Alhamdulillah, cerita sambung berjudul Dilema telah terbit. Cerita
sambung kedua yang kutulis di dalam blog. Maaf deh, udah beberapa minggu ini
aku vakum. Ini, aku baru menyelesaikan proyek kecil cerita sambung ini.
Oke! Cerita
sambung ini berjudul Dilema. Kenapa? Bukan karena ada lagunya ceribel. Tapi,
karena peran utama dalam cerita ini, mengalami dilema yang begitu berat. Di
antara orang-orang terkasihnya, ada sebuah pusaran hebat yang menyangkut cinta
dan kasih sayang. Membuktikan lebih hebat mana, antara cinta atau kasih atau
sayang. Ia bahkan sempat tak dipercaya oleh mereka. Ia ingin menyelamatkan
kakaknya dari tipu muslihat licik sang tokoh antagonis. Alhasil? Dia malah
dikucilkan oleh kakaknya.
Ketika sang peran
utama mendapatkan sepercik kebahagiaan, di samping orang yang dia sayang, dia
kembali tak mendapat kepercayaan. Percaya karena apa? Tentang apa? Penasaran?
Ikuti cerita sambung ini ya.
Terima kasih :)
Cerita ini akan terbit setiap malam minggu. Tunggu kedatangannya!
Dilema
Episode 1
Nama gue Refina. Terlahir sebagai anak bungsu dalam keluarga ini.
Gue punya kakak. Namanya Revano Eka Amunggraha. Nama panggilannya Vano.
Terus, Mama gue.
Dia itu the best bagiku! Super sibuk, tapi tetep aja merhatiin perkembangan
anak-anaknya. Selain itu, gue juga bisa berlindung pada beliau kalau Mas Vano
tiba-tiba menggelitikiku sambil menjambret daging buatan Mama yang rasanya
ngalahin masakan chef manapun! Dijamin. Yaa.. semoga saja bakat masak Mama
turun ke gue. Hahaha..
Nah, Papa gue juga
super duper sibuk. Dia kerja di salah satu perusahaan swasta. Akhir-akhir ini,
beliau bolak-balik Indonesia-Inggris. Katanya sih, perusahaan tempat kerja Papa
mau buka cabang di Inggris. Dan, Papa termasuk orang kepercayaan. Jadi, yaa..
Papa deh yang mengurus itu semua. Nggak terlalu ngerti juga sih soal begituan.
Ini juga Cuma dari cerita mama. Papa memang tak seperhatian Mama, tapi kasih
sayang dari beliau nggak akan kurang buat gue sama Mas Vano.
Pagi-pagi buta,
Mama bangunin gue.
“Fina, bangun
sayang. Pesawat Mama terbang pagi,” kata Mama. Gitu aja, suaranya samar. Mata
gue melek sebelah. “Mama mau ikut Papa. Ngurus kepindahan kita,” mata gue baru
melek dua-duanya.
“Mama mau ke
London juga?” pertanyaan gue disambut anggukan kepala Mama. Itu artinya...? Gue
Cuma sama Mas Vano..?!
“Baik-baik ya sayang. Tadi, Mama udah pamit ke Mas kamu. Tapi
kayaknya, dia nggak begitu denger Mama deh. Nanti kamu kasih tahu dia ya, sayang.
Sebentar lagi pesawat Mama berangkat. Mama ke bandara ya, Fin.” jelas Mama
panjang lebar. Mirip kereta api yang dimodifikasi mirip lapangan sepak bola.
“Mama pulangnya kapan?”
“Mama sendiri nggak tahu.” jawab Mama sambil mencium keningku.
Klakson mobil jemputan terdengar cukup memekakkan telinga. Mama memandangiku
lama. Sepertinya beliau sangat berat meninggalkanku. Kemudian, Mama ke kamar Mas
Vano. Mencium kening putra satu-satunya. Dan membisikkan pesan yang entah di
dengar atau tidak oleh Mas Vano. Aku menatap kepergian Mama dengan rasa sesak.
Duh, Mama. Kenapa ikut ke sana juga sih? Dimana lagi aku bisa berlindung dari
serangan Mas Vano? Ya Tuhan, lindungilah Mama. Semoga selamat sampai tujuan.
Amin.
Gue buka kulkas. Bau daging sapi menyapa hidungku. Mama jenius deh!
Tahu apa yang kubutuhkan. Padahal belum bilang. Hehe. Demi Mas Vano, pagi-pagi
begini gue masak. Semoga aja mirip sama masakan Mama.
“Hmmm.. Pasti Mama masak daging sa....” Mas Vano terlongo. Bingung
kali ya ngelihat gue bangun sepagi ini, di dapur, pegang sudip, berhadapan
dengan wajan dan kompor! “Pi.” aku melanjutkan kalimat Mas Vano yang
terpenggal. “Mama mana dek?” tanyanya polos.
“Duh, Mas Vano tadi malem tidur jam berapa sih? Tadi pagi Mama
pamit ke kita. Ke London ngurus kepindahan kita. Kayaknya Mama bisikin sesuatu
ke telinga Mas Vano. Nggak denger? Mimpi apa emangnya? Eh iya, daripada masak
daging, mending tadi gelitikin Mas Vano. Hehe..” ledekku yang disambut hening. Mas
Vano keliatan banget masih terkejut. Terkejut karena gue terlahir sebagai
adiknya, atau karena keberangkatan Mama yang menurutnya mendadak tanpa pamit
sama dia?
“Mas Vano! Woy woy...” aku melambai-lambaikan sudip di depan
wajahnya. “Jangan sedih gitu dong, Mas.” Kataku menunjukkan rasa simpati. Dia
malah menatap wajahku. “Aku lagi nggak sedih dek. Ternyata tadi suara Mama
beneran. Aku kira tadi dapet wangsit dari Pep Guardiola.” Kemudian hening.
***
Ini termasuk hobi cewek. Yang ngerasa cewek, normalnya pasti
begini. Ngeliatin orang yang disuka, sepuas-puasnya tanpa diketahui oleh yang
bersangkutan. Haha. Itu yang lagi gue lakuin sekarang. Cowok kelas sebelah yang
bikin gue kelepek-kelepek. Bukan Cuma gue yang dia bikin jatoh cintrong. Banyak
kok. Berarti tandanya, dia itu selera sejuta umat cewek! Tapi, dia itu terkenal
karena bakatnya ngebekuin cewek. Sumpah, orangnya dingin dan kaku! Eh, tapi gue
nggak cinta sama dia. Cuma kagum sama wajah gantengnya. Yakin!
Gue bukan temen deket. Cuma yaa.. gue sama dia jadi pengurus di
salah satu organisasi sekolah. Gue sama dia juga seangkatan. So, hampir setiap
hari gue ngerekam wajahnya. Gue termasuk cewek beruntung. Pernah ngerasain kebaikan
dari cowok kaku satu itu. Haha. Namanya Tama. Wirya Utama. Nggak tahu kenapa
nama panggilannya bukan Wirya. Mungkin itu nama babenya kali. Hehe.
***
Sunyi. Senyap. Sore-sore begini tuh, enaknya santai. Tapi, kalau
sepi kayak lagi bersitegang, mending enggak deh. Mas Vano kok nggak nongol ya? Tumben.
Kemana tuh anak? Seandainya kalo ada Mama, pasti nggak bakal kesepian.
Setidaknya ada 1 teman lagi, hening kayak gini, nggak bakal terjadi.
Oh ada nih yang asyik. Gangguin Mas Vano. Hihi. Baru aja mau
ngelangkah, Mas Vanonya malah udah nongol. Wangi parfum khas Mas Vano
membungkamku. Sore-sore begini mau kemana dia?
“Mau kemana Mas? Rapi bener.” Mas Vano merenges.
“Mau keluar. Pengen apa? Pasti pengen......” giliran gue yang
merenges.
“Martabak!” sahut seseorang dari ambang pintu dengan cepat. Kontan,
gue sama Mas Vano menoleh.
“Gue tunggu dari tadi lo nggak nongol-nongol. Ya udah, gue naik
taksi aja ke sini. Apa kabar brotha?” orang itu bersalaman erat dengan Mas Vano.
“Baik, bro.”
“Halo sista.” Kali ini orang itu mendekapku. “Tumben Mas Fian ke
sini.” Aku heran. Pasalnya, ini bukan libur lebaran. Kayak ada petir di siang
bolong gitu kalo dia ke sini sekarang. “Tanya aja ke Masmu.” Jawabnya singkat.
Kenalin. Namanya Fian. Dia sepupu gue. Sepupu terdekat gue.
Syukurlah, Tuhan ngabulin do’a gue. Mengirimkan sosok manusia yang pastinya
bakal nemenin gue, ngajak gue becanda kalo nggak ada Mas Vano, dan yang lebih pasti
adalah, bakal ngerubah status ‘bersitegang’ jadi ‘bersukacita’ di rumah ini!
Good My Brotha!
Mas Fian sendiri udah gue anggep sama kayak Mas Vano. Jadi kakak
gue sendiri. Mereka juga seumuran. Cuma terpaut 2 tahun. Dan baru gue tahu
ternyata, ‘wangsit’ dari Mama adalah, Mama nyuruh Mas Vano buat jemput Mas Fian
di stasiun. Rahasia terkuak deh. Haha. Gue sama Mas Fian juga sama dari segi
makanan favorit. Martabak! Nggak tahu kenapa, gue sama dia adalah martabak
mania!
Malam ini, gue habisin waktu buat ngelepas kangen sama Mas Fian.
Dia udah kerja. Hmm.. hebat banget ni sodara gue. Mas Vano aja tugas kuliah
masih numpuk-numpuk di mejanya. Mas Fian juga ganteng. Kalo artis, dia tuh
mirip eee... siapa ya? Oh iya. Chand Kelvin. Haha. Nama mereka juga mirip. Ng...
agak jauh juga sih.
***
“Baik. Rapat selesai. Terima kasih atas perhatiannya.” Tama menutup
rapat organisasi siang ini. Dia selaku ketua organisasi tampak keren. Eh, maksud
gue bijaksana. Ya, bijaksana, dingin dan kaku.
“Refina! Jangan lupa nanti kamu buat proposal untuk sponsor.” Di
luar ruangan, Tama mengingatkan. “Siap bos!” aku menimpali. Tama tersenyum.
Mengacungkan dua jempol untukku.
Organisasi ini lagi mau ngadain acara sepeda santai. Kebetulan gue
jadi panitia bareng Tama. Haha. Buat iri cewek-cewek lain nggak ya? Gue selaku
sekretaris, bertugas mendampingi Tama dalam segi proposal. Kalo mendampingi
Tama buat selama-lamanya gue juga nggak keberatan kok. Hihi.
Malam ini gue lembur. Menggarap pesanan Tama. Bikin proposal sama
nyatet nama panitia.
“Buat apa dek?” tiba-tiba Mas Fian melongokkan kepalanya. “Proposal
Mas. Mau ngadain acara.” Mas Fian manggut-manggut lalu duduk di sampingku.
Membaca nama-nama panitia yang berhasil dan mampu kucatat. Selebihnya? Masih
menjadi noda dalam kertas lusuh di meja belajarku.
“Wirya Utama?” deg! Mas Fian ini beneran petir! Langsung otomatis
kepalaku nengok ke dia. Kuamati wajah bingungnya. “Kenapa? Dia ketua
organisasi, Mas.” Kataku. Dia lalu menggeleng. Melanjutkan membaca nama-nama
lainnya yang tertera di layar komputerku.
“Mirip nama pacar gue.” Gumamnya. Syukurlah Cuma mirip. Kalo emang
bener Tama itu pacarnya Mas Fian, dapat disimpulkan bahwa Tama dan Mas Fian adalah.....
Ah, nggak usah dibahas.
***
Lagi-lagi sore yang sepi. Mas Fian abis pulang kerja, sedangkan Mas
Vano baru aja keluar. Pastinya Mas Fian capek. Dan gue kembali bergelut dengan
proposal yang tadi siang masih belum diterima Tama. Katanya kurang beginilah
begitulah. Duh, kalau bukan Tama yang nolak, pasti udah gue bentak-bentak tadi.
Tinggal tanda tangan aja susah banget sih.
Pintu rumah diketuk. Siapa ya?
“Selamat sore.” Cewek di hadapanku uluk salam. Sedangkan gue masih
diem. Mengingat-ingat siapa orang di hadapanku ini. Wajahnya mirip... Wirya
Utama!
“Apa benar Fian tinggal di sini?” sepertinya cewek itu sama
bingungnya. Gue diem. Tapi kepala gue ngangguk. Cewek itu terlihat lega. “Fian
ada?” gue ngangguk lagi. Masih belum tega kalo Mas Fian kenal sama nih cewek.
Dari gelagatnya sih kayak bukan cewek baik-baik.
“Anda siapa?” tanyaku. “Saya pacarnya Fian.” Pacarnya Mas Fian?
Nggak salah? Cantik, sih. Tapi sepertinya.....
Mas Fian menepuk
pundakku. Sontak gue kaget. Dia malah merenges. Cewek di pintu itu juga ikut
senyum. Belum sempet ngebales, tangan Mas Fian digandeng cewek itu lalu
melenggang pergi. Tuh, kan. Udah ada firasat nggak baik sama tuh cewek.
Apa yang aneh dengan cewek ini? Apa ada masalah dengannya? Apa ada
hubungannya dengan Wirya Utama? Cowok penghuni kelas sebelah yang bikin gue
betah ngeliatin dia secara diam-diam.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar