Jumat, 18 Oktober 2013

Dilema (Episode 2)



Episode lalu...
Apa yang aneh dengan cewek ini? Apa ada masalah dengannya? Apa ada hubungannya dengan Wirya Utama? Cowok penghuni kelas sebelah yang bikin gue betah ngeliatin dia secara diam-diam.

            Setelah beberapa kali Tama menolak, akhirnya dia nerima proposal gue. Syukurlah. Dari wajahnya, mengisyaratkan kepuasan. Eh tapi, bukan Cuma karena proposal gue diterima, tapi karena insiden kecil dalam ruang rapat tadi yang bikin gue mesam mesem nggak jelas. Begini ceritanya.
            “Jam berapa, Fin?” tanyanya sambil menyusun beberapa berkas. “2.” jawabku singkat. Tama terlonjak kaget. “Kenapa?”
            “Ini berkas belum gue susun semua. Belum dapet setengahnya malah. Duh, udah siang lagi.” Jelasnya masih dengan kebingungan, keresahan, dan kegelisahan. “Gue bantu ya.” Tawarku. Tama menoleh dan memamerkan gigi putihnya. Langsung mengangguk.
            Tama mengajariku secara singkat bagaimana menyusun berkas-berkas yang masih morat-marit di dalam ruang organisasi. Dengan cekatan, aku menyusun seperti apa yang Tama ajarkan. Beberapa menit kemudian, Tama keluar ruangan. Nggak tahu kemana. Jangan-jangan dia pulang? Ah, enggak. Tasnya masih di sini kok. Ke toilet mungkin. Dasar orang kaku! Keluar, nggak pamit.
            Sekitar setengah jam, Tama baru masuk ke ruangan. Membawa 2 teh botol dan bakso 2 mangkuk. Ya ampun. Dia perhatian sekali.
            “Udah dapet seberapa?” tanyanya sambil meletakkan barang bawaan. “Setengah.” Jawabku seraya mengusap peluh. Ternyata capek juga. “Makan dulu, Fin. Kamu pasti laper sama haus.” Aku tersenyum samar. Tama.. Tama. Walaupun dingin, kamu baik juga. Tapi namanya cewek, ya gengsi dong.
            “Ah, tanggung. Bentar lagi.” Jawab gue. “Udahlah. Ayo!! Atau gue abisin nih.” Ancamnya. Uh, Tama. Ganteng-ganteng rakus juga. Gue Cuma ketawa lalu mengangguk.
            Gue suka waktu Tama cerita tentang keluarganya, hobinya, dirinya. Gue suka waktu Tama bikin lelucon. Gue suka waktu Tama nawarin gue makan, seolah-olah dia adalah seorang kakak yang menjaga adiknya dengan penuh kasih sayang. Gue suka cara Tama natap gue. Ini kayak bukan Tama yang dikenal sebagai cowok dingin dan kaku di sekolah.
            “Kamu lagi deket sama siapa, Tam?” tanyaku sambil menyeruput teh. Dengan muka monyong-monyong karena bakso panas itu meluncur dengan mulus ke mulutnya dia menjawab, “Awda deh..” katanya dengan wajah usil.
            “Eh, jam berapa, Fin?” tangan Tama tiba-tiba memegang tanganku. Gue yang tadi maki-maki dia dalam hati beku seketika. Orang ganteng ini pegang tangan gue. “Sorry.” Gumamnya yang seperti tak ditujukan padaku. Gue Cuma senyum.
            “Jam 3, Tam. Udah ya. Yuk kita lanjutin. Ntar malah kesorean.” Akhirnya gue sama Tama beresin itu semua dan gue pulang.
            Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, kenapa bukan Cuma wajah gantengnya aja yang bikin gue senyum ya? Kenapa waktu Tama pegang tangan gue, rasanya.....
            “Woy!! Ngapain senyum-senyum sendiri?” Aih.. Mas Fian. Masuk kamar orang, nggak ketuk pintu dulu. Bikin kaget. Hih. “Yee.. emang aku senyum?” tanyaku setengah berkilah.
            “Cuma mesam-mesem.” Mas Fian mencibir.
            “Eh, Mas Fian ngapain sih ke sini? Tumben Banget.” Aku mulai mengalihkan topik pembicaraan. Malu dong, ketahuan gila. “Kenapa? Nggak suka?”
            “Suka Banget. Tapi, nggak biasa-biasanya gitu lo, Mas.”
            “Mama kamu yang nyuruh aku ke sini. Buat nemenin kalian berdua. Kan, kamu tahu sendiri. Mas kamu itu orangnya sok sibuk. Katanya ikut inilah itulah.. paling-paling dia Cuma apel di rumah pacarnya.” Seloroh Mas Fian. Aku manggut-manggut. “Kamu kayaknya, juga mulai sok sibuk, deh.” Dan kali ini, gue nggak lagi manggut-manggut. Tapi, memelototi Mas Fian. Sok apanya? Emang beneran sibuk, Mas!
            “Weitss... aku beneran sibuk. Tanggal 15 nanti, mau ngadain acara sepeda santai. Terus, aku kebagian buat proposalnya. Capek tau!!” jawabku sambil merengut. Mas Fian tertawa lalu mengacak rambutku.
***
            “Tama!” aku memanggilnya dengan cukup kencang. Yang kupanggil menoleh. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan. Sedangkan dia, hanya menatapku, lalu berbalik. Aku terhenyak. Apakah yang kupanggil benar-benar Tama? Jika bukan, mengapa wajahnya persis bahkan menoleh? Terus, dimana senyum dan tawa Tama? Dimana rasa gelisah dan resahnya saat tugas belum kelar? Kemana dia yang memperhatikanku kemarin? Siapa yang bercerita tentang keluarganya kemarin?
            Sampai bel pulang berdering, aku masih memikirkan sikap Tama. Sikap hangat dan dinginnya masih beterbangan liar dalam pikiranku. Dimana Tama yang kemarin kukenal? Yang kemarin tanpa sengaja memegang tanganku. Yang kemarin mendesirkan jantungku. Tama yang mana?
            “Tanggal 15.” Suara datar yang akrab menyapaku dari belakang. Aku diam lalu tersenyum. Pemilik suara itu juga tersenyum sekilas, kemudian menghilang, membaur bersama ratusan pelajar lainnya yang pulang. Pikiranku semakin gamang. Ada apa dengan Tama? Tama yang dingin dan Tama yang ramah.
***
            “Tanggal 15.” Gumamku sambil melihat kalender. Lingkaran superbesar berspidol merah mengelilingi angka 15. Aku tersenyum. Teringat beberapa waktu lalu saat Tama menyapaku diam-diam dari belakang. Meninggalkan senyum samar di wajahnya.
            Di sekolah sudah sangat penuh dengan peserta yang akan mengikuti sepeda santai. Mereka semua terlihat antusias dengan acara ini. Aku cukup berdebar serta berdo’a agar tidak ada aral melintang selama acara berlangsung.
            Tama menepuk pundakku pelan. Aku tersentak. Tanpa menoleh, Tama menggumam. “Good Luck.” Diikuti sebuah senyum.
            Tama membuka acara dengan sambutan dan prakata penyelenggara. Aku berada di jajaran pengurus, mencermati setiap kata yang diucapkan dalam pidatonya.
            Pembukaan. Aku dan Tama di bagian paling belakang acara sepeda santai. Dengan beberapa orang kesehatan dari organisasi PMR sekolah. Tama masih diam. Atau mungkin, dia serius dengan acara ini, atau mungkin dia juga berdo’a acaranya akan berjalan sukses. Aku sendiri memlilih mengobrol dengan anak PMR di sampingku.
            Acara telah selesai. Aku bernafas lega. Kemudian bersalaman dengan beberapa pengurus lain termasuk Tama. Dia tersenyum. Aku juga. Setelah itu aku berbalik. Bermaksud meninggalkan keramaian usai acara.
            “Hei. Butuh minum?” aku kaget. Di sampingku Tama mengulurkan minuman. Aku tersenyum lalu menerimanya. “Nanti malem syukuran pengurus lo, Fin. Kamu ikut, kan?” tanya Tama.
“Ikut, dong!” jawabku dengan mantap. Walaupun di dalam hati muncul berbagai pertanyaan. Tama yang mana lagi ini? Tama yang ramah? Terus mana Tama yang dingin?
“Foto, yuk!” Tama mengeluarkan kamera kecilnya dari saku. Aku langsung berpose. Tama tertawa.
            Aku dan Tama kembali berbagi cerita. Persis di ruang organisasi beberapa hari yang lalu. Gue suka Tama yang kayak gini. Gue suka Tama yang selalu cerita. Gue suka Tama yang selalu punya topik untuk dibicarakan. Gue suka Tama yang ini! Batinku.
            Malam ini aku bolak balik milih baju. Entah, apa yang bikin gue bingung. Di otak rasanya benar-benar blank. Baju apapun rasanya nggak cocok. Apalagi nanti akan bertemu dengan Tama. Orang yang selama ini mengotak-atik dan memporak porandakan pikiranku. Mengendalikanku. Alhasil, aku memilih baju yang pertama kali aku keluarkan.
            “Ckck.. ngapain, Fin? Mau renovasi kamar?” tiba-tiba Mas Fian mengejutkanku. Aku mendengus pelan. “Mau ke acara syukuran pengurus.” Jawabku singkat dan datar.
            “Yah.. aku sendirian dong.” Cetus Mas Fian. Aku meliriknya, mendelik. “Emang Mas Vano kemana?” tanyaku. “Dia tadi keluar. Ke rumah pacarnya kali.” Suasana lalu hening. Tergantikan oleh keributanku berdandan.
            “Kamu mau kondangan kemana sih? Oh... udah punya pacar ya? Hayooo...” Mas Fian menudingku. Sontak, aku terbatuk pelan. “Ah.. apaan sih.” Kataku sambil menyikut lengannya pelan. “Kamu nggak papa kok udah pacaran. Tapi, pacarmu harus lebih ganteng dari aku.” Aku tertawa mendengar celoteh Mas Fian. Diam-diam aku mengucap amin.
            Sebuah restoran di pusat kota yang telah dipesan oleh anak-anak sekolahku, sudah cukup ramai. Pengunjung restoran ini, tak sepenuhnya dari organisasiku. Karena memang, kami hanya memesan beberapa meja, tidak memesan seluruh tempat restoran. Aku memandang berkeliling. Mencari sosok yang tadi siang membuatku tersenyum dan tersipu diam-diam.
            “Nyari aku, nih?” tiba-tiba Tama mengejutkanku dengan tebakan jitu. Aku tertawa lalu menepuk punggungnya pelan. “Duduk di sana, yuk.” Ajakku. Dia mengangguk lalu mengikutiku.
            Aku dan Tama memilih duduk di dekat jendela. Mengamati pengunjung restoran satu per satu. Pandanganku mengganjal pada salah satu sudut restoran. Hei.. bukankah itu Mas Vano? Dia duduk dengan seorang perempuan. Pacarnyakah? Temannyakah? Siapa?
            “Eh, itu kakakku!” aku kembali terkejut. Aku dan Tama berseru dengan menunjuk tempat yang sama, berbarengan pula. Dia tertawa sekilas, sedangkan aku terlihat bingung. “Mending disamperin deh.”
            “Mas Vano!” sapaku. Sontak Mas Vano terkejut dan menoleh. Wanita di hadapannya juga menoleh. Bukankah ini pacarnya Mas Fian? Perempuan itu juga terlihat kaget saat melihatku. “Oh.. Mas Vano temennya Mbak ini?” Lanjutku setengah bertanya di sela keterkejutan. Mas Vano melongo.
            “Ini pacar aku, dek.” Aku kaget. “Wah.. kita bakal jadi sodara, Fin. Ini kakak aku.” Suara Tama membuat kalimat bantahanku kembali kutelan. Aku takut menyinggung perasaan Tama, jika aku menceritakan yang sebenarnya. Perempuan itu pacarnya Mas Fian dan Mas Vano! Ada rasa tidak terima dan takut dalam hatiku. Aku tidak terima kakakku di duakan oleh perempuan itu. Sedangkan, jika aku ceritakan sekarang, aku takut kalau Tama malah tersinggung dan menjauhiku.
            “Kok diem, Fin?” Tama membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng sambil masih menatap tajam perempuan itu. Perempuan itu sepertinya juga sedang khawatir. Mungkin, takut kedoknya bakal terbongkar.
            “Renata.” Kata perempuan itu sambil mengulurkan tangan. “Refina.” Jawabku. Dengan senyum yang sangat kupaksakan. Aku merasa sangat jengkel. Kemudian, menggandeng Tama menjauh dari Renata dan Mas Vano.
            “Kamu kenapa sih, Fin?” tanya Tama setelah aku dan dia kembali duduk di tempat semula. “Nggak papa, Tam.”
            Sesampainya di rumah pun, aku masih memikirkan tentang Renata. Ternyata benar. Dia bukan perempuan baik-baik. Tapi, kenapa dia harus jadi kakaknya Tama? Orang yang diam-diam mampu mendesirkan jantungku? Renata.. Renata.. Renata... Ah, buntu! Apa yang harus kuperbuat untuk membongkar kedok Renata tanpa menyinggung perasaan Tama, Mas Fian, dan Mas Vano? Baru kali ini aku merasakan dilema yang begitu berat.
            Tekad apa yang harus kupegang agar tak terjatuh saat menyelamatkan Mas Fian dan Mas Vano dari akal licik Renata? Haruskah aku menunggu agar mereka putus? Apakah aku mampu bersabar melihat kakakku sendiri diperdaya? Apakah aku mampu menerima dengan ikhlas kakakku disakiti?
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini