Sabtu, 02 November 2013

Dilema (Episode 4)



Episode lalu...

Aku terduduk lemas di sisi ranjang. Apakah hanya karena perkara Renata, aku dan kakak kandungku sendiri bertengkar? Dengan sepupuku sendiri, hubunganku renggang? Apa mereka tidak tahu alasanku berkata begini? Tak lain, karena aku tak ingin mereka sakit hati.
      Pagi ini, aku memasak daging sapi ala Mama favorit Mas Vano. Dengan harapan, kerinduan dengan Mama agak terobati. Aku sudah menyiapkan nasi beserta lauk, lalu kutinggal mandi bersiap ke sekolah. Usai mandi, kulihat Mas Vano dan Mas Fian sudah mengambil nasi, sarapan.

         “Gimana, Mas? Enak?” tanyaku sambil menarik kursi. Bergabung dengan mereka. Mas Vano melirikku sekilas, melanjutkan makannya. Sedangkan Mas Fian, tetap tak bergeming. Batinku serasa perih. Masih karena pertengkaran tadi malam? Aku pun memilih diam. Sarapan diiringi dengan keheningan.
Di sekolah aku lebih sering melamun. Memikirkan bagaimana caranya memperbaiki hubunganku dengan Mas Vano. Ah, gara-gara Renata!
“Fin, bagaimana dengan persiapan re-organisasi?” Tama membuyarkan lamunanku.
“Ngg... udah ada beberapa konsep, Tam. Tapi nggak tahu sih yang bagus yang mana. Menurutku bagus semua. Besok masih dirapatkan, kan?” tanyaku disambut anggukan Tama.
“Nanti sore ke sekolah ya, Fin. Ada beberapa proposal yang perlu diralat.” Aku pun mengangguk lesu. Tama meninggalkanku, sendirian. Bersama lamunan tentang kakaknya, dan kedua kakakku.
Dari aku berangkat, pulang, hingga ke sekolah sorenya, Mas Fian dan Mas Vano sama sekali tidak menyapaku. Bahkan, seakan-akan aku tidak terlihat. Sebegitu marahkah mereka kepadaku? Sebegitu rapikah Renata menyembunyikan rahasianya? Kepalaku semakin merasa pening memikirkan hal ini.
            Setibanya di sekolah, aku langsung menuju ruang organisasi. Tama datang lebih dulu. Dia sudah duduk di depan komputer mengetik sesuatu.
            “Tama.” Sapaku lembut. Lalu menarik kursi, duduk di sampingnya. Dia menoleh lalu tersenyum.
            “Berangkat sama siapa, Fin?” tanyanya. Pandangannya kembali ke komputer. “Sendiri.” Jawabku singkat.
            “Nggak sama kakakmu?” tanya Tama lagi. Aku terhenyak. Dalam diam, batinku kembali perih. Mengingat pertengkaran yang pecah tadi malam, dan keretakkan hubunganku dengan Mas Vano. Aku pun memilih menggeleng lemah daripada menjawab dengan suara.
            Suasana kembali hening.
            “Nih, lanjutin! Tinggal ngeralat bagian ini sama ini. Aku mau ngeberesin yang di meja.” Perintah Tama. Aku langsung melaksanakan perintahnya. Cuma ngetik? Kecil!
            Suasana hening lagi. Aku sibuk mengerjakan tugasku, dan Tama sibuk mengerjakan tugasnya. Saat ini, aku lebih memilih diam. Batinku masih terkoyak dengan peristiwa tak mengenakkan tentang perkara kakak Tama.
            Pikiranku berkecamuk. Bingung, bimbang, resah. Mas Fian dan Mas Vano mulai tak percaya denganku. Suasana rumah benar-benar tak nyaman. Dengan siapa lagi aku berinteraksi di rumah jika bukan dengan mereka? Ya Tuhan..
            Aku benar-benar merasa dilema. Aku tak mungkin menceritakan hal ini secara gamblang kepada Tama. Tapi, jika hal ini kupendam sendiri, semakin menyesakkan di dada. Ya Tuhan.. aku harus bagaimana? Aku tak mungkin hanya mengandalkan do’a. Harus ada usaha yang kulakukan. Tapi apa? Pikiranku benar-benar buntu.
            “Udah selesai, Fin?” Tama mengejutkanku. “Oh eh.. udah. Ada yang lain?” tanyaku balik. Tama menggeleng.
            “Di rumah ada acara, Fin?” tanya Tama. Mengingat rumah, aku serasa ingin menangis. Aku menggeleng. “Jalan-jalan, yuk. Sekali-kali refreshing.” Lanjut Tama. Aku terlongo. Apa ini bukan mimpi? Syukurlah. Setidaknya ada yang menghiburku di sela masalahku dengan Mas Vano.
***
            Pusat kota masih ramai. Bahkan, menuju malam, semakin ramai. Aku dan Tama sudah menghabiskan belasan topik sambil mengelilingi pedagang yang mangkal di pinggir jalan. Kemudian menertawakan diri sendiri karena tingkah laku gila yang mengundang pandangan aneh dari orang lain.
            Tanpa sengaja aku menubruk seseorang. Ketika aku mendongak, ternyata itu Mas Fian dengan.... Renata! Aku terkesiap. Renata berubah gelisah.
            “Mas Fian....” ucapku lirih. Pandanganku beralih ke Renata. “Hei! Jangan sekali-kali kamu menyakiti Mas Fian juga Mas Vano! Kamu harus memutuskan hubungan dengan keduanya! Aku pun tak sudi punya kakak ipar seperti kamu!” sentakku geram. Mas Fian tampak sangat terkejut.
            “Jaga bicaramu! Apa buktinya aku pacaran sama Vano, heh?” tantang Renata. Dia masih berusaha menutupi kebohongannya. Walaupun sudah keluar keringat dingin tanda dia gugup.
            “Ohh.. butuh bukti? Aku ada saksi. Di restoran dulu, kamu lagi sama Mas Vano, ya kan... Tam...?” aku lupa. Benar-benar lupa jika Renata adalah kakak kandung Tama, sedangkan Tama sekarang berada di sampingku. Dia nampak lebih terkejut daripada Mas Fian.
            “Apa? Kenapa Tama? Mentang-mentang pacarnya Tama, jangan seenaknya kamu sama aku! Udah yuk. Kita pergi.” Balas Renata dengan ketus, lalu menggandeng tangan Mas Fian. Renata merasa menang! Aku mendesis geram. Namun, itu tak berlangsung lama. Tama menatapku tajam kemudian pergi meninggalkanku.
            “Tama!!” panggilku. Namun, sia-sia. Tama tak menengok apalagi kembali. Aku merasa jadi orang paling bodoh sedunia! Mulutku terlalu lancang berbicara. Emosiku seluruhnya meluap, tanpa mampu kubatasi. ”Tama, maafkan aku.” Bisikku lirih. Yang dengan bodohnya berharap, Tama dapat mendengar bisikkanku.
            Aku pulang dengan langkah gontai.
            Di kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Mengapa masalahnya kian rumit? Aku sudah merencanakan hal yang lebih rapih daripada ini. Kejadian tadi benar-benar tak terduga dan kusangka. Aku kelepasan bicara. Di depan orang yang semakin lama kusayangi! Betapa kecewanya Tama, terhadapku. Pasti dia menganggap aku telah menuduh kakaknya.
            Dari sudut yang tak bisa kulihat, Mas Fian memandangku dalam-dalam.
***
            Aku masih memandang layar komputer dalam ruang organisasi. Data yang kemarin sore telah kuralat bersama Tama, sudah tercetak. Power Point untuk rapat hari ini juga telah siap. Bel pun sudah berdentang 5 menit yang lalu. Bahkan, beberapa anggota dan pengurus organisasi sudah stand by. Tinggal menunggu Tama. Padahal, hampir tidak pernah dia terlambat. Biasanya, dia membuka ruang rapat organisasi.
            Setengah jam kemudian, rapat baru dimulai. Tama baru datang. Begitupun dengan wajah dingin. Aku menghela napas pelan. Ada apa dengan dia?
            Usai rapat, aku menemuinya untuk meminta tanda tangan persetujuan laporan keuangan dari bendahara.
            “Tama, tanda tangan, nih.” Kataku dengan suara ceria sambil menyodorkan laporan berbentuk buku.
            “Taruh aja di mejaku.” Balasnya dingin. Aku tertegun. Ke mana Tama yang ramah? Dia berubah lagikah? Karena kemarinkah? Maafkan aku, Tama.
            “Oh, iya, Tam. Tadi ke mana? Kok tumben terlambat.” Aku masih berusaha menghilangkan prasangka-prasangka yang sempat muncul. “Bukan urusanmu!” jawab Tama singkat lalu meninggalkanku. Ternyata Tama benar-benar marah. Tama benar-benar acuh! Diam-diam ada rasa sakit tak terperi hadir.
***
            Malam ini mataku belum mampu terpejam. Masih terjaga dengan rencana-rencanaku yang telah matang, berubah menjadi mentah karena kejadian tak sengaja kemarin. Seharusnya aku menolak jalan-jalan dengan Tama. Seharusnya aku ingat jika Tama di sampingku. Seharusnya aku tidak tersulut emosi saat melihat Renata. Seharusnya nasi belum menjadi bubur. Seharusnya.
            Nafasku kembali berhembus. Terdengar sangat berat. Ya Tuhan... seberat inikah ujian yang Kau beri padaku?
            Aku masih menatap nanar langit-langit kamar. Sekarang, tanganku sibuk mengusap air mata yang dengan mulus merembes menuju pipiku. Tanganku yang lainnya sibuk mencari tisu untuk menghentikan laju ingus dari hidungku.
            Pintu kamar terketuk perlahan. Tok tok tok...
            Pintu kamar terbuka pelan.
            “Fin...” lirih pemilik suara itu memasuki kamarku.
            “Kamu kenapa nangis? Gara-gara peristiswa kemarin ya?” pemilik suara itu membelai rambutku lembut. Aku melirik sekilas. Aku ingin berada di pelukmu, Mas. Aku ingin menangis di sana sepuasku. Tapi, bagaimana mungkin? Aku tak bisa membohongiku diriku sendiri untuk tidak marah padamu, karena ketidak tegasanmu.
            Lintasan air mata mulai mengering. Namun, suara isak tangisku masih terdengar lirih. Sangat lirih.
            “Sepertinya kamu benar,” spontan aku menoleh. Mas Fian tersenyum singkat. “Sudah ada temanku yang melarang aku berhubungan Renata. Banyak yang bilang Renata bukan wanita baik-baik. Tapi, saat itu aku terlalu tuli untuk mendengar kicauan mereka. Aku terlalu keras kepala. Hingga kamu bilang bagaimana Renata sebenarnya, aku mulai goyah. Ditambah, kamu kemarin marah-marah, kepercayaanku pada Renata terkikis.” Mas Fian bercerita dengan nada datar namun seperti melukai telinga dan hatiku. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin kamu percaya padaku, Mas? Apakah aku tidak terlihat di mata kamu? Apakah suaraku hanyut ditelan angin yang berhembus lembut?
            Air mataku mengalir perlahan.
            “Fin, aku tahu. Dari pertama kamu bertemu Renata, aku sudah melihat kebingungan dalam tingkahmu. Mungkin, kamu nggak setuju jika aku berhubungan dengan dia. Tapi, lagi-lagi Renata berhasil ngeyakinin aku, kalau kamu sebenarnya senang dengan hubunganku ini.” Mas Fian menghela nafas. “Aku juga tahu, diam-diam kamu menyimpan perasaan dengan adiknya Renata, kan?” Mas Fian menatapku. Aku memilih diam seribu bahasa.
            “Aku tahu, kamu menahan diri untuk memberi tahuku dan memberi tahu Vano dengan cara gamblang. Karena kamu pasti sudah membayangkan bagaimana reaksi kami. Kamu juga menahan diri untuk tidak melukai perasaan Tama, karena kamu pasti sudah mengira, Tama bakalan marah sama kamu jika kamu memberitahu sikap Renata kepadanya. Dia nggak bakal terima kalau kakaknya dibilang bukan perempuan baik-baik.”
            Air mataku kian deras.
            “Mas Fian tahu, kamu dilema. Maafin, Mas Fian ya,” Aku memeluk Mas Fian dengan tangis yang semakin tak terbendung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini