Siang ini. Kamu. Jendela ruang OSIS. Kamu baik-baik saja ya, Mas?
Masih dengan tatapan sendumu. Masih dengan wajah tak ceriamu. Masih dengan
candamu, dengan teman-temanmu. Seandainya aku terhitung sebagai salah satu dari
temanmu, mungkin aku merasa manusia yang beruntung. Padahal, manusia-manusia
yang kamu anggap teman-temanmu merasa biasa saja. Iya, kan?
Seharusnya aku
mengucap syukur kamu sudah putus dengan wanita itu. Seharusnya aku mampu
mengambil perhatianmu (lagi). Seharusnya aku tak lagi bingung bagaimana
mengambil sikap saat di depanmu. Seharusnya aku tak lagi menyukaimu.
Seharusnya. Tapi nyatanya? Aku malah terkejut ketika membaca status facebookmu
yang tidak berpacaran lagi dengannya. Aku juga tidak sanggup mengambil
perhatianmu seperti dulu, yang membuat pacarmu cemburu. Aku juga masih bingung
bagaimana ekspresi wajah yang harus kutunjukkan jika ada kamu (baca: hanya
lewat). Aku juga masih (merasa) suka sama kamu.
Kamu ingat *sebut
merk*, Mas? Yang pernah kamu beri dulu waktu Ulangan Umum Semester Pertamaku di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pacitan. Ulangan umum perdanaku. Dan, kamulah
yang membuat waktu itu berkesan! Tahukah kamu? Plastik cokelat renyah itu masih
kusimpan. Mengingat, hal itu mustahil untuk terulang. Terlalu tinggi jika aku
berharap kamu kembali memberiku sebuah benda yang sebenarnya tak begitu
berarti. Aku bisa setiap hari membeli *sebut merk*. Harganya tak semahal mobil
murah. Tapi kenapa aku sangat menyayangi pemberianmu ini? Bukan karena aku suka
*sebut merk*. Tapi karena aku suka sama pemberinya. Kamu, Mas!
Mas, kamu adalah
manusia pertama yang aku suka dengan cara yang berbeda. Aku suka kamu sampai
rasa suka itu hilang pelan-pelan. Aku suka sama kamu sampai rasa suka itu
berubah menjadi semu. Aku suka sama kamu dengan cara ajaib. Aku suka sama kamu
tapi nggak tahu rasa suka itu tumbuh dengan subur. Aku suka sama kamu dari dulu
hingga sekarang. Aku suka sama kamu tidak hanya sekedar dari buaian gombal yang
rata-rata hanya penyejuk rasa. Aku suka sama kamu tanpa ada kata “Aku cinta
kamu”. Aku suka sama kamu murni karena
kenyamanan yang terjalin, yang selalu kudapat jika dekat dengan kamu.
Aku kangen waktu
kita membicarakan Organisasi Siswa Intra Sekolah milik sekolahmu. Aku kangen
waktu kamu promosi tentang OSIS. Aku kangen waktu kamu membujukku untuk
bergabung menjadi pengurus OSIS. Aku kangen waktu kita melewati tengah malam di
depan halaman bertajuk facebook. Aku kangen waktu aku curhat tentang
teman ‘beda’ kelasku, Mas. Aku kangen saran-saranmu tentang bagaimana aku
menyikapi dia, Mas. Seharusnya aku senang dengan kenyamanan yang kamu ciptakan.
Seharusnya aku senang dengan perhatian yang kamu beri. Sayangnya, aku belum
mengerti kenapa aku selalu ingin mencurahkan isi hati kepadamu. Aku belum
mengerti kenapa aku selalu ingin menghadap laptop di malam libur (baca: bertemu
dengan kamu lewat maya).
Kamu nyata tapi
maya. Kamu ada tapi semu.
Kamu ingat
beberapa waktu yang lalu pandangan kita sempat bertemu? Apa kamu tahu setelah
kamu mulai berpura-pura sibuk dengan motormu, aku sangat mengingat peristiwa
itu? Rasa rinduku sebagian telah terkikis. Perasaanku lega ternyata kamu masih
baik-baik saja. Masih menjadi sosok yang pendiam. Masih menjadi sosok dengan
wajah yang murung.
Mas, apakah aku
pernah menjadi teman yang kamu istimewakan? Apakah canda yang pernah kamu bagi
dulu itu hanya untukku? Apakah benar-benar hanya untukku dan beberapa temanmu
yang lainnya? Apa kamu juga ingat bahwa kamu pernah memegang tanganku? Apa kamu
ingat peristiwa penutupan MOS 2012/2013 menyisakan kenangan istimewa dalam
kehidupanku? Di samping selatan mushola kita bertemu dan bercanda. Apa kamu
ingat, Mas? Apa aku terlalu bodoh karena mengingat peristiwa tak penting itu?
Siapa yang hampir
tidak pernah absen untuk ke kelasku pada masa MOS? Kamu, Mas! Dan aku kembali
tertegun kecewa jika aku baru menyadari hal itu beberapa bulan terakhir. Aku
tidak peka dengan sikap kamu yang sekarang kunilai “kamu-dulu-mengistimewakanku”.
Atau kamu dulu memang benar-benar tidak mengistimewakanku?
Mas, apa kamu tahu
kabarku sekarang? Alhamdulillah, aku baik-baik saja di sini, Mas. Lukaku
karenamu pelan-pelan mulai terobati. Pelan-pelan aku juga mulai menata hatiku
setelah porak poranda karena aku baru menyadari arti penting hadirmu. Setelah
aku kehilangan rasa nyaman dan perhatian darimu. Aku sekarang mulai belajar
bagaimana caranya melihat kamu dengan tatapan wajar. Mengendalikan pita suara
agar tidak histeris jika kamu menyapaku lewat dunia maya. Dunia yang dulu
pernah kita ‘singgahi’ untuk menyandarkan keluh kesah. Untuk menjadi sandaran
pengganti bahumu untukku. Menjadi wadah tumpahan rindu yang meletup. Menjadi
saksi tawa yang seharian membisu karena tak ada candamu.
Untuk kamu, pria
yang tak akan kusebutkan namanya dalam tulisan ini.
*sebut nama*. Nama akun facebook yang selalu membuatku tersentak
dan selalu ingin mengikuti kabar tentang pemiliknya. Nama akun facebook yang
dulu selalu memenuhi pemberitahuan. Nama akun facebook yang dulu selalu
kunantikan hadirnya di antara deretan pengunjung facebook yang online. Nama
akun facebook yang selalu aku cari di tengah kesibukanku sebagai pelajar. Yang
menyambangiku tentang bagaimana hidup dalam kepengurusan OSIS. Selamat malam
kamu pemilik akun facebook *sebut nama*. Selamat menikmati hari-harimu sebagai
lajang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar