Sabtu, 02 November 2013

Sepotong Kata Maaf



         
         




Fino murung. Teman sebangku sekaligus sahabatnya tidak masuk hari ini. Ia menatap bangku di sampingnya dengan tatapan kosong. Walaupun sekarang adalah pelajaran matematika, favoritnya, ia tetap membatin pilu. Fino juga memastikan, Dika, teman sebangkunya, tidak punya catatan materi terbaru hari ini. Dika juga pasti belum tahu, jika pertemuan berikutnya akan diadakan ulangan harian. Fino mendesah perlahan.
            Sore tepat sehari sebelum ulangan matematika, Dika datang ke rumah Fino. Tujuannya adalah belajar kelompok untuk menghadapi ulangan esok. Dengan senang hati, Fino menyambut Dika di depan pintu rumahnya dengan wajah sumringah. Senyum mengembang ketika Dika menampakkan batang hidungnya.
            “Hai,” sapa Fino riang.
            “Hai juga,” balas Dika sama riangnya.
            10 menit.
            30 menit.
            Angka demi angka dilahap. Cara demi cara mulai diterapkan, untuk memecah misteri dari persoalan matematika. Secercah senyum dan anggukan kepala mewarnai belajar kelompok sore ini. Setapak demi setapak, Dika memahami apa yang Fino ajarkan. Fino dengan sabar dan tekun mengajari  teman sebangkunya mengurai pusaran angka di depannya.
            Jarum panjang telah beralih dari angka 12 tepat ke 12 lagi. 2 sahabat itu juga sudah berubah 180 derajat tentang apa yang mereka perbincangkan. Dari matematika menuju pertandingan bola tadi malam, Brazil vs Slovakia. Fino menghentikan ocehannya tentang angka, beralih menjadi pendengar cerita Dika. Bahkan sesekali tertawa melihat tingkah teman sebangkunya.
            Langit sore cerah mulai terlihat redup. Perpaduan antara biru, oranye dan kombinasi warna ungu. Dika menyudahi ceritanya, lalu pamit pulang.
            Esoknya, Fino dan Dika kembali mengulas apa yang telah mereka pelajari kemarin sore. Fino tersenyum puas dengan apa yang Dika pahami. Sama persis seperti yang ia ajarkan kemarin. Bahkan, Fino juga mendapati Dika mencoba mengerjakan beberapa contoh soal di buku catatannya. Diam-diam, Fino memuji ketekunan Dika.
            Bel masuk berdentang. Bu Guru masuk kelas. Sang ketua kelas memimpin do’a. Dengan khidmat, Fino memohon kepadaNya agar diberi kelancaran dalam mengerjakan soal nanti.
            Usai berdo’a, Bu Guru mengacak tempat duduk murid-muridnya untuk menguji kejujuran siswa-siswinya. Fino berganti posisi duduk di nomor 2 dari belakang, sedangkan Dika duduk tepat di depan meja guru. Ia tenang-tenang saja, karena merasa sudah menguasai materi. Apalagi ia adalah sang juara kelas sehingga Dika merasa pemahamannya jauh lebih baik daripada teman-temannya.
            Dika memberi kode kepada Fino bahwa ia telah siap untuk ulangan. Fino pun membalas kode itu dengan acungan ibu jari. Soal dibagikan. Kelas menjadi hening. Setiap anak berkonsentrasi dengan rangkaian angka di depannya. Termasuk Fino dan Dika.
            1 nomor.
            2 nomor terlewati.
            Hingga tiba di nomor keempat, Fino terkesiap. Materi nomor ini adalah materi terbaru yang belum Fino ajarkan kepada Dika. Fino jadi ingat kemarin sore tentang penjelasannya yang terpaksa berhenti untuk sekedar mendengar cerita tak penting Dika. Cerita yang tak ada sangkut pautnya dengan ulangan hari ini. Seharusnya Fino tidak menghentikan penjelasannya. Seharusnya Dika mendengarkan penjelasannya. Seharusnya.
            Fino melirik Dika sekilas. Teman sebangku Fino itu tampak gelisah. Duduknya tak tenang. Tangannya tak bisa diam. Fino jadi merasa bersalah. Ia pun berniat segera menyudahi ulangan ini untuk meminta maaf.
            Beberapa kali Dika menoleh ke belakang, ke tempat Fino. Namun, sepertinya Fino tak terusik, bahkan terlihat asyik mengerjakan soal yang menurut Dika memecahkan kepala. Dika jadi geram. Dika menduga, Fino sengaja tidak memberitahu materi ini agar nilainya jeblok. 3 soal dari 10 nomor yang Dika anggap neraka karena Fino!
            “Dika, menghadap ke depan!” suara Bu Guru di depan dengan tatapan tajam membekukan Dika. Ia sungguh malu. Baru pertama kali Dika ditegur saat ulangan. Membuat emosinya kian memuncak. Membuatnya muak dengan Fino. Membuat keringat dingin makin gencar keluar dari dahinya. Sedangkan Fino, ia semakin merasa bersalah. Semakin mengukuhkan niatnya untuk segera meminta maaf.
            Sebelum waktu habis, Fino sudah mengumpulkan ulangannya. Tanpa ada maksud untuk mengundang emosi Dika yang sudah pada puncaknya.
            “Wah, sudah dikumpulkan,” komentar Bu Guru bermaksud memuji. Fino hanya tersenyum sopan. Batin Dika bergejolak hebat. Biasanya, pujian itu ditujukan untuk dirinya. Tapi kali ini? Untuk Fino? Semakin menguatkan anggapan Dika bahwa Fino ingin menggeser predikatnya sebagai juara kelas.
            Waktu telah usai. Fino menghembuskan nafas lega. Dengan sabar, ia menunggu Dika yang jadi anak terakhir mengumpulkan ulangan.
            “Dik,” panggil Fino sembari tersenyum. Dika melengos. Fino sedikit terenyak.
            “Ada perlu apa? Mau bilang kalau kamu bisa mengerjakan ulangan ini?” sindir Dika membuat untaian kata maaf di benak Fino lenyap. Tergantikan emosi yang menggelora.
            “Hei! Apa maksud kamu?”
            “Halah. Tak usah banyak tanya. Bilang saja kalau kamu sengaja nggak kasih tahu aku tentang materi terbaru, biar nilaiku jelek. Iya, kan?” tuding Dika membuat Fino naik pitam.
            “Jangan asal bicara kamu! Kamu sendiri kemarin tidak bertanya, malah asyik cerita bola,”
            “Bagaimana aku mau bertanya kalau tidak tahu materinya?” cecar Dika semakin memojokkan Fino. Belum sempat Fino menjawab, Dika menukas dengan cepat.
            “Ah, sudahlah. Intinya, kamu yang salah!” kata Dika seraya berlalu. Fino merasakan emosinya berada di kerongkongan. Menyumbatnya hingga sulit untuk menelan ludah.
            “Dasar nggak tahu terima kasih,” gumam Fino pada dirinya sendiri sambil melihat bayang Dika yang makin jauh.
            Brak!
            Fino membanting pintu kamarnya dengan cukup keras. Hatinya merasa sangat sebal. Dadanya terasa amat sesak. Niat baik Fino dimentahkan oleh Dika yang menudingnya dengan tidak-tidak, membuat emosinya naik. Mulanya, Fino hanya menyapa Dika baik-baik. Tapi balasan Dika? Menggertak dengan sengit.
            Fino mulai menggeram. Fino merasa sangat tersinggung dengan ucapan Dika tadi. Menjatuhkan nilai Dika? Sungguh, itu tak ada dalam pikiran Fino. Ini murni karena Fino lupa. Ah, seandainya Dika tidak mengeluarkan emosinya dulu. Bahkan, tangannya mulai mengepal menandakan kebencian yang meluap.
            Sama seperti Fino, Dika sampai di rumah dengan wajah tak bersahabat. Ia sangat marah, kecewa, sebal, dongkol, dan jengkel. Ia menganggap Fino ingin menggeser posisinya sebagai juara kelas. Ia juga menganggap Fino ingin mencari perhatian Bu Guru dengan mengumpulkan ulangannya lebih dulu, sedangkan Dika masih bingung menggunakan angka berbentuk apa untuk sekedar mengisi lembar jawaban ulangannya.
            “Bagaimana ulangannya?” tegur Ibu Dika lembut.
            “Nihil,” jawab Dika ketus.
            “Maksudnya?” tanya Ibu Dika heran sambil mengernyitkan dahi.
            “Fino nggak kasih tahu tentang materi terbaru, Bu,” jawab Dika lagi dengan nada gusar.
            “Mungkin, Fino lupa,”
            “Lupa? Segampang itu dia lupa? Pasti dia ingin menjelekkan nilaiku, Bu!” sahut Dika dengan emosi berkobar.
            “Hus! Nggak boleh su’udzon sama orang. Sudah. Ganti baju, cuci tangan, cuci kaki, lalu makan!” perintah Ibu menyudahi debat siang ini. Dika memberengut sebal.
            Lupa? Kata itu terus terngiang di benaknya. Mungkin saja Fino lupa. Tapi tidak mungkin. Buktinya, dia mengumpulkan ulangannya lebih dulu. Bahkan, Fino tidak meminta maaf. Ah, entahlah. Nafsu dan naluri Dika bertengkar hebat.
            Beberapa hari kemudian, ulangan dibagikan. Fino mendapat nilai sempurna. Seketika Fino mengucap syukur yang amat dalam. Namun, di sisi lain, hati Fino miris melihat ulangan Dika mendapat 70. Nilai yang sangat jelek bagi Dika. Tapi rasa bersalah pada diri Fino terbantahkan mengingat tuduhan Dika beberapa waktu lalu.
            Rasa sengit Dika kian menguasai hati nurani. Membuat iblis bernama nafsu semakin melebarkan tawanya. Hal itu disebabkan karena ia mendapat nilai 70, sedangkan teman sebangkunya mendapat nilai sempurna. Nilai yang sering ditemuinya. Namun sekarang, seakan-akan si sempurna itu memusuhinya dan berkomplot dengan Fino.
            Beribu anggapan jelek tentang Fino merajalela di benak dan pikirnya. Fino pasti ingin menjatuhkan nilainya. Fino pasti tak ingin dirinya menjadi juara kelas. Fino pasti sangat senang mendapati nilai Dika di bawah rata-rata. Fino pasti sangat senang ketika Dika ditegur Bu Guru dengan tatapan tajam. Dika semakin gusar, sengit, dan kecewa. Entah terhadap dirinya sendiri atau karena Fino. Yang jelas, otaknya telah menekankan bahwa Finolah penyebab utama nilainya jelek pada ulangan kali ini.
            Sampai di rumah, Fino lebih banyak diam. Ia masih dilema. Antara memaafkan Dika atau membiarkan Dika dengan anggapan jelek tentang dirinya.
            Diamnya Fino, mengundang tanya di benak Bundanya.
            “Fin, ada apa? Sepertinya kamu memikirkan sesuatu,” tegur Bunda lembut. Fino masih diam. Berpikir untuk menceritakan atau tidak.
            “Ayolah, tak apa. Mungkin, Bunda bisa bantu,” desak Bunda masih dengan kelembutan yang sama. Fino menatap Bundanya lekat-lekat, lalu mulai bercerita. Meluncurlah kejadian demi kejadian tentang hubungannya dengan Dika, yang selama ini menyesakkan dadanya.
            “Fino, kan lupa, Bunda. Nggak sengaja. Tapi, Dika malah marah-marah,” ujar Fino di akhir cerita. Bunda tersenyum lalu membelai kepala putranya perlahan.
            “Fino jadi minta maaf?” tanya Bundanya. Bibir Fino terkatup rapat. Kemudian, kepalanya menggeleng lemah.
            “Mau minta maaf gimana, Bunda? Dika marah terus,” sahutnya cepat.
            “Begini, Fin. Walaupun kata ‘maaf’ itu sederhana, namun maknanya sangat besar ketika kita dihadapkan pada suatu masalah. Kesannya ada rasa tanggung jawab dalam diri kita. Terserah Dika menganggap Fino bagaimana. Yang penting, Fino sudah mengaku salah,” tutur Bunda. Fino kembali terdiam, merenung, memikirkan ucapan Bunda.
            “Dan, kalau belajar kelompok, nggak boleh banyak ngobrol tentang hal nggak penting!” tambah Bunda tegas. Fino mendongak menatap Bundanya lagi. Secercah senyum menghias wajahnya.
            “Siap!” tangan Fino memberi tanda hormat. Bunda tertawa kecil.
            Esoknya, Fino sengaja datang lebih pagi dengan tujuan segera meminta maaf kepada Dika. Dengan setia, ia menunggu kedatangan teman sebangkunya. Beberapa saat kemudian, Dika memasuki kelas. Fino tersenyum lega.
            “Dik,” sapa Fino. Dika tak bergeming. Sorot wajahnya sangat dingin.
            “Aku minta maaf. Aku telah teledor untuk mengajarimu tentang materi itu. Aku salah,” lanjut Fino. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Bibirnya kemudian terkatup rapat-rapat. Jantungnya, berdegup dengan sangat cepat.
            Hening yang lama.
            “Aku yang seharusnya minta maaf, Fin. Aku juga seharusnya berterima kasih sama kamu, udah mau ngajarin matematika,” tiba-tiba suara Dika memecah keheningan. Fino mendongak tak percaya. Mulutnya ternganga.
            “Aku minta maaf karena... karena.... aku sudah su’udzon sama kamu,” kali ini Dika menunduk. Dia tak berani menatap Fino.
            “Aku memaafkanmu,” jawab Fino mantap setelah kesadarannya karena tak percaya, pulih. Ribuan anggapan jelek dari bisikan nafsu Dika, lenyap saat itu juga. Dika langsung merangkul Fino.
            “Kamu mau, kan maafin aku?” tanya Fino di sela haru yang menyeruak di dadanya.
            “Pasti!” jawab Dika menambah lengkap suasana mengharukan pagi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini