Fino murung.
Teman sebangku sekaligus sahabatnya tidak masuk hari ini. Ia menatap bangku di
sampingnya dengan tatapan kosong. Walaupun sekarang adalah pelajaran
matematika, favoritnya, ia tetap membatin pilu. Fino juga memastikan, Dika,
teman sebangkunya, tidak punya catatan materi terbaru hari ini. Dika juga pasti
belum tahu, jika pertemuan berikutnya akan diadakan ulangan harian. Fino
mendesah perlahan.
Sore tepat sehari sebelum ulangan
matematika, Dika datang ke rumah Fino. Tujuannya adalah belajar kelompok untuk
menghadapi ulangan esok. Dengan senang hati, Fino menyambut Dika di depan pintu
rumahnya dengan wajah sumringah. Senyum mengembang ketika Dika menampakkan
batang hidungnya.
“Hai,” sapa Fino riang.
“Hai juga,” balas Dika sama
riangnya.
10 menit.
30 menit.
Angka demi angka dilahap. Cara demi
cara mulai diterapkan, untuk memecah misteri dari persoalan matematika.
Secercah senyum dan anggukan kepala mewarnai belajar kelompok sore ini. Setapak
demi setapak, Dika memahami apa yang Fino ajarkan. Fino dengan sabar dan tekun
mengajari teman sebangkunya mengurai
pusaran angka di depannya.
Jarum panjang telah beralih dari
angka 12 tepat ke 12 lagi. 2 sahabat itu juga sudah berubah 180 derajat tentang
apa yang mereka perbincangkan. Dari matematika menuju pertandingan bola tadi
malam, Brazil vs Slovakia. Fino menghentikan ocehannya tentang angka, beralih
menjadi pendengar cerita Dika. Bahkan sesekali tertawa melihat tingkah teman
sebangkunya.
Langit sore cerah mulai terlihat
redup. Perpaduan antara biru, oranye dan kombinasi warna ungu. Dika menyudahi
ceritanya, lalu pamit pulang.
Esoknya, Fino dan Dika kembali
mengulas apa yang telah mereka pelajari kemarin sore. Fino tersenyum puas dengan
apa yang Dika pahami. Sama persis seperti yang ia ajarkan kemarin. Bahkan, Fino
juga mendapati Dika mencoba mengerjakan beberapa contoh soal di buku
catatannya. Diam-diam, Fino memuji ketekunan Dika.
Bel masuk berdentang. Bu Guru masuk
kelas. Sang ketua kelas memimpin do’a. Dengan khidmat, Fino memohon kepadaNya
agar diberi kelancaran dalam mengerjakan soal nanti.
Usai berdo’a, Bu Guru mengacak
tempat duduk murid-muridnya untuk menguji kejujuran siswa-siswinya. Fino
berganti posisi duduk di nomor 2 dari belakang, sedangkan Dika duduk tepat di
depan meja guru. Ia tenang-tenang saja, karena merasa sudah menguasai materi.
Apalagi ia adalah sang juara kelas sehingga Dika merasa pemahamannya jauh lebih
baik daripada teman-temannya.
Dika memberi kode kepada Fino bahwa
ia telah siap untuk ulangan. Fino pun membalas kode itu dengan acungan ibu
jari. Soal dibagikan. Kelas menjadi hening. Setiap anak berkonsentrasi dengan
rangkaian angka di depannya. Termasuk Fino dan Dika.
1 nomor.
2 nomor terlewati.
Hingga tiba di nomor keempat, Fino
terkesiap. Materi nomor ini adalah materi terbaru yang belum Fino ajarkan
kepada Dika. Fino jadi ingat kemarin sore tentang penjelasannya yang terpaksa
berhenti untuk sekedar mendengar cerita tak penting Dika. Cerita yang tak ada
sangkut pautnya dengan ulangan hari ini. Seharusnya Fino tidak menghentikan
penjelasannya. Seharusnya Dika mendengarkan penjelasannya. Seharusnya.
Fino melirik Dika sekilas. Teman
sebangku Fino itu tampak gelisah. Duduknya tak tenang. Tangannya tak bisa diam.
Fino jadi merasa bersalah. Ia pun berniat segera menyudahi ulangan ini untuk
meminta maaf.
Beberapa kali Dika menoleh ke
belakang, ke tempat Fino. Namun, sepertinya Fino tak terusik, bahkan terlihat
asyik mengerjakan soal yang menurut Dika memecahkan kepala. Dika jadi geram. Dika
menduga, Fino sengaja tidak memberitahu materi ini agar nilainya jeblok. 3 soal
dari 10 nomor yang Dika anggap neraka karena Fino!
“Dika, menghadap ke depan!” suara Bu
Guru di depan dengan tatapan tajam membekukan Dika. Ia sungguh malu. Baru
pertama kali Dika ditegur saat ulangan. Membuat emosinya kian memuncak.
Membuatnya muak dengan Fino. Membuat keringat dingin makin gencar keluar dari
dahinya. Sedangkan Fino, ia semakin merasa bersalah. Semakin mengukuhkan
niatnya untuk segera meminta maaf.
Sebelum waktu habis, Fino sudah
mengumpulkan ulangannya. Tanpa ada maksud untuk mengundang emosi Dika yang
sudah pada puncaknya.
“Wah, sudah dikumpulkan,” komentar
Bu Guru bermaksud memuji. Fino hanya tersenyum sopan. Batin Dika bergejolak
hebat. Biasanya, pujian itu ditujukan untuk dirinya. Tapi kali ini? Untuk Fino?
Semakin menguatkan anggapan Dika bahwa Fino ingin menggeser predikatnya sebagai
juara kelas.
Waktu telah usai. Fino menghembuskan
nafas lega. Dengan sabar, ia menunggu Dika yang jadi anak terakhir mengumpulkan
ulangan.
“Dik,” panggil Fino sembari
tersenyum. Dika melengos. Fino sedikit terenyak.
“Ada perlu apa? Mau bilang kalau
kamu bisa mengerjakan ulangan ini?” sindir Dika membuat untaian kata maaf di
benak Fino lenyap. Tergantikan emosi yang menggelora.
“Hei! Apa maksud kamu?”
“Halah. Tak usah banyak tanya.
Bilang saja kalau kamu sengaja nggak kasih tahu aku tentang materi terbaru,
biar nilaiku jelek. Iya, kan?” tuding Dika membuat Fino naik pitam.
“Jangan asal bicara kamu! Kamu
sendiri kemarin tidak bertanya, malah asyik cerita bola,”
“Bagaimana aku mau bertanya kalau
tidak tahu materinya?” cecar Dika semakin memojokkan Fino. Belum sempat Fino
menjawab, Dika menukas dengan cepat.
“Ah, sudahlah. Intinya, kamu yang
salah!” kata Dika seraya berlalu. Fino merasakan emosinya berada di
kerongkongan. Menyumbatnya hingga sulit untuk menelan ludah.
“Dasar nggak tahu terima kasih,”
gumam Fino pada dirinya sendiri sambil melihat bayang Dika yang makin jauh.
Brak!
Fino membanting pintu kamarnya
dengan cukup keras. Hatinya merasa sangat sebal. Dadanya terasa amat sesak.
Niat baik Fino dimentahkan oleh Dika yang menudingnya dengan tidak-tidak,
membuat emosinya naik. Mulanya, Fino hanya menyapa Dika baik-baik. Tapi balasan
Dika? Menggertak dengan sengit.
Fino mulai menggeram. Fino merasa
sangat tersinggung dengan ucapan Dika tadi. Menjatuhkan nilai Dika? Sungguh,
itu tak ada dalam pikiran Fino. Ini murni karena Fino lupa. Ah, seandainya Dika
tidak mengeluarkan emosinya dulu. Bahkan, tangannya mulai mengepal menandakan
kebencian yang meluap.
Sama seperti Fino, Dika sampai di
rumah dengan wajah tak bersahabat. Ia sangat marah, kecewa, sebal, dongkol, dan
jengkel. Ia menganggap Fino ingin menggeser posisinya sebagai juara kelas. Ia
juga menganggap Fino ingin mencari perhatian Bu Guru dengan mengumpulkan
ulangannya lebih dulu, sedangkan Dika masih bingung menggunakan angka berbentuk
apa untuk sekedar mengisi lembar jawaban ulangannya.
“Bagaimana ulangannya?” tegur Ibu Dika
lembut.
“Nihil,” jawab Dika ketus.
“Maksudnya?” tanya Ibu Dika heran
sambil mengernyitkan dahi.
“Fino nggak kasih tahu tentang
materi terbaru, Bu,” jawab Dika lagi dengan nada gusar.
“Mungkin, Fino lupa,”
“Lupa? Segampang itu dia lupa? Pasti
dia ingin menjelekkan nilaiku, Bu!” sahut Dika dengan emosi berkobar.
“Hus! Nggak boleh su’udzon sama
orang. Sudah. Ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, lalu makan!” perintah Ibu
menyudahi debat siang ini. Dika memberengut sebal.
Lupa? Kata itu terus terngiang di
benaknya. Mungkin saja Fino lupa. Tapi tidak mungkin. Buktinya, dia
mengumpulkan ulangannya lebih dulu. Bahkan, Fino tidak meminta maaf. Ah,
entahlah. Nafsu dan naluri Dika bertengkar hebat.
Beberapa hari kemudian, ulangan
dibagikan. Fino mendapat nilai sempurna. Seketika Fino mengucap syukur yang
amat dalam. Namun, di sisi lain, hati Fino miris melihat ulangan Dika mendapat
70. Nilai yang sangat jelek bagi Dika. Tapi rasa bersalah pada diri Fino
terbantahkan mengingat tuduhan Dika beberapa waktu lalu.
Rasa sengit Dika kian menguasai hati
nurani. Membuat iblis bernama nafsu semakin melebarkan tawanya. Hal itu
disebabkan karena ia mendapat nilai 70, sedangkan teman sebangkunya mendapat
nilai sempurna. Nilai yang sering ditemuinya. Namun sekarang, seakan-akan si
sempurna itu memusuhinya dan berkomplot dengan Fino.
Beribu anggapan jelek tentang Fino
merajalela di benak dan pikirnya. Fino pasti ingin menjatuhkan nilainya. Fino
pasti tak ingin dirinya menjadi juara kelas. Fino pasti sangat senang mendapati
nilai Dika di bawah rata-rata. Fino pasti sangat senang ketika Dika ditegur Bu
Guru dengan tatapan tajam. Dika semakin gusar, sengit, dan kecewa. Entah
terhadap dirinya sendiri atau karena Fino. Yang jelas, otaknya telah menekankan
bahwa Finolah penyebab utama nilainya jelek pada ulangan kali ini.
Sampai di rumah, Fino lebih banyak
diam. Ia masih dilema. Antara memaafkan Dika atau membiarkan Dika dengan
anggapan jelek tentang dirinya.
Diamnya Fino, mengundang tanya di
benak Bundanya.
“Fin, ada apa? Sepertinya kamu
memikirkan sesuatu,” tegur Bunda lembut. Fino masih diam. Berpikir untuk
menceritakan atau tidak.
“Ayolah, tak apa. Mungkin, Bunda
bisa bantu,” desak Bunda masih dengan kelembutan yang sama. Fino menatap
Bundanya lekat-lekat, lalu mulai bercerita. Meluncurlah kejadian demi kejadian
tentang hubungannya dengan Dika, yang selama ini menyesakkan dadanya.
“Fino, kan lupa, Bunda. Nggak
sengaja. Tapi, Dika malah marah-marah,” ujar Fino di akhir cerita. Bunda tersenyum
lalu membelai kepala putranya perlahan.
“Fino jadi minta maaf?” tanya
Bundanya. Bibir Fino terkatup rapat. Kemudian, kepalanya menggeleng lemah.
“Mau minta maaf gimana, Bunda? Dika
marah terus,” sahutnya cepat.
“Begini, Fin. Walaupun kata ‘maaf’
itu sederhana, namun maknanya sangat besar ketika kita dihadapkan pada suatu
masalah. Kesannya ada rasa tanggung jawab dalam diri kita. Terserah Dika
menganggap Fino bagaimana. Yang penting, Fino sudah mengaku salah,” tutur
Bunda. Fino kembali terdiam, merenung, memikirkan ucapan Bunda.
“Dan, kalau belajar kelompok, nggak
boleh banyak ngobrol tentang hal nggak penting!” tambah Bunda tegas. Fino
mendongak menatap Bundanya lagi. Secercah senyum menghias wajahnya.
“Siap!” tangan Fino memberi tanda
hormat. Bunda tertawa kecil.
Esoknya, Fino sengaja datang lebih
pagi dengan tujuan segera meminta maaf kepada Dika. Dengan setia, ia menunggu
kedatangan teman sebangkunya. Beberapa saat kemudian, Dika memasuki kelas. Fino
tersenyum lega.
“Dik,” sapa Fino. Dika tak
bergeming. Sorot wajahnya sangat dingin.
“Aku minta maaf. Aku telah teledor
untuk mengajarimu tentang materi itu. Aku salah,” lanjut Fino. Wajahnya
menunduk dalam-dalam. Bibirnya kemudian terkatup rapat-rapat. Jantungnya,
berdegup dengan sangat cepat.
Hening yang lama.
“Aku yang seharusnya minta maaf,
Fin. Aku juga seharusnya berterima kasih sama kamu, udah mau ngajarin
matematika,” tiba-tiba suara Dika memecah keheningan. Fino mendongak tak
percaya. Mulutnya ternganga.
“Aku minta maaf karena... karena....
aku sudah su’udzon sama kamu,” kali ini Dika menunduk. Dia tak berani menatap Fino.
“Aku memaafkanmu,” jawab Fino mantap
setelah kesadarannya karena tak percaya, pulih. Ribuan anggapan jelek dari
bisikan nafsu Dika, lenyap saat itu juga. Dika langsung merangkul Fino.
“Kamu mau, kan maafin aku?” tanya Fino
di sela haru yang menyeruak di dadanya.
“Pasti!” jawab Dika menambah lengkap
suasana mengharukan pagi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar