Jika
Jogja enggan mengenang pertemuan pertama kita, aku mohon izin untuk
mengingat bahwa kita berdua pernah
bertatap muka di bawah temaram langit Jogja. Dengan senyum tipismu dan senyum
lebarku kala itu, pertemuan pertama kita tak akan mungkin aku lupa. Terlalu
berharga untuk dimasukkan tempat sampah. Jadi, bukankah baiknya aku simpan
rapat-rapat?
Perjalanan ke Jogja harusnya biasa
saja, dan tak meninggalkan kenangan apa-apa. Tapi, karena waktu itu ada kamu di
sana, semua terasa berbeda. Aku jadi mengingat setiap detail kota berjuluk
‘Istimewa’ itu. Aku jadi tahu dimana
Ambarukmo Plaza yang sebelum bertemu denganmu, meskipun puluhan kali aku masuk
ke sana atau sekedar melintas di jalan depan mall itu, aku tidak peduli.
Tapi, sudah kubilang, kan, kalau sekarang aku lebih tahu? Lebih memperhatikan, tepatnya.
Jika aku memasuki kawasan Jogja, aku akan menempelkan wajahku di jendela mobil
rapat-rapat, lalu mengamati bangunan-bangunan di pinggir jalan, dan merekam itu
semua. Mengingat kamu pula.
Jika cerita orang-orang tentang
Jogja adalah tentang cinta pertama mereka, tentang patah hati mereka lalu
bertemu orang baru di Jogja, tidak denganku. Pun angkringan yang selalu jadi
latar tempat setiap ftv di layar kaca tentang Jogja, juga bertabrakan tanpa
sengaja kemudian jatuh cinta. Tapi, itu tidak terjadi denganku. Aku tak
bertabrakan denganmu di depan angkringan atau Ambarukmo Plaza. Aku bertemu
denganmu, di salah satu tempat yang selalu luput dari perhatian orang-orang
pecinta romansa. Di lapangan bola.
Siapa sangka, di tengah sibuk
mencari ide cerita, kamu datang dan langsung jadi tokoh utama? Berlatar tempat
lapangan bola yang sering dijadikan timnas sepak bola latihan di Jogja, dan
kamu adalah pemeran penting dalam cerita. Langit temaram Jogja, jadi saksi
bagaimana ketika mataku tertuju padamu, dan aku langsung mengunci pandangan
kala itu. Mengikuti gerak tubuhmu, mengikuti kemanapun kamu berlari. Di tengah
degup jantung yang menderu-deru. Di tengah jutaan syukur karena menemukanmu. Bagaimana bisa,
yang namanya tidak sengaja dan membahagiakan, lantas aku biasa saja?
Apa yang akan kamu lakukan jika
sepanjang malam kamu berdoa dan berharap sesuatu, kemudian harapan itu sempat
padam, lalu Tuhan justru memberi kejutan yang tak terkira? Ketika aku tengah
patah hati sepatah-patahnya kala itu karena suatu urusan, hanya tur nusantara
timnas u19, juga secuil harapan bisa bertemu mereka yang bisa menghiburku. Sama
sekali tak terpikir olehku untuk bertemu denganmu. Sudah kuceritakan
berulang-ulang, kan, kronologi kejadiannya? Maafkan, jika itu membuat bosan.
Aku tak mampu menahan kebahagiaanku bisa bertatap muka denganmu.
23 Juni 2014 sore di Jogja,
kuceritakan berulang-ulang, dengan bahasa yang kadang berantakan saking aku
terlalu bersemangat menulisnya. Tak terasa, 365 hari berlalu. Sudah berganti
tahun. Dan ambisi pasca bertemu denganmu, pemain nasional, juga perlahan-lahan
hilang. Terima kasih telah menyempatkan diri bertemu usai latihan. Terima
kasih, Mas. Sukses untuk karirmu.
Ini masih
dariku,
Gadis yang
sering menulis surat, tapi tak sampai kepadamu,
Dan
tak kan bisa melupakanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar