Kita kembali dipertemukan. Tapi dalam tema yang berbeda. Sudah ada
3 kali peristiwa berbeda yang Tuhan ciptakan untuk mempertemukanku kembali
denganmu. Membuatku kian kuat untuk berharap kamu berada di sisiku. Yang pertama,
aku mulai dari dunia maya. Dunia yang pernah kita jelajah untuk saling
berinteraksi, saling tertawa, berbincang, saling berbagi cerita, tentang
sekolah, teman, hingga cinta. Apakah kamu ingat? Itu terjadi sekitar 2 tahun
yang lalu. Saat kita menimba ilmu di lembaga yang berbeda.
Yang kedua, adalah kita dipertemukan dalam masa MOS. Masa-masa
dimana aku belum menyadari betapa aku ingin kamu berada di sampingku. Aku belum
mengerti, aku belum menyadari bahwa aku akan mengharapkan kamu lebih dari
sekedar teman, lebih dari sekedar kakak kelas. Masa MOS, yang semakin
mempererat hubungan kita, sebagai teman. Kembali tukar menukar cerita melalui
dunia maya. Seakan mengingat bahwa pertama kali kita terhubung melalui dunia
maya. Aku juga ingat dan akan terus mengingatnya jika kamu selalu membagi
pengalamanmu saat menimba ilmu di sekolah itu. Sekolah yang menjadi tujuanku
setelah lulus dari ujian-ujian memusingkan yang kupelajari selama 6 tahun.
Kamu juga menjadi orang yang membuatku terkesan saat masa MOS itu. Made
My Day. Terima kasih. Apa kamu tahu, aku sempat kecewa jika kamu tidak
berada di kelasku untuk sekedar memberi lembaran absensi siswa? Apa kamu juga
tahu, aku sengaja memperlambat waktuku melipat mukena di mushola agar bertemu
denganmu? Apa kamu tahu aku selalu mencari pemilik sarung berwarna seperti
langit? Yang kumaksud adalah kamu, Mas. Kamu!
Beberapa waktu kemudian, kamu menjauhiku. Dengan alasan yang
menurutku sangat tidak masuk akal. Dan mulai saat itu, aku rindu hadirmu. Aku
rindu kebersamaan kita yang berakhir dengan mengenaskan. Aku rindu pengalaman
kamu. Aku rindu cerita kamu. Aku rindu kamu dan duniamu yang selalu kau bagikan
untukku, hanya untukku. Aku menyebutmu hebat karena, dengan kamu menjauhiku,
aku jadi tahu, ada semacam buih perasaan aneh yang menyusupi batinku secara
perlahan namun pasti. Perasaan itu muncul ketika kamu mulai tidak menyapaku,
tidak mempedulikanku, dan mengacuhkanku.
Mulai saat itu juga, aku sadar. Aku tidak menjadikanmu sekedar tempat
curhatku selama ini. Aku sadar jika aku tak mungkin memasuki duniamu dan
menduduki singgasana yang tersedia di kerajaan indahmu. Aku tak mungkin menjadi
‘lebih’ dari sosok teman dalam hidupmu. Aku hanya pengisi tempat kosong yang
tak akan kau cari jika aku hilang. Dan ada semacam rindu. Rindu yang membuatku
muak. Rindu yang selalu kutemui dalam hari-hariku. Rindu yang semakin membosankan.
Rindu yang kian menyadarkanku bahwa kamu termasuk manusia berarti dalam
hidupku. Bahkan, rindu juga yang menyatakan bahwa aku menginginkan kamu setelah
kebiasaan kita saling berbagi tawa. Selalu ada rindu di setiap jengkal cerita
kita. Rindu ini, sekarang menghantuiku. Rindu ini yang selalu membawamu dalam
bingkai imajiku.
Entahlah, ini sudah tulisan keberapa aku menulis tentang dirimu.
Dirimu yang membuatku hampir terjungkal karena selalu melihat masa lalu. Ini
indah. Ini aneh. Ini asyik. Ini bodoh. Ini menyenangkan. Ini payah. Aku selalu
menyempatkan mataku untuk sekedar melihat sosokmu yang tidak sadar jika sedang
diamati seseorang. Aku selalu menyempatkan otakku untuk mengenang memori
tentangmu. Selalu ada senyum di akhir angan tentang kamu. Seakan-akan, kamu
adalah penyembuh lukaku. Padahal, kamu yang membuat ‘luka’ gila ini. Bagaimana
bukan disebut luka? Kamu yang memulai perkenalan kita, kamu juga yang mengakhiri
kedekatan kita. Aku kecewa, Mas. Tapi, entahlah. Kekecewaan ini, selalu tak
terlihat, namun tetap tak terbantahkan.
Dan yang ketiga adalah, canda yang meluncur hangat dari mulutmu
kemarin. Ada sikap spontan yang tercermin darimu. Semacam, kebiasaan. Aku patut
untuk bersyukur. Di kala aku hampir bosan untuk berdo’a agar kita kembali
dekat, kamu kembali muncul, atau mungkin yang lebih tepat adalah kamu kembali
dihadirkan oleh Tuhan untukku. Untuk menghapus rindu yang hampir tak terlihat
saking banyaknya. Saking menumpuknya. Saking aku tak sanggup lagi menyimpannya.
Sapaan yang terlontar dari mulutmu siang itu, kembali membuat
senyumku mengembang. Sapaan, dari kamu, orang yang berarti di kehidupanku!
Setelah kita terpisah beberapa bulan
ini. Hampir 1 tahun ini. Apa kamu tahu, aku hampir berteriak setelah kamu sapa?
Apa kamu tahu, aku akan menjerit histeris jika tidak ingat kalau sedang di
sekolah?
Ada sebuah jawaban dari sebuah penantian yang menjengahkan. Terima
kasih Tuhan, telah menyentuhkan ujung jemariMu untuk merancang peristiwa yang
membuatku terkesan, telah menunjuk dia sebagai pengisi peristiwa berharga dalam
hidupku. Telah menjadikan dia, bukan sekedar fatamorgana di tengah gurun
penantian yang amat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar