Episode lalu...
Tekad apa yang harus kupegang agar tak terjatuh saat menyelamatkan Mas
Fian dan Mas Vano dari akal licik Renata? Haruskah aku menunggu agar mereka
putus? Apakah aku mampu bersabar melihat kakakku sendiri diperdaya? Apakah aku
mampu menerima dengan ikhlas kakakku disakiti?
Di sekolah, aku masih memikirkan kejadian tempo hari. Pertemuanku
dengan Renata dan Mas Vano yang tentu saja mengejutkanku, masih berputar-putar
dalam kepalaku. Aku tak ingin diam saja. Aku ingin bertindak. Tapi apa?
“Hayo... ngelamun.
Hati-hati. Nanti kesambet.” Lagi-lagi Tama mengagetkanku dari belakang.
Lamunanku tentang Renata pun buyar.
“Idih. Kata siapa
ngelamun? Enggak, tuh.” Aku meleletkan lidah. Tama tertawa. Suasana berubah
hening. Aku memilih diam. Otakku benar-benar tak mampu untuk menciptakan topik
baru yang setidaknya asyik untuk dibicarakan. Jantungku sudah cukup berdebar
dengan Tama yang tiba-tiba duduk di dekatku.
“Udah pernah jatuh
cinta, Fin?” pertanyaan Tama tak kunjung membuatku mengoceh. Malah, semakin
membuat hening di antara aku dan dia. Jeda yang cukup lama, namun tak membuat
jengah. “Nggak tahu. Udah kali. Emang kenapa?” tanyaku balik. Kali ini Tama
terlihat termenung.
“Nggak papa. Cuma
tanya aja, sih. Gimana rasanya?” tanyanya polos sambil memandangku. Aku
berpikir sejenak. Mencoba mendiskripsikan, bagaimana perasaanku saat di
dekatnya. “Mmmm... gimana ya? Pokoknya kalo lagi deket sama dia, nyaman gitu.
Seneng.” Jawabku seadanya. Sesuai dengan perasaanku saat ini. Tama
manggut-manggut.
Diam-diam aku
nyaman membicarakan ini. Ada suatu perasaan yang mengisyaratkan
aku-ingin-dekat-dengan-Tama. Pria yang sejauh ini telah membuat jantungku
berdesir halus, berdegup kencang, memompa darah dengan kecepatan tinggi, dan
diam-diam otakku mengendalikan saraf-saraf untuk menyunggingkan senyum. Inikah
yang namanya jatuh cinta?
Untaian demi
untaian cerita, mengalir di antara aku dan Tama. Selalu ada topik menarik yang
Tama suguhkan untuk kutanggapi, kukomentari, dan kucermati. Selama ini, hanya
Tama yang mampu begini.
Dalam diam, aku
mendengarkan dengan cermat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dalam
kecermatan itu, aku mengamati setiap inci lekuk wajahnya dengan detail.
Hidungnya mancung, kulinya putih, rambutnya tak pernah tersisir rapi, dan
matanya yang selalu terlihat tegas namun aslinya lembut. Jam tangan hitam yang
dengan setia bertengger di pergelangan tangan kirinya, menambah ketegasan dalam
sosoknya. Diam-diam batinku berkata ‘Tama patut untuk dikagumi’. Tanpa tahu,
apakah aku mampu memperjuangkan Tama.
“Tama. Bagaimana
perasaanmu jika dicintai seseorang?” giliranku menciptakan topik baru.
Membicarakan soal diriku tentangnya, tanpa dia tahu. Tama diam cukup lama.
Menggaruk kepala sebentar, sebelum kemudian menjawab dengan agak bimbang.
“Tergantung. Aku
dicintai sama siapa. Tapi, menurutku, jaman kayak gini belum ada namanya
cinta-cintaan. Ini tuh, namanya Cuma suka sama suka. Kalo cinta itu, pasti ntar
ujung-ujungnya sama nikah. Nah, kalo masih sekolah gini? Emang pulang sekolah
nanti mau nikah? Enggak, kan?” jawabnya. Aku mengernyitkan kening.
”Apakah itu sebuah jawaban?” tanyaku. Tama memandangku lembut,
sedangkan jantungku semakin giat untuk berdegup.
“Fin, kita itu masih ngalamin suka sama suka. Bukan cinta.” Tama
menghela nafas. “Aku cukup senang kalo disukai seseorang. Tapi jujur, aku saat
ini belum suka sama seseorang. Kalo kamu?” sebersit kekecewaan muncul begitu
saja. Tanpa bisa kucegah. Aku membiarkan pertanyaan Tama menggantung di udara.
Aku masih mengartikan perhatian Tama selama ini. Kejadian di ruang organisasi
dulu, di restoran kemarin, dan sekarang? Hanya teman biasa? Padahal, menurutku,
hanya aku yang dia perlakukan berbeda. Menurutku, aku diistimewakan olehnya.
Tapi ternyata? Aku sama dengan teman-teman lain dalam hidupnya. Aku sama dengan
orang-orang yang dia acuhkan. Benarkah?
“Entahlah, Tam.” Jawabku akhirnya. Aku menjadi lesu. Seakan-akan
Tama telah mematahkan asaku untuk memperjuangkan perasaan ini.
“Oh iya, Tam. Kalo kamu tahu ada seseorang yang menduakan orang
terdekatmu, gimana perasaanmu?”
“Kesal.” Jawabnya cepat. “Terus, apa yang kamu perbuat?” tanyaku.
“Bilang sama orang terdekatku dong.” Jawab Tama masih mantap. Oh
iya ya. Kenapa aku tak bilang ke Mas Vano dan Mas Fian? Sesi spesial dengan
Tama diakhiri dengan dering bunyi bel masuk. Diam-diam aku mengutuk bunyi bel
itu.
***
Setiba di rumah, aku mendapatinya lengang. Mas Vano sedang kuliah,
dan Mas Fian sedang bekerja. Aku mulai menyusun skenario untuk membongkar
rahasia Renata. Ketika aku memikirkan Renata, tiba-tiba pikiranku melayang pada
Tama. Tegakah aku pada dia? Ah, entahlah. Pikiranku gamang. Mas Vano, Mas Fian,
Renata, dan Tama. Semuanya berputar dalam kepalaku. Ya Tuhan...
Deru mesin motor Mas Fian terdengar di senja yang mulai kelam. Aku
mengintip dari balik jendela. Jantungku berdegup tak karuan. Rencana yang tadi
telah kupikir matang-matang, tiba-tiba terasa mentah begitu saja.
“Mas Fian!” seruku ketika Mas Fian memasuki rumah. Dia menengok dan
membalas seruanku dengan senyum. “Boleh tanya sesuatu, Mas?” tanyaku hati-hati.
“Boleh. Apa?” tanyanya.
“Nama pacarnya Mas Fian siapa?” sangat hati-hati aku bertanya.
Memastikan apakah itu orang yang sama dengan pacar Mas Vano. Dan senyum Mas Fian
melebar.
“Renata. Renata Wirya Utami. Kan aku udah bilang. Namanya mirip
sama itu temenmu. Siapa itu namanya? Yang ketua itu lo.” Jawab Mas Fian. Dan
ternyata? Memang sama. Bayangan Tama pun melintas di benakku mendengar jawaban Mas
Fian. “Kenapa?” tanya Mas Fian mengejutkanku.
“Ngg.. itu. Kok namanya sama dengan pacarnya Mas Vano ya?” tanyaku
balik, sok heran. Padahal, dalam hati, aku sangat was-was. Menebak-nebak
bagaimana reaksi Mas Fian. Kecewakah? Kesalkah? Langsung memutuskan
hubungankah?
“Siapa? Renata juga? Nama Renata di dunia ini nggak Cuma satu,
Fin.” Jawab Mas Fian lagi. Membuatku terlongo begitu lebar. Dugaanku
benar-benar meleset. “Udah ya. Mas Fian mau istirahat.” Lanjutnya, kemudian
meninggalkanku. Tidak ada unsur kecurigaan pun dalam diri Mas Fian. Aku kecewa.
Kurebahkan diri di kasurku yang hangat nan empuk. Kembali
memikirkan rencana apalagi yang harus kujalankan untuk menghindarkan Mas Fian
dan Mas Vano dari Renata.
Kulihat Mas Vano memasuki kamar. Hei.. dia baru pulang! Segera
kuhampiri dia.
“Mas...” sapaku manja. Mas Vano menoleh. “Apa, Fin?” tiba-tiba saja
suara Mas Vano membuat lidahku kelu.
“Ngg.. anu. Itu. Pacarnya Mas Fian eh.. Mas Vano....” duh, kenapa
jadi gagap begini? Rutukku dalam hati.
“Gimana, sih? Yang bener dong ngomongnya, Fin. Kenapa? Pacarnya siapa?”
“Pacarnya Mas Fian dan Mas Vano itu satu orang yang sama!” seruku
tanpa sadar. Ups!
“Eh.. ngawur kamu! Kamu kecapekan kali. Ngomongnya ngelantur. Udah.
Istirahat sana!” aku sempat terlongo sejenak sebelum meninggalkan Mas Vano.
Rencana A gagal total!
Esoknya kuceritakan hal itu pada Tama. Walaupun tidak sepenuhnya
aku bilang bahwa perempuan itu Renata dan korbannya adalah kedua kakakku, dia
paham betul apa yang kurasakan. Kesal dan kecewa.
“Begini, Fin. Kalau dari cerita yang kudengar itu tandanya orang
terdekatmu sudah amat sangat percaya sama perempuan itu. Sama pacarnya.”
Komentar Tama setelah mendengar ceritaku yang amat sangat luas. Eh, panjang
lebar. Aku membenarkan kata-kata Tama. “Ngomong-ngomong siapa sih orang
terdekatmu?” tanya Tama sambil memiringkan kepalanya.
“Kakakku.” Jawabku singkat. Masih dengan memikirkan cara
selanjutnya.
“Kakak? Bukannya kakakmu pacarnya Kak Renata? Kakakku?” Tama menaikkan
satu alisnya. Aku tergeragap. “Ngg... sepupu.” Ralatku. Aku masih belum ingin
menceritakan hal itu pada Tama. Aku saja.. masih belum mendapat kepercayaan
dari kedua abangku. Apalagi Tama? Orang yang baru beberapa hari ini menjadi
tempat curahan hatiku. Yang menjadi tempat menaruh pandanganku selama beberapa waktu.
“Oh.” Mulut Tama membentuk huruf ‘O’.
“Eh, ngomong-ngomong sudah dua hari ini kita istirahat bareng ya.”
Tama nyeletuk. Aku meliriknya lalu tertawa. “Hehe.. Iya.” Timpalku. Apa kau
suka dengan kedekatan ajaib kita ini? Apa kau suka dengan cerita-cerita
ajaibku? Yang sebenarnya sangat berkaitan dengan kakakmu? Apa kau....
“Woyyy!!! Jangan malah ngelamun!” Tama menepuk punggungku pelan.
“Ng... lucu juga ya, Tam. 3 tahun kelas kita bersebelahan, 3 tahun pula kita
ikut dalam satu organisasi. Tapi, kenapa di tahun ketiga juga, kita baru saling
mengenal?” tanyaku sambil menyeruput es jeruk di hadapanku. Tama diam. Jika
kulihat ekspresi wajahnya, dia sedikit tertegun dengan pertanyaan setengah
pernyataan ironiku. Aku juga memilih diam. Mempersilakan Tama membuka mulut
terlebih dahulu.
“Hehe..” suara Tama kembali mengisi keheningan. Aku tersenyum
tipis. “Eh, ada film bagus lo. Kamu suka nonton film nggak?” sambungnya. Aku
mengangguk pelan. “Suka film apa? Horor?” tanya Tama lagi.
“Semua suka. Yang penting pemainnya. Ganteng apa enggak.” ...mirip
kamu apa enggak, sambungku dalam hati.
“Yeee...” Tama sewot, mengacak rambutku sekilas. “Keren film horor.
Aku nanti pengen buat film horor ah.. Aku yang jadi sutradaranya.” Ujar Tama
antusias. Aku terkikik geli. “Judulnya?” tanyaku sambil menaikkan alis. Tama
tampak berpikir. “Enaknya apa?” dia balik bertanya. Aku sama-sama berpikir.
“Ngg.. Interviews with Hantu’s.” Jawabku asal. Tama kembali tertawa. Diam-diam
aku bersyukur, mampu membuat Tama tertawa.
“Itu ceritanya kita wawancara wawancara gitu?” tanya Tama di sela
tawanya, setengah berkhayal. Aku mengangguk mantab. “Kayak Raditya Dika!”
Sahutku berbarengan dengan dia. Aku menatapnya. Dia melakukan hal yang sama
denganku. Tawa kami pun pecah lagi.
“Kamu juga suka Raditya Dika?” tanyaku. “Jelaslah! Dia itu penulis
keren. Konyol.” Jawabnya. Dan kami menghabiskan waktu istirahat dengan membahas
Raditya Dika bersama cerita gilanya.
***
Aku mengetuk-ngetukkan pensil di meja belajar. Kembali memikirkan
kedua abangku. Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Apakah mereka akan terus
digantungkan? Apakah aku tega melihat mereka diperdaya? Oleh kakak kandung
Tama? Wirya Utama? Yang akhir-akhir ini menjadi alasan mengapa aku bersemangat
sekolah? Ya Tuhan...
Aku kembali mengingat beberapa minggu terakhir dengan dia.
Perhatiannya, senyumnya, ceritanya, keceriaannya, tingkah konyolnya, sikap
dinginnya, dan desir-desir halus yang muncul setiap aku di sampingnya.
“Hei... kenapa senyum-senyum?” tiba-tiba Mas Fian menepuk pundakku
pelan. Duh, lagi-lagi aku tertangkap basah sedang melamun. Walaupun Mas Fian
tidak tahu apa yang kupikirkan.
“Hehe..” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Mmm.. Mas.”
“Ya?”
“Mas Fian percaya nggak sama aku?”
“Percaya dong. Emang kenapa?”
“Jikapun aku bilang kalau pacar Mas Fian dan Mas Vano 1 orang yang
sama, apa Mas Fian juga percaya?” tanyaku pelan. Mas Fian sangat tertegun. Dia
menatapku tajam. Keraguan mulai hinggap membuat lidahku kembali kelu.
“Refina, kalo bicara jangan sembarangan!”
“Aku nggak sembarangan, Mas. Ini beneran! Kata Mas Fian tadi, Mas Fian
percaya sama aku. Tapi nyatanya?” suaraku mulai meninggi.
“Untuk yang satu ini, Mas Fian nggak percaya sama kamu.” Mas Fian
memelankan bicaranya. “Kamu perlu tahu. Renata itu perempuan baik-baik. Tidak
mungkin, aku memilih perempuan nggak baik, Fin.” Lanjut Mas Fian sambil
menatapku lembut.
“Kalau Mas Fian itu dibohongi, apa Mas Fian masih tetap percaya?”
tanyaku sangsi.
“Aku nggak mungkin dibohongi.” Aku mulai memaki-maki Renata. Dalam
hati. “Ngapain sih kamu bilang begituan?”
“Karena aku tahu, Renata-Renata itu pacarnya Mas Fian sama Mas Vano!”
tepat saat kata itu meluncur dari mulutku, Mas Vano melewati kamarku. Tentu
saja, dia mendengar kalimatku dan langsung memasuki kamarku.
“Bilang apa kamu tadi?” Mas Vano menatapku tajam.
“Renata itu... pacarnya.... Mas Fian.... dan Mas Vano!” dengan
sengaja aku memenggal setiap kata dengan penuh penekanan. Mas Fian dan Mas Vano
berpandangan sesaat.
“Jangan sampai kamu menjelek-jelekkan Renata di depanku!!” Mas Vano
tersulut emosi. Jantungku berdegup tak karuan. “Sudah sudah... Refina, lanjutin
belajarnya. Nggak usah ngurus kita. Van, ayo kita keluar kamar. Mungkin Refina
butuh istirahat.” Lerai Mas Fian. Kedua kakakku mulai menjauhi kamar.
Aku terduduk lemas di sisi ranjang. Apakah hanya karena perkara
Renata, aku dan kakak kandungku sendiri bertengkar? Dengan sepupuku sendiri,
hubunganku renggang? Apa mereka tidak tahu alasanku berkata begini? Tak lain,
karena aku tak ingin mereka sakit hati.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar