Dear kamu yang tak akan kusebutkan namanya di
sini.
Aku ternyata wanita yang benar-benar bodoh. Aku sudah bilang jika
perasaan ini sudah HILANG. Tapi nyatanya? Aku masih sakit melihat kalian
berjalan, berdua. HANYA berdua. Apa yang sedang kamu pikirkan? Kesenangan nafsu
belaka? Atau hanya ingin meledekku yang enggan mengenyahkan perasaan ini? Hei!
Perasaan ini sudah berusaha kumusnahkan. Tapi, justru itu yang membuatku makin
ingat dan terus mengingatnya.
Selama ini aku diam. Selama ini aku termangu. Dengan candamu yang
selalu terngiang di benakku. Dengan sosokmu yang kembali menjadi semu bagiku,
setelah malam itu. Kamu berbincang dengan kekasihmu, kamu bercanda dengan
kekasihmu, kamu tertawa dengan kekasihmu, kamu yang berjalan berdua dengan
kekasihmu. Seharusnya aku tak marah. Seharusnya aku tak cemburu. Kenapa? Karena
aku tidak berhak untuk melarangmu berdampingan dengan kekasihmu. Karena aku
bukan ibu atau saudara perempuanmu. Karena aku hanya temanmu. Teman yang
mengharapkan kamu.
Ada setangkup rindu yang menguap tatkala kamu tiba-tiba berada di
dekatku, menanggapi leluconku yang kutujukan untuk sahabatku. Apa kamu tak tahu
perubahan tingkahku? Apa kamu tak tahu wajahku memerah? Apa kamu tak tahu
jantungku berdegup lebih kencang? Apa kamu tak tahu, ada syukur yang berbisik
lirih di batinku? Apa kamu tak tahu ada sosok yang sering memandangmu
lekat-lekat? Apa kamu tak tahu ada sosok yang mengharapkan kamu?
Ada rasa cemburu ketika kamu masih ‘baik-‘baik’ saja dengan
kekasihmu. Ah, ya. Tak perlu kamu putus, tak perlu kamu berstatus lajang. Kita
dekat, itu sudah cukup. Aku dan kamu kembali bekerja sama dalam 1 tahun ke
depan. Tapi, aku tak tahu, apakah kejadian yang telah lalu dapat terulang?
Apakah perasaan ini juga cepat hilang? Aku tak tahu. Pertanyaan-pertanyaan itu
hanya mengelus dinding hatiku perlahan.
Aku tak tahu persis kapan rasa ini hadir. Aku tak tahu, sejak kapan
aku suka menulis tentang dirimu. Aku tak tahu, mulai kapan aku suka
mengamatimu. Aku tak tahu, dari kapan jantungku berdegup lebih cepat saat kamu
ada di dekatku. Aku tak tahu. Apakah sejak MOS 2013/2014 lalu? Apakah sejak
kita masuk dalam lembaga yang sama? Apakah sejak kita bertatap muka? Apakah
sejak kita berada dalam 1 organisasi? Apakah sejak kita menyusun kertas-kertas
memusingkan pada masa MOS adik kelas dulu?
Adik kelas? Ah, ada rasa perih yang berbisik jika kita membicarakan
adik kelas. Adik kelas yang mampu memikatmu. Adik kelas yang mampu merebut
hatimu. Adik kelas yang meniadakan hadirku dalam kehidupanmu. Adik kelas yang
pernah berkata ‘tidak suka’ kepadamu. Yang jelas, adik kelas yang kamu suka,
sayang, dan cinta.
Cih! Cinta? Tahu apa kita tentang cinta? Cinta yang katanya membuat
senang itu? Cinta yang katanya membuat hati orang berbunga-bunga? Iya kalau
cintanya terbalas. Kalau tidak? Seperti aku kepadamu? Cinta ini hanya membuatku
tak berhenti menulis tentangmu. Cinta ini hanya membuatku tak henti
bersenandung lagu menyedihkan. Cinta ini hanya membuatku seperti orang aneh,
hampir setiap hari membuat status di facebook, bertujuan agar kamu tahu
perasaanku, padahal kita saja tak berteman.
Cinta ini hanya membuat sakit, ketika kita dihadapkan pada
kenyataan bahwa, orang yang kita suka, menyukai orang lain. Kau tahu? Ada rasa
sakit. Ada rasa perih. Saat kamu berjalan di pusat kota, bersama kekasihmu,
malam itu. Sedangkan aku, menjalankan tugas, dalam keadaan lelah, mengetahui
kalian berdua, berjalan bersama. Ingin rasanya aku menamparmu! Ingin aku
menghampirimu! Memakimu!
Ah, tapi aku tak bisa. Pikiranku bukan anak kecil lagi yang
merengek-rengek agar permintaannya terpenuhi. Aku tak mungkin merengek-rengek
agar kamu suka padaku. Aku tak mungkin merengek-merengek memohon kepada
kekasihmu agar memutuskan hubunganmu. Itu tak mungkin. Aku sudah terlalu besar
untuk berbuat seperti itu. Yang mampu kulakukan, mungkin hanya menulis perasaan
lewat surat yang kuposting melalui blog pribadiku. Melalui surat yang tak
pernah kau baca.
Aku bukan orang yang mampu merangkai cerita. Aku bukan orang yang
mampu menciptakan alur untuk enak dibaca. Aku hanya orang yang merangkai kata
untuk menuangkan perasaanku pada sebuah tulisan. Tulisan yang rata-rata untuk
kamu. Kamu yang tak sepenuhnya mengerti aku. Kamu yang terkadang
memperhatikanku, lebih sering mengacuhkanku.
Kita tak pernah berkomunikasi di dunia maya. Kita tak pernah
membicarakan hal tak penting yang kata orang, hal tak penting itulah yang
membawa perasaan ‘suka’. Kita selalu membicarakan hal penting terkait kegiatan
organisasi. Selalu. Tapi, kenapa aku tak mampu mengendalikan rasa ini? Kenapa
aku merasa, rasa ini kian tersulut? Rasa yang kata orang disebut cinta. Oh ya?
Aku hanya salah satu orang, yang termasuk dalam penggemarmu. Aku
hanya salah satu orang atau bahkan satu-satunya orang yang menuliskan perasaan
ini secara gamblang di dunia maya. Aku mungkin hanya pengecut yang tak berani
mengungkapkan perasaan ini kepada yang bersangkutan. Kamu. Aku tak berani mengungkapkan
rasa suka ini. Kenapa? Karena rasa ini, terbantah oleh gengsi. Ya, gengsi.
Luka, sakit, perih, cemburu, yang menghantuiku selama ini karena
ulahku sendiri. Karena aku menutup rapat isi hatiku tentangmu, kepadamu. Aku
juga sadar, gengsi tak mampu mengobati rasa perih ini.
Jika aku mengungkapkan rasa ini, mungkin kamu akan terkejut lalu
malah menjauhiku. Aku tak mau itu. Aku tetap aku, dan kamu tetap kamu. Kita
tetap teman dengan rentangan jarak yang begitu lebar untuk dijadikan dalam
status berpacaran. Selamat membaca surat yang tak akan kau baca ini.
Dari rekan kerja satu timmu, orang yang
mengharapkanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar