Episode lalu...
Aku terduduk lemas di sisi ranjang. Apakah hanya
karena perkara Renata, aku dan kakak kandungku sendiri bertengkar? Dengan
sepupuku sendiri, hubunganku renggang? Apa mereka tidak tahu alasanku berkata
begini? Tak lain, karena aku tak ingin mereka sakit hati.
Pagi ini, aku memasak daging sapi ala Mama favorit Mas Vano. Dengan
harapan, kerinduan dengan Mama agak terobati. Aku sudah menyiapkan nasi beserta
lauk, lalu kutinggal mandi bersiap ke sekolah. Usai mandi, kulihat Mas Vano dan
Mas Fian sudah mengambil nasi, sarapan.“Gimana, Mas? Enak?” tanyaku sambil menarik kursi. Bergabung dengan mereka. Mas Vano melirikku sekilas, melanjutkan makannya. Sedangkan Mas Fian, tetap tak bergeming. Batinku serasa perih. Masih karena pertengkaran tadi malam? Aku pun memilih diam. Sarapan diiringi dengan keheningan.
Di sekolah aku lebih sering melamun. Memikirkan bagaimana caranya
memperbaiki hubunganku dengan Mas Vano. Ah, gara-gara Renata!
“Fin, bagaimana dengan persiapan re-organisasi?” Tama membuyarkan
lamunanku.
“Ngg... udah ada beberapa konsep, Tam. Tapi nggak tahu sih yang
bagus yang mana. Menurutku bagus semua. Besok masih dirapatkan, kan?” tanyaku
disambut anggukan Tama.
“Nanti sore ke sekolah ya, Fin. Ada beberapa proposal yang perlu
diralat.” Aku pun mengangguk lesu. Tama meninggalkanku, sendirian. Bersama lamunan
tentang kakaknya, dan kedua kakakku.
Dari aku berangkat, pulang, hingga ke sekolah sorenya, Mas Fian dan
Mas Vano sama sekali tidak menyapaku. Bahkan, seakan-akan aku tidak terlihat.
Sebegitu marahkah mereka kepadaku? Sebegitu rapikah Renata menyembunyikan
rahasianya? Kepalaku semakin merasa pening memikirkan hal ini.
Setibanya di
sekolah, aku langsung menuju ruang organisasi. Tama datang lebih dulu. Dia
sudah duduk di depan komputer mengetik sesuatu.
“Tama.” Sapaku
lembut. Lalu menarik kursi, duduk di sampingnya. Dia menoleh lalu tersenyum.
“Berangkat sama
siapa, Fin?” tanyanya. Pandangannya kembali ke komputer. “Sendiri.” Jawabku
singkat.
“Nggak sama
kakakmu?” tanya Tama lagi. Aku terhenyak. Dalam diam, batinku kembali perih.
Mengingat pertengkaran yang pecah tadi malam, dan keretakkan hubunganku dengan Mas
Vano. Aku pun memilih menggeleng lemah daripada menjawab dengan suara.
Suasana kembali
hening.
“Nih, lanjutin!
Tinggal ngeralat bagian ini sama ini. Aku mau ngeberesin yang di meja.” Perintah
Tama. Aku langsung melaksanakan perintahnya. Cuma ngetik? Kecil!
Suasana hening
lagi. Aku sibuk mengerjakan tugasku, dan Tama sibuk mengerjakan tugasnya. Saat
ini, aku lebih memilih diam. Batinku masih terkoyak dengan peristiwa tak
mengenakkan tentang perkara kakak Tama.
Pikiranku
berkecamuk. Bingung, bimbang, resah. Mas Fian dan Mas Vano mulai tak percaya
denganku. Suasana rumah benar-benar tak nyaman. Dengan siapa lagi aku
berinteraksi di rumah jika bukan dengan mereka? Ya Tuhan..
Aku benar-benar
merasa dilema. Aku tak mungkin menceritakan hal ini secara gamblang kepada
Tama. Tapi, jika hal ini kupendam sendiri, semakin menyesakkan di dada. Ya
Tuhan.. aku harus bagaimana? Aku tak mungkin hanya mengandalkan do’a. Harus ada
usaha yang kulakukan. Tapi apa? Pikiranku benar-benar buntu.
“Udah selesai,
Fin?” Tama mengejutkanku. “Oh eh.. udah. Ada yang lain?” tanyaku balik. Tama
menggeleng.
“Di rumah ada
acara, Fin?” tanya Tama. Mengingat rumah, aku serasa ingin menangis. Aku
menggeleng. “Jalan-jalan, yuk. Sekali-kali refreshing.” Lanjut Tama. Aku
terlongo. Apa ini bukan mimpi? Syukurlah. Setidaknya ada yang menghiburku di
sela masalahku dengan Mas Vano.
***
Pusat kota masih
ramai. Bahkan, menuju malam, semakin ramai. Aku dan Tama sudah menghabiskan
belasan topik sambil mengelilingi pedagang yang mangkal di pinggir jalan.
Kemudian menertawakan diri sendiri karena tingkah laku gila yang mengundang
pandangan aneh dari orang lain.
Tanpa sengaja aku
menubruk seseorang. Ketika aku mendongak, ternyata itu Mas Fian dengan....
Renata! Aku terkesiap. Renata berubah gelisah.
“Mas Fian....”
ucapku lirih. Pandanganku beralih ke Renata. “Hei! Jangan sekali-kali kamu
menyakiti Mas Fian juga Mas Vano! Kamu harus memutuskan hubungan dengan
keduanya! Aku pun tak sudi punya kakak ipar seperti kamu!” sentakku geram. Mas Fian
tampak sangat terkejut.
“Jaga bicaramu!
Apa buktinya aku pacaran sama Vano, heh?” tantang Renata. Dia masih berusaha
menutupi kebohongannya. Walaupun sudah keluar keringat dingin tanda dia gugup.
“Ohh.. butuh
bukti? Aku ada saksi. Di restoran dulu, kamu lagi sama Mas Vano, ya kan...
Tam...?” aku lupa. Benar-benar lupa jika Renata adalah kakak kandung Tama,
sedangkan Tama sekarang berada di sampingku. Dia nampak lebih terkejut daripada
Mas Fian.
“Apa? Kenapa Tama?
Mentang-mentang pacarnya Tama, jangan seenaknya kamu sama aku! Udah yuk. Kita
pergi.” Balas Renata dengan ketus, lalu menggandeng tangan Mas Fian. Renata
merasa menang! Aku mendesis geram. Namun, itu tak berlangsung lama. Tama
menatapku tajam kemudian pergi meninggalkanku.
“Tama!!”
panggilku. Namun, sia-sia. Tama tak menengok apalagi kembali. Aku merasa jadi
orang paling bodoh sedunia! Mulutku terlalu lancang berbicara. Emosiku
seluruhnya meluap, tanpa mampu kubatasi. ”Tama, maafkan aku.” Bisikku lirih.
Yang dengan bodohnya berharap, Tama dapat mendengar bisikkanku.
Aku pulang dengan
langkah gontai.
Di kamar, aku
menangis sejadi-jadinya. Mengapa masalahnya kian rumit? Aku sudah merencanakan
hal yang lebih rapih daripada ini. Kejadian tadi benar-benar tak terduga dan
kusangka. Aku kelepasan bicara. Di depan orang yang semakin lama kusayangi!
Betapa kecewanya Tama, terhadapku. Pasti dia menganggap aku telah menuduh
kakaknya.
Dari sudut yang
tak bisa kulihat, Mas Fian memandangku dalam-dalam.
***
Aku masih
memandang layar komputer dalam ruang organisasi. Data yang kemarin sore telah
kuralat bersama Tama, sudah tercetak. Power Point untuk rapat hari ini juga
telah siap. Bel pun sudah berdentang 5 menit yang lalu. Bahkan, beberapa
anggota dan pengurus organisasi sudah stand by. Tinggal menunggu Tama. Padahal,
hampir tidak pernah dia terlambat. Biasanya, dia membuka ruang rapat organisasi.
Setengah jam
kemudian, rapat baru dimulai. Tama baru datang. Begitupun dengan wajah dingin.
Aku menghela napas pelan. Ada apa dengan dia?
Usai rapat, aku
menemuinya untuk meminta tanda tangan persetujuan laporan keuangan dari
bendahara.
“Tama, tanda
tangan, nih.” Kataku dengan suara ceria sambil menyodorkan laporan berbentuk
buku.
“Taruh aja di
mejaku.” Balasnya dingin. Aku tertegun. Ke mana Tama yang ramah? Dia berubah
lagikah? Karena kemarinkah? Maafkan aku, Tama.
“Oh, iya, Tam.
Tadi ke mana? Kok tumben terlambat.” Aku masih berusaha menghilangkan
prasangka-prasangka yang sempat muncul. “Bukan urusanmu!” jawab Tama singkat
lalu meninggalkanku. Ternyata Tama benar-benar marah. Tama benar-benar acuh!
Diam-diam ada rasa sakit tak terperi hadir.
***
Malam ini mataku
belum mampu terpejam. Masih terjaga dengan rencana-rencanaku yang telah matang,
berubah menjadi mentah karena kejadian tak sengaja kemarin. Seharusnya aku
menolak jalan-jalan dengan Tama. Seharusnya aku ingat jika Tama di sampingku.
Seharusnya aku tidak tersulut emosi saat melihat Renata. Seharusnya nasi belum
menjadi bubur. Seharusnya.
Nafasku kembali berhembus.
Terdengar sangat berat. Ya Tuhan... seberat inikah ujian yang Kau beri padaku?
Aku masih menatap
nanar langit-langit kamar. Sekarang, tanganku sibuk mengusap air mata yang
dengan mulus merembes menuju pipiku. Tanganku yang lainnya sibuk mencari tisu
untuk menghentikan laju ingus dari hidungku.
Pintu kamar
terketuk perlahan. Tok tok tok...
Pintu kamar
terbuka pelan.
“Fin...” lirih
pemilik suara itu memasuki kamarku.
“Kamu kenapa
nangis? Gara-gara peristiswa kemarin ya?” pemilik suara itu membelai rambutku
lembut. Aku melirik sekilas. Aku ingin berada di pelukmu, Mas. Aku ingin
menangis di sana sepuasku. Tapi, bagaimana mungkin? Aku tak bisa membohongiku
diriku sendiri untuk tidak marah padamu, karena ketidak tegasanmu.
Lintasan air mata
mulai mengering. Namun, suara isak tangisku masih terdengar lirih. Sangat
lirih.
“Sepertinya kamu
benar,” spontan aku menoleh. Mas Fian tersenyum singkat. “Sudah ada temanku
yang melarang aku berhubungan Renata. Banyak yang bilang Renata bukan wanita
baik-baik. Tapi, saat itu aku terlalu tuli untuk mendengar kicauan mereka. Aku
terlalu keras kepala. Hingga kamu bilang bagaimana Renata sebenarnya, aku mulai
goyah. Ditambah, kamu kemarin marah-marah, kepercayaanku pada Renata terkikis.”
Mas Fian bercerita dengan nada datar namun seperti melukai telinga dan hatiku.
Kenapa tidak dari kemarin-kemarin kamu percaya padaku, Mas? Apakah aku tidak
terlihat di mata kamu? Apakah suaraku hanyut ditelan angin yang berhembus
lembut?
Air mataku
mengalir perlahan.
“Fin, aku tahu.
Dari pertama kamu bertemu Renata, aku sudah melihat kebingungan dalam
tingkahmu. Mungkin, kamu nggak setuju jika aku berhubungan dengan dia. Tapi,
lagi-lagi Renata berhasil ngeyakinin aku, kalau kamu sebenarnya senang dengan
hubunganku ini.” Mas Fian menghela nafas. “Aku juga tahu, diam-diam kamu
menyimpan perasaan dengan adiknya Renata, kan?” Mas Fian menatapku. Aku memilih
diam seribu bahasa.
“Aku tahu, kamu
menahan diri untuk memberi tahuku dan memberi tahu Vano dengan cara gamblang.
Karena kamu pasti sudah membayangkan bagaimana reaksi kami. Kamu juga menahan
diri untuk tidak melukai perasaan Tama, karena kamu pasti sudah mengira, Tama
bakalan marah sama kamu jika kamu memberitahu sikap Renata kepadanya. Dia nggak
bakal terima kalau kakaknya dibilang bukan perempuan baik-baik.”
Air mataku kian
deras.
“Mas Fian tahu,
kamu dilema. Maafin, Mas Fian ya,” Aku memeluk Mas Fian dengan tangis yang
semakin tak terbendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar