Minggu, 14 Juni 2015

Aku Juga Minta Maaf




Maafkan, Mas, bukan maksudku mengabaikanmu. Perlu kamu tahu, aku tidak sekeji itu. Aku tidak seperti yang kamu ceritakan dalam tulisan itu. Mengenai aku berteriak-teriak menyemangati si pemain pertama itu, tak lain karena dia adalah kakak kelasku di sekolah dulu, wakil negara pula. Memang benar, aku mengidolakannya. Tapi sungguh, bukan karena alasan apapun. Hanya karena dia kakak kelasku. Sumpah, itu saja. Bukankah kamu sendiri sudah tahu, kepada siapa hatiku berlabuh?
             
Aku juga minta maaf karena ketika kamu bermain, aku justru meninggalkan gedung. Itu karena aku akan bertemu dengan teman lamaku. Berhubung aku di sini, dan dia juga di sini, kami berjanji untuk bertemu. Kebetulan bertepatan dengan waktumu bertanding. Jadi, maafkan jika saat kamu hampir memenangkan babak pertama, aku justru pergi. Sungguh, aku tak menonton pertandinganmu sampai selesai bukan karena aku membencimu seperti yang kamu ceritakan itu. Aku pergi karena aku ada janji dengan teman lamaku. Maafkan aku, jika kepergianku membuat mood bertandingmu rusak parah dan berantakan.
            
 Sebelumnya, terima kasih telah mempersembahkan kemenangan itu untukku. Aku turut berbangga. Sebagai orang yang kamu beri perhatian lebih, maupun sebagai warga negara Indonesia berjiwa nasionalis tinggi. Siapa yang tak menangis haru ketika Indonesia Raya berkumandang di negeri orang? Siapa yang tak bahagia ketika merah putih berkibar di atas bendera negara lain? Kamu tentu tahu itu. Jadi, sekali lagi, terima kasih atas kemenangan itu. Kamu tenang saja, seluruh bangsa akan memberi penghormatan yang tinggi terhadapmu, tak terkecuali aku.
             
Sayangnya, aku perlu bilang bahwa ini urusan kita berdua. Aku mohon, jangan kamu umbar ke siapa-siapa. Tentang cintamu yang tak kunjung aku balas, aku mohon, jangan sangkut pautkan dengan pemain bulutangkis, teman satu timmu, yang berumur 18 tahun itu. Sungguh, dia tak tahu apa-apa tentang kita berdua. Dia hanya kakak kelasku, dan dia adalah idolaku, tak lebih. Jika kamu bilang aku pilih kasih, hanya mendukung pemain pertama itu, kamu salah. Saat temanmu yang lain tengah bertanding sedangkan aku sibuk dengan gadget, itu tak lain karena aku sedang berkomunikasi dengan teman lamaku yang akan bertemu. Sungguh, bukan karena aku malas menonton mereka bertanding atau semacamnya. Sumpah. Kamu hanya salah paham, Mas.
             
Untuk mengakhiri surat balasan ini, sekali lagi, selamat atas keberhasilanmu membawa medali emas. Terima kasih pula untuk kemenangan yang kamu beri. Dan tentang hubungan kita, mungkin lebih baik kita bicarakan empat mata di tempat biasa. Selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini