa bisa kucegah. Aku membiarkan pertanyaan Tama menggantung di udara. Aku masih mengartikan perhatian Tama selama ini. Kejadian di ruang organisasi dulu, di restoran kemarin, dan sekarang? Hanya teman biasa? Padahal, menurutku, hanya aku yang dia perlakukan berbeda. Menurutku, aku diistimewakan olehnya. Tapi ternyata? Aku sama dengan teman-teman lain dalam hidupnya. Aku sama dengan orang-orang yang dia acuhkan. Benarkah?
“Entahlah, Tam.” Jawabku akhirnya. Aku menjadi lesu. Seakan-akan Tama telah mematahkan asaku untuk memperjuangkan perasaan ini.
“Oh iya, Tam. Kalo kamu tahu ada seseorang yang menduakan orang terdekatmu, gimana perasaanmu?”
“Kesal.” Jawabnya cepat. “Terus, apa yang kamu perbuat?” tanyaku.
“Bilang sama orang terdekatku dong.” Jawab Tama masih mantap. Oh iya ya. Kenapa aku tak bilang ke Mas Vano dan Mas Fian? Sesi spesial dengan Tama diakhiri dengan dering bunyi bel masuk. Diam-diam aku mengutuk bunyi bel itu.
***
Setiba di rumah, aku mendapatinya lengang. Mas Vano sedang kuliah, dan Mas Fian sedang bekerja. Aku mulai menyusun skenario untuk membongkar rahasia Renata. Ketika aku memikirkan Renata, tiba-tiba pikiranku melayang pada Tama. Tegakah aku pada dia? Ah, entahlah. Pikiranku gamang. Mas Vano, Mas Fian, Renata, dan Tama. Semuanya berputar dalam kepalaku. Ya Tuhan...
Deru mesin motor Mas Fian terdengar di senja yang mulai kelam. Aku mengintip dari balik jendela. Jantungku berdegup tak karuan. Rencana yang tadi telah kupikir matang-matang, tiba-tiba terasa mentah begitu saja.
“Mas Fian!” seruku ketika Mas Fian memasuki rumah. Dia menengok dan membalas seruanku dengan senyum. “Boleh tanya sesuatu, Mas?” tanyaku hati-hati.
“Boleh. Apa?” tanyanya.
“Nama pacarnya Mas Fian siapa?” sangat hati-hati aku bertanya. Memastikan apakah itu orang yang sama dengan pacar Mas Vano. Dan senyum Mas Fian melebar.
“Renata. Renata Wirya Utami. Kan aku udah bilang. Namanya mirip sama itu temenmu. Siapa itu namanya? Yang ketua itu lo.” Jawab Mas Fian. Dan ternyata? Memang sama. Bayangan Tama pun melintas di benakku mendengar jawaban Mas Fian. “Kenapa?” tanya Mas Fian mengejutkanku.
“Ngg.. itu. Kok namanya sama dengan pacarnya Mas Vano ya?” tanyaku balik, sok heran. Padahal, dalam hati, aku sangat was-was. Menebak-nebak bagaimana reaksi Mas Fian. Kecewakah? Kesalkah? Langsung memutuskan hubungankah?
“Siapa? Renata juga? Nama Renata di dunia ini nggak Cuma satu, Fin.” Jawab Mas Fian lagi. Membuatku terlongo begitu lebar. Dugaanku benar-benar meleset. “Udah ya. Mas Fian mau istirahat.” Lanjutnya, kemudian meninggalkanku. Tidak ada unsur kecurigaan pun dalam diri Mas Fian. Aku kecewa.
Kurebahkan diri di kasurku yang hangat nan empuk. Kembali memikirkan rencana apalagi yang harus kujalankan untuk menghindarkan Mas Fian dan Mas Vano dari Renata.
Kulihat Mas Vano memasuki kamar. Hei.. dia baru pulang! Segera kuhampiri dia.
“Mas...” sapaku manja. Mas Vano menoleh. “Apa, Fin?” tiba-tiba saja suara Mas Vano membuat lidahku kelu.
“Ngg.. anu. Itu. Pacarnya Mas Fian eh.. Mas Vano....” duh, kenapa jadi gagap begini? Rutukku dalam hati.
“Gimana, sih? Yang bener dong ngomongnya, Fin. Kenapa? Pacarnya siapa?”
“Pacarnya Mas Fian dan Mas Vano itu satu orang yang sama!” seruku tanpa sadar. Ups!
“Eh.. ngawur kamu! Kamu kecapekan kali. Ngomongnya ngelantur. Udah. Istirahat sana!” aku sempat terlongo sejenak sebelum meninggalkan Mas Vano. Rencana A gagal total!
Esoknya kuceritakan hal itu pada Tama. Walaupun tidak sepenuhnya aku bilang bahwa perempuan itu Renata dan korbannya adalah kedua kakakku, dia paham betul apa yang kurasakan. Kesal dan kecewa.
“Begini, Fin. Kalau dari cerita yang kudengar itu tandanya orang terdekatmu sudah amat sangat percaya sama perempuan itu. Sama pacarnya.” Komentar Tama setelah mendengar ceritaku yang amat sangat luas. Eh, panjang lebar. Aku membenarkan kata-kata Tama. “Ngomong-ngomong siapa sih orang terdekatmu?” tanya Tama sambil memiringkan kepalanya.
“Kakakku.” Jawabku singkat. Masih dengan memikirkan cara selanjutnya.
“Kakak? Bukannya kakakmu pacarnya Kak Renata? Kakakku?” Tama menaikkan satu alisnya. Aku tergeragap. “Ngg... sepupu.” Ralatku. Aku masih belum ingin menceritakan hal itu pada Tama. Aku saja.. masih belum mendapat kepercayaan dari kedua abangku. Apalagi Tama? Orang yang baru beberapa hari ini menjadi tempat curahan hatiku. Yang menjadi tempat menaruh pandanganku selama beberapa waktu.
“Oh.” Mulut Tama membentuk huruf ‘O’.
“Eh, ngomong-ngomong sudah dua hari ini kita istirahat bareng ya.” Tama nyeletuk. Aku meliriknya lalu tertawa. “Hehe.. Iya.” Timpalku. Apa kau suka dengan kedekatan ajaib kita ini? Apa kau suka dengan cerita-cerita ajaibku? Yang sebenarnya sangat berkaitan dengan kakakmu? Apa kau....
“Woyyy!!! Jangan malah ngelamun!” Tama menepuk punggungku pelan. “Ng... lucu juga ya, Tam. 3 tahun kelas kita bersebelahan, 3 tahun pula kita ikut dalam satu organisasi. Tapi, kenapa di tahun ketiga juga, kita baru saling mengenal?” tanyaku sambil menyeruput es jeruk di hadapanku. Tama diam. Jika kulihat ekspresi wajahnya, dia sedikit tertegun dengan pertanyaan setengah pernyataan ironiku. Aku juga memilih diam. Mempersilakan Tama membuka mulut terlebih dahulu.
“Hehe..” suara Tama kembali mengisi keheningan. Aku tersenyum tipis. “Eh, ada film bagus lo. Kamu suka nonton film nggak?” sambungnya. Aku mengangguk pelan. “Suka film apa? Horor?” tanya Tama lagi.
“Semua suka. Yang penting pemainnya. Ganteng apa enggak.” ...mirip kamu apa enggak, sambungku dalam hati.
“Yeee...” Tama sewot, mengacak rambutku sekilas. “Keren film horor. Aku nanti pengen buat film horor ah.. Aku yang jadi sutradaranya.” Ujar Tama antusias. Aku terkikik geli. “Judulnya?” tanyaku sambil menaikkan alis. Tama tampak berpikir. “Enaknya apa?” dia balik bertanya. Aku sama-sama berpikir. “Ngg.. Interviews with Hantu’s.” Jawabku asal. Tama kembali tertawa. Diam-diam aku bersyukur, mampu membuat Tama tertawa.
“Itu ceritanya kita wawancara wawancara gitu?” tanya Tama di sela tawanya, setengah berkhayal. Aku mengangguk mantab. “Kayak Raditya Dika!” Sahutku berbarengan dengan dia. Aku menatapnya. Dia melakukan hal yang sama denganku. Tawa kami pun pecah lagi.
“Kamu juga suka Raditya Dika?” tanyaku. “Jelaslah! Dia itu penulis keren. Konyol.” Jawabnya. Dan kami menghabiskan waktu istirahat dengan membahas Raditya Dika bersama cerita gilanya.
***
Aku mengetuk-ngetukkan pensil di meja belajar. Kembali memikirkan kedua abangku. Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Apakah mereka akan terus digantungkan? Apakah aku tega melihat mereka diperdaya? Oleh kakak kandung Tama? Wirya Utama? Yang akhir-akhir ini menjadi alasan mengapa aku bersemangat sekolah? Ya Tuhan...
Aku kembali mengingat beberapa minggu terakhir dengan dia. Perhatiannya, senyumnya, ceritanya, keceriaannya, tingkah konyolnya, sikap dinginnya, dan desir-desir halus yang muncul setiap aku di sampingnya.
“Hei... kenapa senyum-senyum?” tiba-tiba Mas Fian menepuk pundakku pelan. Duh, lagi-lagi aku tertangkap basah sedang melamun. Walaupun Mas Fian tidak tahu apa yang kupikirkan.
“Hehe..” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Mmm.. Mas.”
“Ya?”
“Mas Fian percaya nggak sama aku?”
“Percaya dong. Emang kenapa?”
“Jikapun aku bilang kalau pacar Mas Fian dan Mas Vano 1 orang yang sama, apa Mas Fian juga percaya?” tanyaku pelan. Mas Fian sangat tertegun. Dia menatapku tajam. Keraguan mulai hinggap membuat lidahku kembali kelu.
“Refina, kalo bicara jangan sembarangan!”
“Aku nggak sembarangan, Mas. Ini beneran! Kata Mas Fian tadi, Mas Fian percaya sama aku. Tapi nyatanya?” suaraku mulai meninggi.
“Untuk yang satu ini, Mas Fian nggak percaya sama kamu.” Mas Fian memelankan bicaranya. “Kamu perlu tahu. Renata itu perempuan baik-baik. Tidak mungkin, aku memilih perempuan nggak baik, Fin.” Lanjut Mas Fian sambil menatapku lembut.
“Kalau Mas Fian itu dibohongi, apa Mas Fian masih tetap percaya?” tanyaku sangsi.
“Aku nggak mungkin dibohongi.” Aku mulai memaki-maki Renata. Dalam hati. “Ngapain sih kamu bilang begituan?”
“Karena aku tahu, Renata-Renata itu pacarnya Mas Fian sama Mas Vano!” tepat saat kata itu meluncur dari mulutku, Mas Vano melewati kamarku. Tentu saja, dia mendengar kalimatku dan langsung memasuki kamarku.
“Bilang apa kamu tadi?” Mas Vano menatapku tajam.
“Renata itu... pacarnya.... Mas Fian.... dan Mas Vano!” dengan sengaja aku memenggal setiap kata dengan penuh penekanan. Mas Fian dan Mas Vano berpandangan sesaat.
“Jangan sampai kamu menjelek-jelekkan Renata di depanku!!” Mas Vano tersulut emosi. Jantungku berdegup tak karuan. “Sudah sudah... Refina, lanjutin belajarnya. Nggak usah ngurus kita. Van, ayo kita keluar kamar. Mungkin Refina butuh istirahat.” Lerai Mas Fian. Kedua kakakku mulai menjauhi kamar.
Aku terduduk lemas di sisi ranjang. Apakah hanya karena perkara Renata, aku dan kakak kandungku sendiri bertengkar? Dengan sepupuku sendiri, hubunganku renggang? Apa mereka tidak tahu alasanku berkata begini? Tak lain, karena aku tak ingin mereka sakit hati.
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini