Episode lalu...
Apa yang aneh dengan cewek ini? Apa ada masalah dengannya? Apa ada
hubungannya dengan Wirya Utama? Cowok penghuni kelas sebelah yang bikin gue
betah ngeliatin dia secara diam-diam.
Setelah beberapa
kali Tama menolak, akhirnya dia nerima proposal gue. Syukurlah. Dari wajahnya,
mengisyaratkan kepuasan. Eh tapi, bukan Cuma karena proposal gue diterima, tapi
karena insiden kecil dalam ruang rapat tadi yang bikin gue mesam mesem nggak
jelas. Begini ceritanya.
“Jam berapa, Fin?”
tanyanya sambil menyusun beberapa berkas. “2.” jawabku singkat. Tama terlonjak
kaget. “Kenapa?”
“Ini berkas belum
gue susun semua. Belum dapet setengahnya malah. Duh, udah siang lagi.” Jelasnya
masih dengan kebingungan, keresahan, dan kegelisahan. “Gue bantu ya.” Tawarku.
Tama menoleh dan memamerkan gigi putihnya. Langsung mengangguk.
Tama mengajariku
secara singkat bagaimana menyusun berkas-berkas yang masih morat-marit di dalam
ruang organisasi. Dengan cekatan, aku menyusun seperti apa yang Tama ajarkan.
Beberapa menit kemudian, Tama keluar ruangan. Nggak tahu kemana. Jangan-jangan
dia pulang? Ah, enggak. Tasnya masih di sini kok. Ke toilet mungkin. Dasar
orang kaku! Keluar, nggak pamit.
Sekitar setengah
jam, Tama baru masuk ke ruangan. Membawa 2 teh botol dan bakso 2 mangkuk. Ya
ampun. Dia perhatian sekali.
“Udah dapet
seberapa?” tanyanya sambil meletakkan barang bawaan. “Setengah.” Jawabku seraya
mengusap peluh. Ternyata capek juga. “Makan dulu, Fin. Kamu pasti laper sama
haus.” Aku tersenyum samar. Tama.. Tama. Walaupun dingin, kamu baik juga. Tapi
namanya cewek, ya gengsi dong.
“Ah, tanggung.
Bentar lagi.” Jawab gue. “Udahlah. Ayo!! Atau gue abisin nih.” Ancamnya. Uh,
Tama. Ganteng-ganteng rakus juga. Gue Cuma ketawa lalu mengangguk.
Gue suka waktu
Tama cerita tentang keluarganya, hobinya, dirinya. Gue suka waktu Tama bikin
lelucon. Gue suka waktu Tama nawarin gue makan, seolah-olah dia adalah seorang
kakak yang menjaga adiknya dengan penuh kasih sayang. Gue suka cara Tama natap
gue. Ini kayak bukan Tama yang dikenal sebagai cowok dingin dan kaku di
sekolah.
“Kamu lagi deket
sama siapa, Tam?” tanyaku sambil menyeruput teh. Dengan muka monyong-monyong
karena bakso panas itu meluncur dengan mulus ke mulutnya dia menjawab, “Awda
deh..” katanya dengan wajah usil.
“Eh, jam berapa,
Fin?” tangan Tama tiba-tiba memegang tanganku. Gue yang tadi maki-maki dia dalam
hati beku seketika. Orang ganteng ini pegang tangan gue. “Sorry.” Gumamnya yang
seperti tak ditujukan padaku. Gue Cuma senyum.
“Jam 3, Tam. Udah
ya. Yuk kita lanjutin. Ntar malah kesorean.” Akhirnya gue sama Tama beresin itu
semua dan gue pulang.
Yang jadi
pertanyaan sekarang adalah, kenapa bukan Cuma wajah gantengnya aja yang bikin
gue senyum ya? Kenapa waktu Tama pegang tangan gue, rasanya.....
“Woy!! Ngapain
senyum-senyum sendiri?” Aih.. Mas Fian. Masuk kamar orang, nggak ketuk pintu
dulu. Bikin kaget. Hih. “Yee.. emang aku senyum?” tanyaku setengah berkilah.
“Cuma mesam-mesem.”
Mas Fian mencibir.
“Eh, Mas Fian
ngapain sih ke sini? Tumben Banget.” Aku mulai mengalihkan topik pembicaraan.
Malu dong, ketahuan gila. “Kenapa? Nggak suka?”
“Suka Banget.
Tapi, nggak biasa-biasanya gitu lo, Mas.”
“Mama kamu yang
nyuruh aku ke sini. Buat nemenin kalian berdua. Kan, kamu tahu sendiri. Mas
kamu itu orangnya sok sibuk. Katanya ikut inilah itulah.. paling-paling dia
Cuma apel di rumah pacarnya.” Seloroh Mas Fian. Aku manggut-manggut. “Kamu
kayaknya, juga mulai sok sibuk, deh.” Dan kali ini, gue nggak lagi
manggut-manggut. Tapi, memelototi Mas Fian. Sok apanya? Emang beneran sibuk, Mas!
“Weitss... aku
beneran sibuk. Tanggal 15 nanti, mau ngadain acara sepeda santai. Terus, aku
kebagian buat proposalnya. Capek tau!!” jawabku sambil merengut. Mas Fian tertawa
lalu mengacak rambutku.
***
“Tama!” aku
memanggilnya dengan cukup kencang. Yang kupanggil menoleh. Aku tersenyum seraya
melambaikan tangan. Sedangkan dia, hanya menatapku, lalu berbalik. Aku
terhenyak. Apakah yang kupanggil benar-benar Tama? Jika bukan, mengapa wajahnya
persis bahkan menoleh? Terus, dimana senyum dan tawa Tama? Dimana rasa gelisah
dan resahnya saat tugas belum kelar? Kemana dia yang memperhatikanku kemarin?
Siapa yang bercerita tentang keluarganya kemarin?
Sampai bel pulang
berdering, aku masih memikirkan sikap Tama. Sikap hangat dan dinginnya masih
beterbangan liar dalam pikiranku. Dimana Tama yang kemarin kukenal? Yang
kemarin tanpa sengaja memegang tanganku. Yang kemarin mendesirkan jantungku.
Tama yang mana?
“Tanggal 15.”
Suara datar yang akrab menyapaku dari belakang. Aku diam lalu tersenyum.
Pemilik suara itu juga tersenyum sekilas, kemudian menghilang, membaur bersama
ratusan pelajar lainnya yang pulang. Pikiranku semakin gamang. Ada apa dengan
Tama? Tama yang dingin dan Tama yang ramah.
***
“Tanggal 15.”
Gumamku sambil melihat kalender. Lingkaran superbesar berspidol merah
mengelilingi angka 15. Aku tersenyum. Teringat beberapa waktu lalu saat Tama
menyapaku diam-diam dari belakang. Meninggalkan senyum samar di wajahnya.
Di sekolah sudah
sangat penuh dengan peserta yang akan mengikuti sepeda santai. Mereka semua
terlihat antusias dengan acara ini. Aku cukup berdebar serta berdo’a agar tidak
ada aral melintang selama acara berlangsung.
Tama menepuk
pundakku pelan. Aku tersentak. Tanpa menoleh, Tama menggumam. “Good Luck.”
Diikuti sebuah senyum.
Tama membuka acara
dengan sambutan dan prakata penyelenggara. Aku berada di jajaran pengurus,
mencermati setiap kata yang diucapkan dalam pidatonya.
Pembukaan. Aku dan
Tama di bagian paling belakang acara sepeda santai. Dengan beberapa orang
kesehatan dari organisasi PMR sekolah. Tama masih diam. Atau mungkin, dia serius
dengan acara ini, atau mungkin dia juga berdo’a acaranya akan berjalan sukses.
Aku sendiri memlilih mengobrol dengan anak PMR di sampingku.
Acara telah
selesai. Aku bernafas lega. Kemudian bersalaman dengan beberapa pengurus lain
termasuk Tama. Dia tersenyum. Aku juga. Setelah itu aku berbalik. Bermaksud
meninggalkan keramaian usai acara.
“Hei. Butuh
minum?” aku kaget. Di sampingku Tama mengulurkan minuman. Aku tersenyum lalu
menerimanya. “Nanti malem syukuran pengurus lo, Fin. Kamu ikut, kan?” tanya
Tama.
“Ikut, dong!” jawabku dengan mantap. Walaupun di dalam hati muncul
berbagai pertanyaan. Tama yang mana lagi ini? Tama yang ramah? Terus mana Tama
yang dingin?
“Foto, yuk!” Tama mengeluarkan kamera kecilnya dari saku. Aku
langsung berpose. Tama tertawa.
Aku dan Tama
kembali berbagi cerita. Persis di ruang organisasi beberapa hari yang lalu. Gue
suka Tama yang kayak gini. Gue suka Tama yang selalu cerita. Gue suka Tama yang
selalu punya topik untuk dibicarakan. Gue suka Tama yang ini! Batinku.
Malam ini aku
bolak balik milih baju. Entah, apa yang bikin gue bingung. Di otak rasanya
benar-benar blank. Baju apapun rasanya nggak cocok. Apalagi nanti akan bertemu
dengan Tama. Orang yang selama ini mengotak-atik dan memporak porandakan
pikiranku. Mengendalikanku. Alhasil, aku memilih baju yang pertama kali aku
keluarkan.
“Ckck.. ngapain,
Fin? Mau renovasi kamar?” tiba-tiba Mas Fian mengejutkanku. Aku mendengus
pelan. “Mau ke acara syukuran pengurus.” Jawabku singkat dan datar.
“Yah.. aku
sendirian dong.” Cetus Mas Fian. Aku meliriknya, mendelik. “Emang Mas Vano
kemana?” tanyaku. “Dia tadi keluar. Ke rumah pacarnya kali.” Suasana lalu
hening. Tergantikan oleh keributanku berdandan.
“Kamu mau
kondangan kemana sih? Oh... udah punya pacar ya? Hayooo...” Mas Fian
menudingku. Sontak, aku terbatuk pelan. “Ah.. apaan sih.” Kataku sambil
menyikut lengannya pelan. “Kamu nggak papa kok udah pacaran. Tapi, pacarmu
harus lebih ganteng dari aku.” Aku tertawa mendengar celoteh Mas Fian. Diam-diam
aku mengucap amin.
Sebuah restoran di
pusat kota yang telah dipesan oleh anak-anak sekolahku, sudah cukup ramai.
Pengunjung restoran ini, tak sepenuhnya dari organisasiku. Karena memang, kami
hanya memesan beberapa meja, tidak memesan seluruh tempat restoran. Aku
memandang berkeliling. Mencari sosok yang tadi siang membuatku tersenyum dan
tersipu diam-diam.
“Nyari aku, nih?”
tiba-tiba Tama mengejutkanku dengan tebakan jitu. Aku tertawa lalu menepuk
punggungnya pelan. “Duduk di sana, yuk.” Ajakku. Dia mengangguk lalu
mengikutiku.
Aku dan Tama
memilih duduk di dekat jendela. Mengamati pengunjung restoran satu per satu. Pandanganku
mengganjal pada salah satu sudut restoran. Hei.. bukankah itu Mas Vano? Dia
duduk dengan seorang perempuan. Pacarnyakah? Temannyakah? Siapa?
“Eh, itu kakakku!”
aku kembali terkejut. Aku dan Tama berseru dengan menunjuk tempat yang sama,
berbarengan pula. Dia tertawa sekilas, sedangkan aku terlihat bingung. “Mending
disamperin deh.”
“Mas Vano!”
sapaku. Sontak Mas Vano terkejut dan menoleh. Wanita di hadapannya juga
menoleh. Bukankah ini pacarnya Mas Fian? Perempuan itu juga terlihat kaget saat
melihatku. “Oh.. Mas Vano temennya Mbak ini?” Lanjutku setengah bertanya di
sela keterkejutan. Mas Vano melongo.
“Ini pacar aku,
dek.” Aku kaget. “Wah.. kita bakal jadi sodara, Fin. Ini kakak aku.” Suara Tama
membuat kalimat bantahanku kembali kutelan. Aku takut menyinggung perasaan
Tama, jika aku menceritakan yang sebenarnya. Perempuan itu pacarnya Mas Fian
dan Mas Vano! Ada rasa tidak terima dan takut dalam hatiku. Aku tidak terima kakakku
di duakan oleh perempuan itu. Sedangkan, jika aku ceritakan sekarang, aku takut
kalau Tama malah tersinggung dan menjauhiku.
“Kok diem, Fin?”
Tama membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng sambil masih menatap tajam perempuan
itu. Perempuan itu sepertinya juga sedang khawatir. Mungkin, takut kedoknya
bakal terbongkar.
“Renata.” Kata
perempuan itu sambil mengulurkan tangan. “Refina.” Jawabku. Dengan senyum yang
sangat kupaksakan. Aku merasa sangat jengkel. Kemudian, menggandeng Tama
menjauh dari Renata dan Mas Vano.
“Kamu kenapa sih,
Fin?” tanya Tama setelah aku dan dia kembali duduk di tempat semula. “Nggak
papa, Tam.”
Sesampainya di
rumah pun, aku masih memikirkan tentang Renata. Ternyata benar. Dia bukan
perempuan baik-baik. Tapi, kenapa dia harus jadi kakaknya Tama? Orang yang
diam-diam mampu mendesirkan jantungku? Renata.. Renata.. Renata... Ah, buntu!
Apa yang harus kuperbuat untuk membongkar kedok Renata tanpa menyinggung perasaan
Tama, Mas Fian, dan Mas Vano? Baru kali ini aku merasakan dilema yang begitu
berat.
Tekad apa yang
harus kupegang agar tak terjatuh saat menyelamatkan Mas Fian dan Mas Vano dari
akal licik Renata? Haruskah aku menunggu agar mereka putus? Apakah aku mampu
bersabar melihat kakakku sendiri diperdaya? Apakah aku mampu menerima dengan
ikhlas kakakku disakiti?
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar