Selamat hari raya kurban Mas! Selamat juga udah ngasih kejelasan
tentang perasaanmu ke aku walaupun nggak langsung. Makasih ya, Mas. Itu udah
jadi bukti buat aku, kalau aku itu Cuma adik kelas di depan kamu, nggak lebih.
Kata ‘sayang’ yang pernah tertulis dalam sebuah pesan singkat, hanya ikut andil
dalam mewarnai perpisahan kita, nggak lebih. Aku yang terlalu melebihkan arti
kata ‘sayang’ yang kau kirimkan.
Aku hanya wanita
bodoh yang masih mengharapkan kamu. Aku hanya wanita payah yang masih mengingat
memori tentang kita. Aku masih ingat bagaimana kita terhubung di dunia maya.
Dengan tawa dan canda, aku selalu menunggu malam-malam di mana kita hanya
berdua, menikmati layar laptop, berbagi cerita, dengan kamu. Aku selalu menanti
cerita-cerita lucumu, yang biasanya selalu mengubahnya menjadi tawa untukku.
Tanpa aku tahu, kenangan itu masih kuharapkan hingga kini.
Kamu pacaran, kamu
putus, kamu dekat dengan orang lain. Apakah hidupmu terlalu singkat untuk
sekedar menyadari keberadaanku di dunia? Keberadaanku yang tidak sekedar
menjadi figuran dalam hidupmu. Keberadaanku yang tidak sekedar menjadi adik
kelas selama beberapa tahun ini. Aku mungkin hanya segelintir orang yang
mengharapkan kamu. Tak perlu dengan status pacaran. Tak perlu dengan kata cinta
atau sayang. Hanya kita saling dekat, itu sudah cukup. Kita hanya saling tegur
sapa, itu sudah cukup.
Menyakitkan bila
kamu masih acuh di depanku. Apakah ada yang memarahimu jika kamu mengucap ‘hai’
padaku? Apakah masih ada yang mengaturmu untuk menjauhiku? Apakah terlalu
sempit memori yang tersedia di otakmu untuk sekedar mengingat kenangan tentang
kita?
Aku hanya mampu
menulis perasaan ini dalam surat yang tak pernah kau baca. Tidak mungkin aku
melisankan perasaan ini di depanmu. Aku terlalu takut untuk berdiri di depanmu.
Yang kumampu hanya berdiri di sampingmu, lalu menggumam tak jelas jika kamu
tidak menyapa bahkan tidak menengokku. Teman-temanmu banyak yang menganggap
kehadiranku. Teman-temanmu banyak yang mengenaliku. Tapi, kamu tidak. Kamu
tidak menganggap aku ada, tapi ya! Kamu memang mengenaliku. Sepertinya.
Apa kamu ingat
bulan Ramadan tahun ini? Saat aku mengirim pesan singkat untukmu menjelang
sholat tarawih? Saat itu aku sedang bingung mencurahkan isi hati ke mana. Dan
aku juga tak tahu, kenapa otak dan sarafku memilih dirimu. Aku tak tahu, kenapa
jemariku mencari namamu, mataku membaca namamu, dan otakku memerintahkan untuk
menekan tombol ‘kirim’.
Seharusnya aku
mampu menebak. Seharusnya aku sudah memperkirakan apa yang kamu katakan,
balasan apa yang kamu kirim. Kamu hanya menyarankanku untuk ke masjid agar
emosiku kembali stabil. Sesingkat itu saran kamu. Padahal, aku mengetik ratusan
huruf untuk menggambarkan perasaanku saat itu. Sungguh, kamu bukan yang dulu.
Kamu bukan kamu yang kukenal dulu. Kamu yang ramah, peduli dan konyol. Sehitam
putih itukah aku di hidupmu?
Yang kuharap adalah, kamu membaca surat ini, menyadari kesalahanmu,
meminta maaf padaku, dan kita kembali dekat.
Untuk kamu, yang pernah kunanti kehadirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar