Sebelumnya baca: Terima Kasih, Tuan
Pertama-tama,
aku sedikit terkejut membaca surat yang kamu kirim tempo hari. Tak menyangka,
kamu justru membuatkanku tulisan seperti ini. Kupikir, kamu akan membuatkanku
novel bertajuk namaku dan berisi ceritaku. Entahlah, aku tak begitu paham dunia
tulis-menulis. Aku juga tak paham alur pikiranmu, yang ternyata tidak sesimple:
kamu suka aku.
Aku juga berterima kasih kepadamu
karena telah menyukaiku. Aku sudah tahu sejak dulu, memang. Tapi aku memilih
tak berkomentar, dan melihat bagaimana kamu menyikapi perasaan itu. Bukannya
sombong, aku hanya memberitahu bahwa sangat banyak wanita yang mengungkapkan
perasaan mereka padaku. Jadi, aku bisa dengan cepat menduga siapa saja yang
menyukaiku, tak terkecuali kamu. Meskipun kamu diam, aku bisa tahu kamu
menyukaiku, karena diammu jika di depanku terlalu berlebihan. Sedangkan jika
melalui BBM, kamu cerewet minta ampun.
Pernah, satu kali aku membaca
tulisanmu. Aku tak tahu itu tentang siapa, tapi harus kuakui: dua jempol untuk
tulisanmu. Semangat berkarya, ya, Dik!
Seseorang pernah bilang padaku bahwa
kamu sempat menulis tentangku. Aku sendiri belum menemukannya. Karena, ya, aku
hanya membaca satu tulisanmu. Maaf, membaca bukan hobiku sejak dulu. Kalau kamu
ingin aku membacanya, sebaiknya kamu beri tahu aku, tulisan mana saja yang ada
‘aku’-nya. Nanti, jika aku sempat, aku pasti membacanya.
Jika kamu minta bahwa kita tetap
seperti ini, baiklah. Aku juga sudah biasa berpura-pura tidak tahu tentang
perasaan seseorang kepadaku. Tanpa kamu minta pun, aku juga akan seperti ini.
Aku tak akan menjauh, dan kamu juga tak perlu mundur. Kita akan tetap seperti
ini, berjalan beriringan, meskipun pura-pura tetap harus dijalani. Bukankah
kamu nyaman dengan itu? Aku berpura-pura tidak tahu tentang perasaanmu, dan
kamu berpura-pura tidak tahu jika aku tahu hal ini. Ehm, terlalu rumit memang.
Tapi percayalah, aku dan kamu bisa menjalaninya. Bukankah selama ini memang
begitu?
Aku tahu, sakit cinta yang bertepuk
sebelah tangan, karena aku mengalaminya sekarang. Jadi, aku akan menghargai
perasaanmu itu dengan memenuhi permintaanmu: pura-pura. Aku minta maaf, karena
mungkin, surat balasanku ini menyakiti hatimu. Tapi, sumpah, aku tak bermaksud
begitu. Aku hanya memperjelas, bahwa aku sudah tahu tentang perasaanmu. Masalah
balas-membalas perasaan, kupikir, sekarang belum waktunya. Maafkan aku karena
belum mau membahasnya. Percayalah, jika ada kesempatan, kita pasti akan
membicarakannya.
Aku tak pandai menulis, jadi maafkan jika surat
balasan ini tidak panjang. Hanya itu yang ingin aku katakan kepadamu.
Selebihnya, kita bahas nanti-nanti saja. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar