Sabtu, 12 Oktober 2013

Dilema (Episode 1)



Alhamdulillah, cerita sambung berjudul Dilema telah terbit. Cerita sambung kedua yang kutulis di dalam blog. Maaf deh, udah beberapa minggu ini aku vakum. Ini, aku baru menyelesaikan proyek kecil cerita sambung ini.
            Oke! Cerita sambung ini berjudul Dilema. Kenapa? Bukan karena ada lagunya ceribel. Tapi, karena peran utama dalam cerita ini, mengalami dilema yang begitu berat. Di antara orang-orang terkasihnya, ada sebuah pusaran hebat yang menyangkut cinta dan kasih sayang. Membuktikan lebih hebat mana, antara cinta atau kasih atau sayang. Ia bahkan sempat tak dipercaya oleh mereka. Ia ingin menyelamatkan kakaknya dari tipu muslihat licik sang tokoh antagonis. Alhasil? Dia malah dikucilkan oleh kakaknya.
            Ketika sang peran utama mendapatkan sepercik kebahagiaan, di samping orang yang dia sayang, dia kembali tak mendapat kepercayaan. Percaya karena apa? Tentang apa? Penasaran? Ikuti cerita sambung ini ya.
            Terima kasih :) Cerita ini akan terbit setiap malam minggu. Tunggu kedatangannya!
Dilema
Episode 1
Nama gue Refina. Terlahir sebagai anak bungsu dalam keluarga ini. Gue punya kakak. Namanya Revano Eka Amunggraha. Nama panggilannya Vano.
            Terus, Mama gue. Dia itu the best bagiku! Super sibuk, tapi tetep aja merhatiin perkembangan anak-anaknya. Selain itu, gue juga bisa berlindung pada beliau kalau Mas Vano tiba-tiba menggelitikiku sambil menjambret daging buatan Mama yang rasanya ngalahin masakan chef manapun! Dijamin. Yaa.. semoga saja bakat masak Mama turun ke gue. Hahaha..
            Nah, Papa gue juga super duper sibuk. Dia kerja di salah satu perusahaan swasta. Akhir-akhir ini, beliau bolak-balik Indonesia-Inggris. Katanya sih, perusahaan tempat kerja Papa mau buka cabang di Inggris. Dan, Papa termasuk orang kepercayaan. Jadi, yaa.. Papa deh yang mengurus itu semua. Nggak terlalu ngerti juga sih soal begituan. Ini juga Cuma dari cerita mama. Papa memang tak seperhatian Mama, tapi kasih sayang dari beliau nggak akan kurang buat gue sama Mas Vano.
            Pagi-pagi buta, Mama bangunin gue.
            “Fina, bangun sayang. Pesawat Mama terbang pagi,” kata Mama. Gitu aja, suaranya samar. Mata gue melek sebelah. “Mama mau ikut Papa. Ngurus kepindahan kita,” mata gue baru melek dua-duanya.
            “Mama mau ke London juga?” pertanyaan gue disambut anggukan kepala Mama. Itu artinya...? Gue Cuma sama Mas Vano..?!
“Baik-baik ya sayang. Tadi, Mama udah pamit ke Mas kamu. Tapi kayaknya, dia nggak begitu denger Mama deh. Nanti kamu kasih tahu dia ya, sayang. Sebentar lagi pesawat Mama berangkat. Mama ke bandara ya, Fin.” jelas Mama panjang lebar. Mirip kereta api yang dimodifikasi mirip lapangan sepak bola. “Mama pulangnya kapan?”
“Mama sendiri nggak tahu.” jawab Mama sambil mencium keningku. Klakson mobil jemputan terdengar cukup memekakkan telinga. Mama memandangiku lama. Sepertinya beliau sangat berat meninggalkanku. Kemudian, Mama ke kamar Mas Vano. Mencium kening putra satu-satunya. Dan membisikkan pesan yang entah di dengar atau tidak oleh Mas Vano. Aku menatap kepergian Mama dengan rasa sesak. Duh, Mama. Kenapa ikut ke sana juga sih? Dimana lagi aku bisa berlindung dari serangan Mas Vano? Ya Tuhan, lindungilah Mama. Semoga selamat sampai tujuan. Amin.
Gue buka kulkas. Bau daging sapi menyapa hidungku. Mama jenius deh! Tahu apa yang kubutuhkan. Padahal belum bilang. Hehe. Demi Mas Vano, pagi-pagi begini gue masak. Semoga aja mirip sama masakan Mama.
“Hmmm.. Pasti Mama masak daging sa....” Mas Vano terlongo. Bingung kali ya ngelihat gue bangun sepagi ini, di dapur, pegang sudip, berhadapan dengan wajan dan kompor! “Pi.” aku melanjutkan kalimat Mas Vano yang terpenggal. “Mama mana dek?” tanyanya polos.
“Duh, Mas Vano tadi malem tidur jam berapa sih? Tadi pagi Mama pamit ke kita. Ke London ngurus kepindahan kita. Kayaknya Mama bisikin sesuatu ke telinga Mas Vano. Nggak denger? Mimpi apa emangnya? Eh iya, daripada masak daging, mending tadi gelitikin Mas Vano. Hehe..” ledekku yang disambut hening. Mas Vano keliatan banget masih terkejut. Terkejut karena gue terlahir sebagai adiknya, atau karena keberangkatan Mama yang menurutnya mendadak tanpa pamit sama dia?
“Mas Vano! Woy woy...” aku melambai-lambaikan sudip di depan wajahnya. “Jangan sedih gitu dong, Mas.” Kataku menunjukkan rasa simpati. Dia malah menatap wajahku. “Aku lagi nggak sedih dek. Ternyata tadi suara Mama beneran. Aku kira tadi dapet wangsit dari Pep Guardiola.” Kemudian hening.
***
Ini termasuk hobi cewek. Yang ngerasa cewek, normalnya pasti begini. Ngeliatin orang yang disuka, sepuas-puasnya tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Haha. Itu yang lagi gue lakuin sekarang. Cowok kelas sebelah yang bikin gue kelepek-kelepek. Bukan Cuma gue yang dia bikin jatoh cintrong. Banyak kok. Berarti tandanya, dia itu selera sejuta umat cewek! Tapi, dia itu terkenal karena bakatnya ngebekuin cewek. Sumpah, orangnya dingin dan kaku! Eh, tapi gue nggak cinta sama dia. Cuma kagum sama wajah gantengnya. Yakin!
Gue bukan temen deket. Cuma yaa.. gue sama dia jadi pengurus di salah satu organisasi sekolah. Gue sama dia juga seangkatan. So, hampir setiap hari gue ngerekam wajahnya. Gue termasuk cewek beruntung. Pernah ngerasain kebaikan dari cowok kaku satu itu. Haha. Namanya Tama. Wirya Utama. Nggak tahu kenapa nama panggilannya bukan Wirya. Mungkin itu nama babenya kali. Hehe.
***
Sunyi. Senyap. Sore-sore begini tuh, enaknya santai. Tapi, kalau sepi kayak lagi bersitegang, mending enggak deh. Mas Vano kok nggak nongol ya? Tumben. Kemana tuh anak? Seandainya kalo ada Mama, pasti nggak bakal kesepian. Setidaknya ada 1 teman lagi, hening kayak gini, nggak bakal terjadi.
Oh ada nih yang asyik. Gangguin Mas Vano. Hihi. Baru aja mau ngelangkah, Mas Vanonya malah udah nongol. Wangi parfum khas Mas Vano membungkamku. Sore-sore begini mau kemana dia?
“Mau kemana Mas? Rapi bener.” Mas Vano merenges.
“Mau keluar. Pengen apa? Pasti pengen......” giliran gue yang merenges.
“Martabak!” sahut seseorang dari ambang pintu dengan cepat. Kontan, gue sama Mas Vano menoleh.
“Gue tunggu dari tadi lo nggak nongol-nongol. Ya udah, gue naik taksi aja ke sini. Apa kabar brotha?” orang itu bersalaman erat dengan Mas Vano. “Baik, bro.”
“Halo sista.” Kali ini orang itu mendekapku. “Tumben Mas Fian ke sini.” Aku heran. Pasalnya, ini bukan libur lebaran. Kayak ada petir di siang bolong gitu kalo dia ke sini sekarang. “Tanya aja ke Masmu.” Jawabnya singkat.
Kenalin. Namanya Fian. Dia sepupu gue. Sepupu terdekat gue. Syukurlah, Tuhan ngabulin do’a gue. Mengirimkan sosok manusia yang pastinya bakal nemenin gue, ngajak gue becanda kalo nggak ada Mas Vano, dan yang lebih pasti adalah, bakal ngerubah status ‘bersitegang’ jadi ‘bersukacita’ di rumah ini! Good My Brotha!
Mas Fian sendiri udah gue anggep sama kayak Mas Vano. Jadi kakak gue sendiri. Mereka juga seumuran. Cuma terpaut 2 tahun. Dan baru gue tahu ternyata, ‘wangsit’ dari Mama adalah, Mama nyuruh Mas Vano buat jemput Mas Fian di stasiun. Rahasia terkuak deh. Haha. Gue sama Mas Fian juga sama dari segi makanan favorit. Martabak! Nggak tahu kenapa, gue sama dia adalah martabak mania!
Malam ini, gue habisin waktu buat ngelepas kangen sama Mas Fian. Dia udah kerja. Hmm.. hebat banget ni sodara gue. Mas Vano aja tugas kuliah masih numpuk-numpuk di mejanya. Mas Fian juga ganteng. Kalo artis, dia tuh mirip eee... siapa ya? Oh iya. Chand Kelvin. Haha. Nama mereka juga mirip. Ng... agak jauh juga sih.
***
“Baik. Rapat selesai. Terima kasih atas perhatiannya.” Tama menutup rapat organisasi siang ini. Dia selaku ketua organisasi tampak keren. Eh, maksud gue bijaksana. Ya, bijaksana, dingin dan kaku.
“Refina! Jangan lupa nanti kamu buat proposal untuk sponsor.” Di luar ruangan, Tama mengingatkan. “Siap bos!” aku menimpali. Tama tersenyum. Mengacungkan dua jempol untukku.
Organisasi ini lagi mau ngadain acara sepeda santai. Kebetulan gue jadi panitia bareng Tama. Haha. Buat iri cewek-cewek lain nggak ya? Gue selaku sekretaris, bertugas mendampingi Tama dalam segi proposal. Kalo mendampingi Tama buat selama-lamanya gue juga nggak keberatan kok. Hihi.
Malam ini gue lembur. Menggarap pesanan Tama. Bikin proposal sama nyatet nama panitia.
“Buat apa dek?” tiba-tiba Mas Fian melongokkan kepalanya. “Proposal Mas. Mau ngadain acara.” Mas Fian manggut-manggut lalu duduk di sampingku. Membaca nama-nama panitia yang berhasil dan mampu kucatat. Selebihnya? Masih menjadi noda dalam kertas lusuh di meja belajarku.
“Wirya Utama?” deg! Mas Fian ini beneran petir! Langsung otomatis kepalaku nengok ke dia. Kuamati wajah bingungnya. “Kenapa? Dia ketua organisasi, Mas.” Kataku. Dia lalu menggeleng. Melanjutkan membaca nama-nama lainnya yang tertera di layar komputerku.
“Mirip nama pacar gue.” Gumamnya. Syukurlah Cuma mirip. Kalo emang bener Tama itu pacarnya Mas Fian, dapat disimpulkan bahwa Tama dan Mas Fian adalah..... Ah, nggak usah dibahas.
***
Lagi-lagi sore yang sepi. Mas Fian abis pulang kerja, sedangkan Mas Vano baru aja keluar. Pastinya Mas Fian capek. Dan gue kembali bergelut dengan proposal yang tadi siang masih belum diterima Tama. Katanya kurang beginilah begitulah. Duh, kalau bukan Tama yang nolak, pasti udah gue bentak-bentak tadi. Tinggal tanda tangan aja susah banget sih.
Pintu rumah diketuk. Siapa ya?
“Selamat sore.” Cewek di hadapanku uluk salam. Sedangkan gue masih diem. Mengingat-ingat siapa orang di hadapanku ini. Wajahnya mirip... Wirya Utama!
“Apa benar Fian tinggal di sini?” sepertinya cewek itu sama bingungnya. Gue diem. Tapi kepala gue ngangguk. Cewek itu terlihat lega. “Fian ada?” gue ngangguk lagi. Masih belum tega kalo Mas Fian kenal sama nih cewek. Dari gelagatnya sih kayak bukan cewek baik-baik.
“Anda siapa?” tanyaku. “Saya pacarnya Fian.” Pacarnya Mas Fian? Nggak salah? Cantik, sih. Tapi sepertinya.....
            Mas Fian menepuk pundakku. Sontak gue kaget. Dia malah merenges. Cewek di pintu itu juga ikut senyum. Belum sempet ngebales, tangan Mas Fian digandeng cewek itu lalu melenggang pergi. Tuh, kan. Udah ada firasat nggak baik sama tuh cewek.
Apa yang aneh dengan cewek ini? Apa ada masalah dengannya? Apa ada hubungannya dengan Wirya Utama? Cowok penghuni kelas sebelah yang bikin gue betah ngeliatin dia secara diam-diam.
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini