Aku sedikit
picik memang. Menyangkutpautkan dirimu dalam permainanku. Tapi kupikir, itu sah-sah
saja dalam bulutangkis. Tak ada ketentuan motivasi memenangkan pertandingan
adalah untuk apa dan siapa. Jujur, ini bukan untuk diriku atau untuk negara. Tekadku
untuk menang, adalah untukmu. Untuk menarik sedikit saja perhatianmu yang
seluruhnya kamu curahkan kepada teman setimku. Iya, yang sekarang
mengelu-elukan namaku, dan memelukku berkali-kali. Bocah 18 tahun itu, mengucap
terima kasih bertubi-tubi padaku, karena telah menyelamatkan wajah satu regu.
Bukannya sombong, tapi aku yang dipilih pelatih untuk bermain paling akhir,
sebagai penentu kemenangan pula. Sedangkan orang yang kamu puja itu? Bermain
pertama kali, tapi bukan dia pengumpul poin pertama. Sempat menurunkan mental
satu regu, kamu tahu?
Ya, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa
kamu menyukai pemuda itu, bukan karena dia pemain bulutangkis atau yang lain.
Aku tahu, jika hatimu sudah berlabuh pada bocah itu. Seberapa baiknya aku
mendalami peran menjadi dia, kamu tetap tak mau melirikku sedikitpun. Seberapa
lama aku mencari tahu apa pesonanya, aku tetap tidak menemukan apa yang
membuatmu tergila-gila padanya. Kamu masih teguh berjuang mendapatkan dia. Ehm,
mungkin karena aku tidak menjadi diriku sendiri, kamu semakin jauh dan tak
tergapai. Baiklah, mulai sekarang aku akan berhenti menjadi dia, dan tak lagi
berpura-pura menjadi dia.
Jika aku bilang kemenangan ini bukan
untukmu, kemenangan ini untuk orang tuaku dan pelatihku. Mereka adalah orang
yang benar-benar mendukungku sejauh ini. Tapi tak dapat kupungkiri, jika niatku
sejak awal untuk mati-matian agar menang, adalah untuk merebut perhatianmu.
Aneh, kan, aku justru berjuang untuk orang yang sedikitpun tak mau melihatku?
Aku tahu, kamu menonton pertandingan
ini sejak awal bocah 18 tahun itu bermain. Aku tahu, di sudut sana, kamu
berteriak histeris jika bocah pujaanmu itu berhasil mencetak poin. Dan aku
tahu, kamu akan mendesah kecewa jika musuh bocah itu yang mendapat poin. Sayangnya,
kamu lebih banyak mendesah kecewa. Pemain pertama timku, kalah. Bisa
kupastikan, kalau ganda putra yang bermain setelah bocah itu juga kalah, kamu
akan angkat kaki dari sini. Kamu tidak akan merasa sayang telah kehilangan
sekian dolar untuk tiket masuk. Yang kamu pentingkan adalah memberi dukungan
untuk bocah ingusan itu.
Yes, ganda putra pertama timku menang.
Masih mampu menahanmu untuk tidak meninggalkan kursi. Pemain berikutnya,
tunggal putra, bernasib sama seperti pujaanmu. Aku hampir kecewa jika itu
membuatmu bangkit dan keluar dari sini. Tapi ternyata tidak, kamu masih betah
di sini. Berdesakkan dengan puluhan supporter untuk mendukung timku, meski
sesekali perhatianmu tertuju pada gadget di tanganmu.
Ganda putra yang kedua, menang. Skor
imbang 2-2. Dan inilah waktuku untuk membuktikan bahwa aku layak untuk mendapat
secuil perhatianmu. Aku harus menang, agar timku juga menang. Karena ini adalah
kejuaraan bulutangkis beregu, aku harus menang. Medali emas harus di tangan!
Aku bermain. Poin demi poin kudapat.
Sempat unggul jauh, dan itu membuatku percaya diri bahwa kamu akan tetap di
sini. Tapi aku salah. Kamu justru meninggalkan gedung, dan itu membuyarkan
konsentrasiku. Poinku tersusul, dan aku kalah di babak pertama.
Berawal dari sini, aku bertekad,
bahwa aku harus menang. Akan kubuktikan padamu, bahwa akulah yang lebih pantas
untuk kamu beri dukungan. Kamu tak perlu malu meneriakiku, karena aku akan
menang. Tak seperti pujaanmu itu, yang hanya mengeringkan kerongkonganmu.
Percayalah, aku lebih pantas daripada bocah 18 tahun itu. Ya, di sini, aku
memang jahat. Aku membawa namamu, dan nama teman satu timku sendiri. Tapi,
bukankah itu sah-sah saja? Toh, di sini, aku dituntut untuk menang. Tak ada
yang mengharuskanku menang atas nama siapa. Yang jelas, aku menang, reguku
mendapat medali emas, pelatih dan orangtuaku mendapat ucapan selamat, Indonesia
Raya berkumandang, merah putih dikibarkan, dan menpora akan memberi kami bonus
yang melimpah. Bagaimana jika aku kalah? Putarbalikkan saja semua yang telah
kusebut di atas. Jadi, aku harus menang!
Benar! Aku menang, rubber game.
Semua orang menyebutku pahlawan, tak terkecuali bocah 18 tahun itu. Dia,
bersama yang lain, menyemangatiku dari sisi lapangan. Meneriakkan namaku,
optimis bahwa aku pasti bisa. Dan satu detik setelah wasit berkata, “Game!”
teman satu regu langsung memelukku. Berlarian mereka melompati pagar iklan, dan
menyerbuku. Raketku sudah terlempar entah kemana, semua larut pada kemenangan
dan kesenangan.
Ah, Dik, seandainya kamu menyukai
seseorang hanya karena memenangkan pertandingan ini, aku pasti sudah
mendapatkanmu. Sayang sekali, hatimu bagai batu yang susah sekali pecah hanya
karena terbentur. Aku sadar, meskipun kemenangan ini kupersembahkan untukmu,
tak mungkin kamu segera melirikku. Entah butuh waktu lama, entah kamu enggan
dan memilih tak punya waktu. Mungkin, ini untuk yang terakhir, aku
mempertaruhkan harga diri di depanmu. Toh nyatanya, selain kamu memberiku
suntikan semangat tanpa kamu berteriak-teriak, kamu juga cepat sekali
menghamburkan konsentrasi, padahal kamu hanya ongkang kaki.
Tapi, maafkan, jika hatiku masih
ingin kamu lihat, dan kamu hitung sesanggupmu tentang perasaan ini. Yang jelas,
rasa ini jauh lebih banyak dibanding bocah 18 tahun itu yang dengan tega
menganggapmu hanya penggemar. Jadi, jika kamu ingin menghitung perasaanku
padamu, sudah kubilang, sesanggupmu saja, karena terlalu banyak.
Ehm, ngomong-ngomong, aku menang lo. Nggak kamu kasih ucapan selamat atau apa gitu?
Gambar diambil dari http://makassar.tribunnews.com/2015/05/26/6-legenda-bulu-tangkis-cari-atlet-muda-berbakat-sulsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar