Episode lalu....
Air mataku kian deras.
“Mas Fian tahu,
kamu dilema. Maafin, Mas Fian ya,” Aku memeluk Mas Fian dengan tangis yang
semakin tak terbendung.
Tugas Matematika terpampang nyata di papan tulis membuatku dan teman-teman membisu dalam mengerjakannya.
“Refina! Ke ruang organisasi sekarang!” suara pembina organisasiku
memecah keheningan kelas. Aku mengangguk sopan. “Oh iya... panggil Tama juga
ya,” lanjutnya dengan suara datar namun mampu membekukan langkahku. Aku merasa
belum siap bertemu dengan sosok penghuni kelas sebelah yang sempat membangun
rasa rindu lalu meluluhlantakkannya.
Otakku telah
memerintahkan kakiku untuk segera melangkah. Melangkah ke kelas sebelah.
“Permisi...
Selamat pagi.” Aku uluk salam dengan jantung yang berdebar cukup kencang. Semua
yang ada di kelas Tama, menoleh ke arahku, termasuk orang yang kucari sekarang.
“Ya... ada apa
Refina?” guru sejarah yang cantik dan membosankan ini menjawab salamku dengan
senyumnya yang ramah, lumayan mengendurkan kerja jantungku.
“Saya minta
waktunya Tama sebentar.” Kataku dengan senyum yang kupaksakan. Kulihat Tama
menatapku tajam. Aku menunduk. Tatapan Tama menjawab pertanyaanku, kalau
ternyata Tama masih marah.
“Baik. Tama,
silakan,” setelah mengucap kata terima kasih dan salam, aku keluar kelas tanpa
menunggu Tama. Aku mempercepat langkahku menuju ruang organisasi.
Tama menjejeri
langkahku. Aku semakin kikuk dengan sikap Tama. Aku masih takut padanya. Langkahku
pun kian melambat, berharap supaya langkahku dengan Tama tidak sama. Tapi
ternyata, Tama juga melakukan hal yang sama. Dia melambatkan langkahnya.
“Ada apa, Fin?”
blarrr! Rasa rindu yang menumpuk, menguap tak berbekas. Rindu dengan suara
lembut Tama. Rindu dengan perhatian Tama. Rindu dengan cerita-cerita singkat
Tama. Rindu dengan canda dan tawa Tama. Aku rindu Tama.
“Nggak tahu.”
Jawabku sambil mengedikkan bahu. Berusaha sewajar mungkin di hadapan Tama. Dan,
aku sangsi jika Tama masih marah padaku.
Pertemuan antara
aku, Tama dan Pembina berlangsung cukup singkat. Hanya himbuan untuk segera
merencanakan re-organisasi. Padahal baru beberapa waktu yang lalu
menyelanggarakan rapat! Rapat yang membawa petaka bagiku. Awal dari keretakan
hubunganku dengan Tama.
Aku memilih berada
di ruang organisasi daripada mengikuti pelajaran di kelas. Tama juga. Aku
bingung. Antara senang karena berdua dengan Tama atau takut karena Tama
sepertinya masih marah denganku.
“Fin,” suara
lembut Tama menggugahku untuk berpijak pada dunia nyata.
“Iya?”
“Maafin aku ya,”
kata Tama. Aku menyalahkan telingaku karena kukira aku salah dengar. “Apa?”
tanyaku ulang.
“Aku minta maaf.”
Jawab Tama. “Untuk?”
“Karena aku pernah
cuek sama kamu. Dan kemarin aku marah sama kamu.” Aku diam. Menunggu rentetan
kalimat dari mulut Tama setelah ini. “Kamu pasti udah tahu sikap kakak aku,
kan?” Tanpa menunggu jawabanku, Tama melanjutkan kalimatnya. “Aku kira, semua
perempuan itu sama. Selalu mempermainkan laki-laki. Makanya, aku menjaga jarak
dengan cewek. Tapi.....” kalimat Tama menggantung. Membuatku kian penasaran.
“Nggg... sorry kemarin aku marah sama kamu. Eh, bukan marah. Cuma bingung aja
kamu kok bisa tahu sikap kakak aku. Itu berarti kakakku udah kelewat jahat nyakitin
perasaan cowok.” Sikap Tama aneh. Baru kali ini aku melihat cowok bernama Wirya
Utama gugup!
“Ehmm... pacar kak
Renata itu Mas Vano kakakku dan Mas Fian sepupuku. Untuk Mas Fian, dia udah
sadar. Tapi, nggak tahu Mas Vano gimana.” Jawabku. Tama mengangguk-angguk.
“Tam, sepertinya ada kalimatmu yang terpenggal. Yang tadi, tapi apa?” tanyaku
dengan nada penasaran. Tama kembali gugup. Ada apa dengan cowok keren di
hadapanku ini?
1 menit.
5 menit.
Aku masih menunggu
jawaban Tama.
“Ngg... tapi... kamu...
beda.” Tepat setelah kalimat itu diluncurkan, bel istirahat berbunyi. “Udah.
Aku mau ke kantin.” Sahut Tama cepat, lalu bangkit dari duduknya dan
meninggalkanku dalam kebingungan yang menggila.
Malam yang dingin
untuk memikirkan arti kalimat terakhir Tama.
Aku beda? Apanya?
Dengan siapa? Apa yang Tama bicarakan tadi? Semula dia berbicara tentang sikap
Renata. Dia menganggap semua perempuan itu sama. Makanya, dia acuh dengan
perempuan. Dan... apakah kalimat terakhir Tama tadi berhubungan itu? Dia menganggap
aku berbeda? Lalu kenapa dia gugup? Ada apa? Apakah Tama.....
Bruk!
“Eh, Mas Vano,”
kataku lirih. Aku agak terkejut. Karena memikirkan ucapan Tama, aku tak
berkonsentrasi dengan jalan sehingga menubruk Mas Vano. Aku menatap Mas Vano.
Tampak berantakan. Kenapa lagi dia? 2 kancing atas bajunya terlepas. Rambutnya
acak-acak amburadul. Apakah habis bertengkar?
Mas Vano hanya
melewatiku dengan wajah kusut.
Sampainya di
kamar, aku merebahkan tubuhku di ranjang tempat tidur. Memutar beberapa keping
memori tentang peristiwa akhir-akhir ini. Peristiwa yang kuanggap terlalu rumit
untuk diuraikan. Terlalu tak penting untuk dibahas. Terlalu aneh untuk
dipikirkan.
Kriyeett.... Pintu
kamar terbuka. Mas Fian.
Aku .bangkit, lalu
mengernyit heran. Mas Fian tak jauh berbeda dengan Mas Vano. Ada apa dengan
mereka berdua? Bahkan ada luka lebam di wajah Mas Fian.
“Mas... ini...?”
tanganku menunjuk rahang. Mas Fian langsung terduduk lemas dan berbaring di
ranjangku. Mas Fian menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Dia
tampak begitu lelah.
“Aku bertengkar,
Fin....” Mas Fian akhirnya buka suara. Aku menatapnya dengan wajah prihatin. “....dengan
Vano....” lanjutnya membuatku terperangah. Dengan Mas Vano? Saudaranya sendiri?
Dia bertengkar? “....gara-gara Renata,” kali ini emosiku terpacu.
“Hanya karena
perempuan picik itu? Aku saja tak sudi mendengar namanya lagi. Apalagi yang
kamu permasalahkah, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan hubungan dengan wanita
itu?” aku sewot. Mas Fian menatapku lembut. Dia sangat paham dengan sikap
sepupunya yang keras kepala ini.
“Aku hanya bilang
kepada Vano, bahwa Renata bukan perempuan baik-baik. Entah, setan apa yang
merasukinya, dia langsung meninjuku. Dan kami... bertengkar. Sedangkan Renata
malah...”
“Tidak melerai
sama sekali!” tukasku sengit. Mas Fian mengangguk lemah. Matanya terpejam.
Menahan lelah yang mendera dengan begitu sengit sama seperti emosiku saat ini.
“Huh.. Apa sih yang dimau perempuan itu? Dia pikir cowok itu hanya
mainan yang nggak punya hati, nggak punya perasaan. Dia kali yang nggak punya
hati. Dia pikir, cowok nggak ngerasain gimana sakitnya dipermainin? Atau dia
pikir, jaman ini masih jaman penjajahan Belanda? Udah bukan musim adu domba
kali,” sungutku. Mas Fian tertawa kecil.
“Aduh...” Mas Fian mengaduh sambil memegangi rahangnya yang
membiru. “Ehh... bentar, Mas. Kuambilin kompres,” ujarku. Aku langsung melesat
menuju dapur. Mengambil air lalu..... hei... ada suara tangis. Dari arah
belakang dapur? Mas Vano menangis?
Kuintip pelan-pelan. Sambil berjingkat, aku mulai meneliti Mas
Vano. Dari atas ke bawah. Sayangnya, aku hanya bisa melihat punggungnya. Tapi
yang kudengar ini jelas suara tangis. Tidak mungkin hanya suara angin yang
sekedar memberitahuku untuk segera pergi dari sini.
Akhir-akhir ini, Mas Vano memang telah berubah. Biasanya, setiap
pagi, dia memakai dengan bangga jaket almamater universitasnya. Selalu
menyempatkan sarapan bersama kel=uarga, selalu menyempatkan diri untuk
menemaniku, selalu menyempatkan diri menjadi pendengar ceritaku, tepatnya
sebelum 1 bulan terakhir. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
Mas Vano si penggila bola, sekarang tak pernah menyentuh televisi
untuk menonton siaran pertandingan sepak bola. Mas Vano yang mengagumi Pep
Guardiola, juga tak pernah mencari kabar terbaru dari mantan pelatih klub
Barcelona itu. Mas Vano juga jarang menelepon Mama, sejak kepergian Mama ke
London, beberapa minggu lalu. Benarkah itu karena Renata? Benarkah ada iblis
semacam Renata yang membuat Mas Vano berubah?
Aku ingat saat Mas Vano berulang tahun yang ke 18, dia membelikanku
martabak telur, sampai aku hampir muntah saking banyaknya. Aku jadi ingat saat
aku menangis karena aku diabaikan oleh teman-temanku, yang ternyata itu adalah
bagian dari kejutan ulang tahunku. Aku jadi ingat belaian tangan Mas Vano jika
aku sedih ketika ditinggal lagi oleh Papa.
“Ngapain kamu di situ?” lamunanku buyar. Berganti dengan jantung
yang berdegup tak karuan. Aku ketahuan sedang mengintip.
“Mas... Vano... sekarang... mulai... berubah...” kataku pelan
sambil menahan sakitnya tenggorokan tercekat. Lidah mulai kelu.
Tiba-tiba Mas Vano memelukku dengan erat. Aku hampir sulit
bernafas. Baskom isi air untuk mengompres luka lebam Mas Fian pun jatuh. Aku
membalas pelukan Mas Vano sama eratnya. Aku menangis sesenggukan dalam pelukan
Mas Vano.
Ya Tuhan... aku rindu pelukan ini. Aku rindu kasih sayang Mas Vano.
Jarak yang tadinya melebar antara aku dan Mas Vano, meluruh saat ini juga.
“Hei...” Mas Vano mengendurkan pelukannya. Ternyata Mas Fian berada
di belakangku. “Maafin gue brotha!” kali ini Mas Vano memeluk Mas Fian. Mas
Fian tersenyum. “Gue sadar. Gue salah. Gue nggak percaya sama kalian. Terutama
kamu, Fin. Maafin Mas Vano ya,” sekali lagi Mas Vano memelukku dengan erat.
“Terus, hubungan kamu dengan Tama bagaimana?” sentil Mas Fian
sambil menjitakku lembut. Pipiku merah seketika.
***
“Jadi, sebentar lagi, Mama mau pulang? Asyik!” aku menari-nari
kecil tanda bahagia.
“Iya, Fin. Nanti Mama juga mau ngurus kepindahan sekolah kamu,”
tarianku berhenti. Mengingat sekolah adalah tempatku bertemu dengan Tama. Cowok
penghuni kelas sebelah yang seringkali kutemukan dalam bingkai imajiku.
Tandanya aku akan berpisah dengan Tama? Aku akan pindah. Bisakah, aku tetap
tinggal di Indonesia? Sampai sekarang pun, aku belum mengetahui benar perasaan
Tama terhadapku. Pernyataan menggantung Tama beberapa waktu lalu, belum
terjawab dengan jelas. Aku berbeda? Berbeda dari siapa?
“Halo... Fin...” suara Mama kembali mengagetkanku. “Oh eh... ng...
iya, Ma,”
“Sudah dulu, ya. Baik-baik di rumah, Sayang,” klik! Telephon
ditutup. Aku terduduk merenung di kamar. Sudah beberapa hari ini, aku tak
bersinggungan dengannya. Apa kabar dia?
“Hayooo... ngelamun!” Mas Vano membuatku terkejut. Aku tersenyum
tipis. “Kamu kenapa, dek? Oh iya.. Mama sebentar lagi pulang. Nggak sabar
pengen ngeliat London,” lanjut Mas Vano. Matanya menerawang.
“Mas Vano pengen banget ya ke London?” tanyaku polos. Mas Vano
sampai tertawa karena kepolosanku. “Jelaslah!” jawabnya cepat. Mungkin, Mas
Vano ingin melupakan hubungannya dengan Renata. Mungkin, Mas Vano ingin belajar
dengan orang London bagaimana caranya agar tak tertipu cewek. Mungkin.
“Berat ya, ninggalin orang yang kita sayang,” tiba-tiba Mas Vano
nyeletuk sambil melirikku jahil. Aku mendelik. “Ya, lumayan berat memang. Tapi
tenang. Yang namanya jodoh nggak lari kemana kok. Malah, siapa tahu, jodohmu
orang London,” kali ini aku mencubit lengan Mas Vano. Ah, dasar Mas Vano!
“Weitss... enggak kali, Mas,” balasku dengan wajah memerah.
“Kalo enggak, ngapain wajahmu kayak apel ranum gitu?” selidik Mas
Vano. Aku pun merasa terdesak. “Biarin!” jawabku sewot. Mas Vano tergelak. Aku
cemberut. Mas Vano malah makin gencar menggodaku.
“Hei hei... ngapain kalian?” Mas Fian ikut bergabung. “Oh iya Fin.
Aku tadi ketemu sama Tama,” langsung Mas Vano bersiul-siul ria. Wajahku kian
merah. Mas Fian tergelak.
“Itu di tanganmu apaan, Mas?” tanyaku seraya mengalihkan topik.
“Martabak!” jawab Mas Fian antusias. Martabak pun siap diserbu kami bertiga.
***
Bandara.
Aku menyandang tas punggung dengan gaya sok mau camping. Mas
Fian tertawa melihat tingkahku. Dia mengusap kepalaku lembut.
“Baik-baik ya di London,” katanya dengan senyum yang tak kumengerti
artinya. Sama halnya dengan Mas Vano. Sepertinya, mereka berdua merencanakan
sesuatu. Tapi apa?
“Terima kasih ya, Fian. Udah jaga anak-anak bandel ini,” ujar Mama
sambil mengerling lucu. “Iya, Tante,” balasnya.
Usai berbasa basi yang basi banget, aku melangkahkan kaki menuju
tempat pemeriksaan. Baru langkah kaki yang pertama, ada sebuah suara yang
sangat kurindukan, kunantikan, dan kutunggu kehadirannya.
“Fina!” aku berbalik arah cepat. Perasaan rindu pun telah terdefinisi
saat itu juga.
“Ngg... kamu mau ke London, ya,” Tama membuka pembicaraan setelah
dia mendekatiku. Aku mengangguk. Jantungku masih berdegup tak karuan. Mas Fian
dan Mas Vano bercuit-cuit. Sedangkan Mama hanya tersenyum.
“Ini buat kenang-kenangan di sana. Jangan lupain aku, Fin,” Tama
menyerahkan sebuah foto. Fotoku dan dirinya dalam sebuah acara di organisasi
dulu! Foto itu!
“Emang kalau aku lupa sama kamu, kenapa?” tanyaku setengah
bercanda. Wajah lembut Tama berubah gugup. “Soalnya... aku... ng....”
“Suka sama kamu!” sahut Mas Fian dan Mas Vano bersamaan. Tanpa
dikomando, aku dan Tama berpandangan lalu tersipu. Mungkin, wajahku sudah
merah. Rasanya mirip mentari, hangat memanjakan. Tama menatapku dengan penuh
arti. Aku pun tersenyum.
Di pesawat, aku mendekap dengan erat foto pemberian Tama. Tak
berbingkai. Sangat sederhana. Ya Tuhan... ternyata, selama ini rasa sayangku
kepada Tama terbalas. Ya Tuhan... ternyata, ini hasil dari ujian yang kau
datangkan untukku. Ternyata, ini ujung dari dilema yang menghujamku. Aku
tersenyum sambil memegang fotoku dengan Tama. Diam-diam, dari ujung yang tak
dapat kulihat, Tama juga tersenyum sambil memandang foto yang sama.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar