Sabtu, 09 November 2013

Dilema (Episode terakhir)



Episode lalu....

Air mataku kian deras.

            “Mas Fian tahu, kamu dilema. Maafin, Mas Fian ya,” Aku memeluk Mas Fian dengan tangis yang semakin tak terbendung.
 
Tugas Matematika terpampang nyata di papan tulis membuatku dan teman-teman membisu dalam mengerjakannya.
“Refina! Ke ruang organisasi sekarang!” suara pembina organisasiku memecah keheningan kelas. Aku mengangguk sopan. “Oh iya... panggil Tama juga ya,” lanjutnya dengan suara datar namun mampu membekukan langkahku. Aku merasa belum siap bertemu dengan sosok penghuni kelas sebelah yang sempat membangun rasa rindu lalu meluluhlantakkannya.
            Otakku telah memerintahkan kakiku untuk segera melangkah. Melangkah ke kelas sebelah.
            “Permisi... Selamat pagi.” Aku uluk salam dengan jantung yang berdebar cukup kencang. Semua yang ada di kelas Tama, menoleh ke arahku, termasuk orang yang kucari sekarang.
            “Ya... ada apa Refina?” guru sejarah yang cantik dan membosankan ini menjawab salamku dengan senyumnya yang ramah, lumayan mengendurkan kerja jantungku.
            “Saya minta waktunya Tama sebentar.” Kataku dengan senyum yang kupaksakan. Kulihat Tama menatapku tajam. Aku menunduk. Tatapan Tama menjawab pertanyaanku, kalau ternyata Tama masih marah.
            “Baik. Tama, silakan,” setelah mengucap kata terima kasih dan salam, aku keluar kelas tanpa menunggu Tama. Aku mempercepat langkahku menuju ruang organisasi.
            Tama menjejeri langkahku. Aku semakin kikuk dengan sikap Tama. Aku masih takut padanya. Langkahku pun kian melambat, berharap supaya langkahku dengan Tama tidak sama. Tapi ternyata, Tama juga melakukan hal yang sama. Dia melambatkan langkahnya.
            “Ada apa, Fin?” blarrr! Rasa rindu yang menumpuk, menguap tak berbekas. Rindu dengan suara lembut Tama. Rindu dengan perhatian Tama. Rindu dengan cerita-cerita singkat Tama. Rindu dengan canda dan tawa Tama. Aku rindu Tama.
            “Nggak tahu.” Jawabku sambil mengedikkan bahu. Berusaha sewajar mungkin di hadapan Tama. Dan, aku sangsi jika Tama masih marah padaku.
            Pertemuan antara aku, Tama dan Pembina berlangsung cukup singkat. Hanya himbuan untuk segera merencanakan re-organisasi. Padahal baru beberapa waktu yang lalu menyelanggarakan rapat! Rapat yang membawa petaka bagiku. Awal dari keretakan hubunganku dengan Tama.
            Aku memilih berada di ruang organisasi daripada mengikuti pelajaran di kelas. Tama juga. Aku bingung. Antara senang karena berdua dengan Tama atau takut karena Tama sepertinya masih marah denganku.
            “Fin,” suara lembut Tama menggugahku untuk berpijak pada dunia nyata.
            “Iya?”
            “Maafin aku ya,” kata Tama. Aku menyalahkan telingaku karena kukira aku salah dengar. “Apa?” tanyaku ulang.
            “Aku minta maaf.” Jawab Tama. “Untuk?”
            “Karena aku pernah cuek sama kamu. Dan kemarin aku marah sama kamu.” Aku diam. Menunggu rentetan kalimat dari mulut Tama setelah ini. “Kamu pasti udah tahu sikap kakak aku, kan?” Tanpa menunggu jawabanku, Tama melanjutkan kalimatnya. “Aku kira, semua perempuan itu sama. Selalu mempermainkan laki-laki. Makanya, aku menjaga jarak dengan cewek. Tapi.....” kalimat Tama menggantung. Membuatku kian penasaran. “Nggg... sorry kemarin aku marah sama kamu. Eh, bukan marah. Cuma bingung aja kamu kok bisa tahu sikap kakak aku. Itu berarti kakakku udah kelewat jahat nyakitin perasaan cowok.” Sikap Tama aneh. Baru kali ini aku melihat cowok bernama Wirya Utama gugup!
            “Ehmm... pacar kak Renata itu Mas Vano kakakku dan Mas Fian sepupuku. Untuk Mas Fian, dia udah sadar. Tapi, nggak tahu Mas Vano gimana.” Jawabku. Tama mengangguk-angguk. “Tam, sepertinya ada kalimatmu yang terpenggal. Yang tadi, tapi apa?” tanyaku dengan nada penasaran. Tama kembali gugup. Ada apa dengan cowok keren di hadapanku ini?
            1 menit.
            5 menit.
            Aku masih menunggu jawaban Tama.
            “Ngg... tapi... kamu... beda.” Tepat setelah kalimat itu diluncurkan, bel istirahat berbunyi. “Udah. Aku mau ke kantin.” Sahut Tama cepat, lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkanku dalam kebingungan yang menggila.
            Malam yang dingin untuk memikirkan arti kalimat terakhir Tama.
            Aku beda? Apanya? Dengan siapa? Apa yang Tama bicarakan tadi? Semula dia berbicara tentang sikap Renata. Dia menganggap semua perempuan itu sama. Makanya, dia acuh dengan perempuan. Dan... apakah kalimat terakhir Tama tadi berhubungan itu? Dia menganggap aku berbeda? Lalu kenapa dia gugup? Ada apa? Apakah Tama.....
            Bruk!
            “Eh, Mas Vano,” kataku lirih. Aku agak terkejut. Karena memikirkan ucapan Tama, aku tak berkonsentrasi dengan jalan sehingga menubruk Mas Vano. Aku menatap Mas Vano. Tampak berantakan. Kenapa lagi dia? 2 kancing atas bajunya terlepas. Rambutnya acak-acak amburadul. Apakah habis bertengkar?
            Mas Vano hanya melewatiku dengan wajah kusut.
            Sampainya di kamar, aku merebahkan tubuhku di ranjang tempat tidur. Memutar beberapa keping memori tentang peristiwa akhir-akhir ini. Peristiwa yang kuanggap terlalu rumit untuk diuraikan. Terlalu tak penting untuk dibahas. Terlalu aneh untuk dipikirkan.
            Kriyeett.... Pintu kamar terbuka. Mas Fian.
            Aku .bangkit, lalu mengernyit heran. Mas Fian tak jauh berbeda dengan Mas Vano. Ada apa dengan mereka berdua? Bahkan ada luka lebam di wajah Mas Fian.
            “Mas... ini...?” tanganku menunjuk rahang. Mas Fian langsung terduduk lemas dan berbaring di ranjangku. Mas Fian menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Dia tampak begitu lelah.
            “Aku bertengkar, Fin....” Mas Fian akhirnya buka suara. Aku menatapnya dengan wajah prihatin. “....dengan Vano....” lanjutnya membuatku terperangah. Dengan Mas Vano? Saudaranya sendiri? Dia bertengkar? “....gara-gara Renata,” kali ini emosiku terpacu.
            “Hanya karena perempuan picik itu? Aku saja tak sudi mendengar namanya lagi. Apalagi yang kamu permasalahkah, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan hubungan dengan wanita itu?” aku sewot. Mas Fian menatapku lembut. Dia sangat paham dengan sikap sepupunya yang keras kepala ini.
            “Aku hanya bilang kepada Vano, bahwa Renata bukan perempuan baik-baik. Entah, setan apa yang merasukinya, dia langsung meninjuku. Dan kami... bertengkar. Sedangkan Renata malah...”
            “Tidak melerai sama sekali!” tukasku sengit. Mas Fian mengangguk lemah. Matanya terpejam. Menahan lelah yang mendera dengan begitu sengit sama seperti emosiku saat ini.
“Huh.. Apa sih yang dimau perempuan itu? Dia pikir cowok itu hanya mainan yang nggak punya hati, nggak punya perasaan. Dia kali yang nggak punya hati. Dia pikir, cowok nggak ngerasain gimana sakitnya dipermainin? Atau dia pikir, jaman ini masih jaman penjajahan Belanda? Udah bukan musim adu domba kali,” sungutku. Mas Fian tertawa kecil.
“Aduh...” Mas Fian mengaduh sambil memegangi rahangnya yang membiru. “Ehh... bentar, Mas. Kuambilin kompres,” ujarku. Aku langsung melesat menuju dapur. Mengambil air lalu..... hei... ada suara tangis. Dari arah belakang dapur? Mas Vano menangis?
Kuintip pelan-pelan. Sambil berjingkat, aku mulai meneliti Mas Vano. Dari atas ke bawah. Sayangnya, aku hanya bisa melihat punggungnya. Tapi yang kudengar ini jelas suara tangis. Tidak mungkin hanya suara angin yang sekedar memberitahuku untuk segera pergi dari sini.
Akhir-akhir ini, Mas Vano memang telah berubah. Biasanya, setiap pagi, dia memakai dengan bangga jaket almamater universitasnya. Selalu menyempatkan sarapan bersama kel=uarga, selalu menyempatkan diri untuk menemaniku, selalu menyempatkan diri menjadi pendengar ceritaku, tepatnya sebelum 1 bulan terakhir. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
Mas Vano si penggila bola, sekarang tak pernah menyentuh televisi untuk menonton siaran pertandingan sepak bola. Mas Vano yang mengagumi Pep Guardiola, juga tak pernah mencari kabar terbaru dari mantan pelatih klub Barcelona itu. Mas Vano juga jarang menelepon Mama, sejak kepergian Mama ke London, beberapa minggu lalu. Benarkah itu karena Renata? Benarkah ada iblis semacam Renata yang membuat Mas Vano berubah?
Aku ingat saat Mas Vano berulang tahun yang ke 18, dia membelikanku martabak telur, sampai aku hampir muntah saking banyaknya. Aku jadi ingat saat aku menangis karena aku diabaikan oleh teman-temanku, yang ternyata itu adalah bagian dari kejutan ulang tahunku. Aku jadi ingat belaian tangan Mas Vano jika aku sedih ketika ditinggal lagi oleh Papa.
“Ngapain kamu di situ?” lamunanku buyar. Berganti dengan jantung yang berdegup tak karuan. Aku ketahuan sedang mengintip.
“Mas... Vano... sekarang... mulai... berubah...” kataku pelan sambil menahan sakitnya tenggorokan tercekat. Lidah mulai kelu.
Tiba-tiba Mas Vano memelukku dengan erat. Aku hampir sulit bernafas. Baskom isi air untuk mengompres luka lebam Mas Fian pun jatuh. Aku membalas pelukan Mas Vano sama eratnya. Aku menangis sesenggukan dalam pelukan Mas Vano.
Ya Tuhan... aku rindu pelukan ini. Aku rindu kasih sayang Mas Vano. Jarak yang tadinya melebar antara aku dan Mas Vano, meluruh saat ini juga.
“Hei...” Mas Vano mengendurkan pelukannya. Ternyata Mas Fian berada di belakangku. “Maafin gue brotha!” kali ini Mas Vano memeluk Mas Fian. Mas Fian tersenyum. “Gue sadar. Gue salah. Gue nggak percaya sama kalian. Terutama kamu, Fin. Maafin Mas Vano ya,” sekali lagi Mas Vano memelukku dengan erat.
“Terus, hubungan kamu dengan Tama bagaimana?” sentil Mas Fian sambil menjitakku lembut. Pipiku merah seketika.
***
“Jadi, sebentar lagi, Mama mau pulang? Asyik!” aku menari-nari kecil tanda bahagia.
“Iya, Fin. Nanti Mama juga mau ngurus kepindahan sekolah kamu,” tarianku berhenti. Mengingat sekolah adalah tempatku bertemu dengan Tama. Cowok penghuni kelas sebelah yang seringkali kutemukan dalam bingkai imajiku. Tandanya aku akan berpisah dengan Tama? Aku akan pindah. Bisakah, aku tetap tinggal di Indonesia? Sampai sekarang pun, aku belum mengetahui benar perasaan Tama terhadapku. Pernyataan menggantung Tama beberapa waktu lalu, belum terjawab dengan jelas. Aku berbeda? Berbeda dari siapa?
“Halo... Fin...” suara Mama kembali mengagetkanku. “Oh eh... ng... iya, Ma,”
“Sudah dulu, ya. Baik-baik di rumah, Sayang,” klik! Telephon ditutup. Aku terduduk merenung di kamar. Sudah beberapa hari ini, aku tak bersinggungan dengannya. Apa kabar dia?
“Hayooo... ngelamun!” Mas Vano membuatku terkejut. Aku tersenyum tipis. “Kamu kenapa, dek? Oh iya.. Mama sebentar lagi pulang. Nggak sabar pengen ngeliat London,” lanjut Mas Vano. Matanya menerawang.
“Mas Vano pengen banget ya ke London?” tanyaku polos. Mas Vano sampai tertawa karena kepolosanku. “Jelaslah!” jawabnya cepat. Mungkin, Mas Vano ingin melupakan hubungannya dengan Renata. Mungkin, Mas Vano ingin belajar dengan orang London bagaimana caranya agar tak tertipu cewek. Mungkin.
“Berat ya, ninggalin orang yang kita sayang,” tiba-tiba Mas Vano nyeletuk sambil melirikku jahil. Aku mendelik. “Ya, lumayan berat memang. Tapi tenang. Yang namanya jodoh nggak lari kemana kok. Malah, siapa tahu, jodohmu orang London,” kali ini aku mencubit lengan Mas Vano. Ah, dasar Mas Vano!
“Weitss... enggak kali, Mas,” balasku dengan wajah memerah.
“Kalo enggak, ngapain wajahmu kayak apel ranum gitu?” selidik Mas Vano. Aku pun merasa terdesak. “Biarin!” jawabku sewot. Mas Vano tergelak. Aku cemberut. Mas Vano malah makin gencar menggodaku.
“Hei hei... ngapain kalian?” Mas Fian ikut bergabung. “Oh iya Fin. Aku tadi ketemu sama Tama,” langsung Mas Vano bersiul-siul ria. Wajahku kian merah. Mas Fian tergelak.
“Itu di tanganmu apaan, Mas?” tanyaku seraya mengalihkan topik. “Martabak!” jawab Mas Fian antusias. Martabak pun siap diserbu kami bertiga.
***
Bandara.
Aku menyandang tas punggung dengan gaya sok mau camping. Mas Fian tertawa melihat tingkahku. Dia mengusap kepalaku lembut.
“Baik-baik ya di London,” katanya dengan senyum yang tak kumengerti artinya. Sama halnya dengan Mas Vano. Sepertinya, mereka berdua merencanakan sesuatu. Tapi apa?
“Terima kasih ya, Fian. Udah jaga anak-anak bandel ini,” ujar Mama sambil mengerling lucu. “Iya, Tante,” balasnya.
Usai berbasa basi yang basi banget, aku melangkahkan kaki menuju tempat pemeriksaan. Baru langkah kaki yang pertama, ada sebuah suara yang sangat kurindukan, kunantikan, dan kutunggu kehadirannya.
“Fina!” aku berbalik arah cepat. Perasaan rindu pun telah terdefinisi saat itu juga.
“Ngg... kamu mau ke London, ya,” Tama membuka pembicaraan setelah dia mendekatiku. Aku mengangguk. Jantungku masih berdegup tak karuan. Mas Fian dan Mas Vano bercuit-cuit. Sedangkan Mama hanya tersenyum.
“Ini buat kenang-kenangan di sana. Jangan lupain aku, Fin,” Tama menyerahkan sebuah foto. Fotoku dan dirinya dalam sebuah acara di organisasi dulu! Foto itu!
“Emang kalau aku lupa sama kamu, kenapa?” tanyaku setengah bercanda. Wajah lembut Tama berubah gugup. “Soalnya... aku... ng....”
“Suka sama kamu!” sahut Mas Fian dan Mas Vano bersamaan. Tanpa dikomando, aku dan Tama berpandangan lalu tersipu. Mungkin, wajahku sudah merah. Rasanya mirip mentari, hangat memanjakan. Tama menatapku dengan penuh arti. Aku pun tersenyum.
Di pesawat, aku mendekap dengan erat foto pemberian Tama. Tak berbingkai. Sangat sederhana. Ya Tuhan... ternyata, selama ini rasa sayangku kepada Tama terbalas. Ya Tuhan... ternyata, ini hasil dari ujian yang kau datangkan untukku. Ternyata, ini ujung dari dilema yang menghujamku. Aku tersenyum sambil memegang fotoku dengan Tama. Diam-diam, dari ujung yang tak dapat kulihat, Tama juga tersenyum sambil memandang foto yang sama.
Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini