Selasa, 30 Juni 2015

Belum Berhasil, Bukan Akhir



Untuk teman-teman yang merasa belum berhasil, janganlah meratapi diri. Percayalah, Tuhan sedang menunggumu untuk bangkit. Tuhan juga sedang memilih malaikat terbaik untuk mendampingi. Bahkan, Tuhan telah merencanakan kejutan jika kamu berhasil berdiri lagi. Ayo, kita berjalan kembali, agar malaikat dan Tuhan tidak terlalu lama menanti.
            
 Tak apa menyesal, tapi jangan lama-lama, apalagi dengan tidak belajar melalui kesalahan yang membuat Tuhan menahan keberhasilan. Mari merenung, apa saja yang telah kita perbuat di masa lalu. Mungkin, dengan ini, Tuhan mengingatkan bahwa ada kesalahan yang pernah kita lakukan, dan belum sempat kita perbaiki akhir-akhir ini. Tuhan sedang menegur, jadi kita tak perlu marah atau menghakimi. Yakinlah, Tuhan lebih tahu tanpa perlu kita ajari.
            
 Jika sudah berdoa setiap hari, namun belum dikabulkan Tuhan, bukan berarti Tuhan abai dan tak mau tahu. Mungkin, Tuhan belum melihat usaha yang gigih. Dan Tuhan, lagi-lagi menunggu untuk usaha yang lebih keras. Kencangkan ikat pinggang, dan bertekad: Usaha harus maksimal! Kalau perlu, dikerjakan mati-matian!
             
Kalau sudah begitu, mana tega Tuhan membiarkan umat-Nya tak kunjung mendapat yang mereka mau?
            
 Begini, anggap saja, Tuhan punya nilai minimal usaha manusia. Jika manusia belum mendapat yang ia mau, berarti belum mencapai nilai minimal. Dan Tuhan yang Maha Baik, tak akan membiarkan umat-Nya sendirian tertatih-tatih menuju angka minimal. Tuhan akan mengirim malaikat terbaik untuk menuntun dan membimbing. Tak ketinggalan, Tuhan juga menitipkan hal-hal yang dibutuhkan manusia untuk mencapai angka minimal itu.
             
Jika angka minimal itu tercapai, bahkan usaha kita telah melebihi nilai minimal yang ditetapkan Tuhan, tak segan-segan, Tuhan akan memberi bonus berlimpah. Bisa saja berupa kenikmatan yang bahkan belum sempat terpikirkan sebelumnya.
             
Misalnya, kita sudah belajar mati-matian untuk menembus 5 besar di kelas. Sayangnya, ketika pembagian raport, hanya mendapat ranking 8—tidak sesuai yang kita harapkan. Nah, bisa saja, karena usaha kita kurang memenuhi batas minimal. Jika berusaha lagi, bukankah tinggal sedikit, nilai itu akan terpenuhi? Siapa tahu justru terlampaui, dan Tuhan memberi kejutan lebih hebat dibanding 5 besar di kelas?
            
 Tak menutup kemungkinan, kita yang ranking 8, yang telah belajar mati-matian, justru lolos seleksi beasiswa ke sekolah favorit dan terbaik. Bagaimana? Kejutan dari Tuhan, jauh lebih besar dibanding tujuan kita, kan?
            
 Nah, teman-temanku, janganlah berputus asa lama-lama. Tuhan sedang mengirim paket untukmu: malaikat terbaik dan hal-hal yang lebih kamu butuhkan. Jika yang kamu tuju belum tercapai, paket dari Tuhan akan membantumu mendapat yang lebih baik. Ayo, kita kembali bangkit, berusaha lagi, agar nilai minimal terpenuhi, bahkan terlampaui. Dan yakinlah, Tuhan yang sedang menunggumu kembali berdiri, sedang merencanakan yang terbaik.
             
Percayalah.

Selasa, 23 Juni 2015

Unforgettable



Jika Jogja enggan mengenang pertemuan pertama kita, aku mohon izin untuk mengingat  bahwa kita berdua pernah bertatap muka di bawah temaram langit Jogja. Dengan senyum tipismu dan senyum lebarku kala itu, pertemuan pertama kita tak akan mungkin aku lupa. Terlalu berharga untuk dimasukkan tempat sampah. Jadi, bukankah baiknya aku simpan rapat-rapat?
             
Perjalanan ke Jogja harusnya biasa saja, dan tak meninggalkan kenangan apa-apa. Tapi, karena waktu itu ada kamu di sana, semua terasa berbeda. Aku jadi mengingat setiap detail kota berjuluk ‘Istimewa’ itu. Aku  jadi tahu dimana Ambarukmo Plaza yang sebelum bertemu denganmu, meskipun puluhan kali aku masuk ke sana atau sekedar melintas di jalan depan mall itu, aku tidak peduli. Tapi, sudah kubilang, kan, kalau sekarang aku lebih tahu? Lebih memperhatikan, tepatnya. Jika aku memasuki kawasan Jogja, aku akan menempelkan wajahku di jendela mobil rapat-rapat, lalu mengamati bangunan-bangunan di pinggir jalan, dan merekam itu semua. Mengingat kamu pula.
             
Jika cerita orang-orang tentang Jogja adalah tentang cinta pertama mereka, tentang patah hati mereka lalu bertemu orang baru di Jogja, tidak denganku. Pun angkringan yang selalu jadi latar tempat setiap ftv di layar kaca tentang Jogja, juga bertabrakan tanpa sengaja kemudian jatuh cinta. Tapi, itu tidak terjadi denganku. Aku tak bertabrakan denganmu di depan angkringan atau Ambarukmo Plaza. Aku bertemu denganmu, di salah satu tempat yang selalu luput dari perhatian orang-orang pecinta romansa. Di lapangan bola.
            
Siapa sangka, di tengah sibuk mencari ide cerita, kamu datang dan langsung jadi tokoh utama? Berlatar tempat lapangan bola yang sering dijadikan timnas sepak bola latihan di Jogja, dan kamu adalah pemeran penting dalam cerita. Langit temaram Jogja, jadi saksi bagaimana ketika mataku tertuju padamu, dan aku langsung mengunci pandangan kala itu. Mengikuti gerak tubuhmu, mengikuti kemanapun kamu berlari. Di tengah degup jantung yang menderu-deru. Di tengah jutaan  syukur karena menemukanmu. Bagaimana bisa, yang namanya tidak sengaja dan membahagiakan, lantas aku biasa saja?
             
Apa yang akan kamu lakukan jika sepanjang malam kamu berdoa dan berharap sesuatu, kemudian harapan itu sempat padam, lalu Tuhan justru memberi kejutan yang tak terkira? Ketika aku tengah patah hati sepatah-patahnya kala itu karena suatu urusan, hanya tur nusantara timnas u19, juga secuil harapan bisa bertemu mereka yang bisa menghiburku. Sama sekali tak terpikir olehku untuk bertemu denganmu. Sudah kuceritakan berulang-ulang, kan, kronologi kejadiannya? Maafkan, jika itu membuat bosan. Aku tak mampu menahan kebahagiaanku bisa bertatap muka denganmu.
            
23 Juni 2014 sore di Jogja, kuceritakan berulang-ulang, dengan bahasa yang kadang berantakan saking aku terlalu bersemangat menulisnya. Tak terasa, 365 hari berlalu. Sudah berganti tahun. Dan ambisi pasca bertemu denganmu, pemain nasional, juga perlahan-lahan hilang. Terima kasih telah menyempatkan diri bertemu usai latihan. Terima kasih, Mas. Sukses untuk karirmu.

Ini masih dariku,

Gadis yang sering menulis surat, tapi tak sampai kepadamu,
 
Dan tak kan bisa melupakanmu.


Rabu, 17 Juni 2015

Satu Tahun



Bagaimana hari pertama bulan Ramadhan tahun ini? Ehm, tentu saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Jamaah tarawih hari pertama membludak sampai keluar masjid, acara-acara televisi melibatkan sponsor dengan kuis hadiah jutaan rupiah, status di media sosial menyambut Ramadhan juga memenuhi timeline. Meriah sekali di hari pertama. Tentu akan meriah lagi di hari terakhir, dan menyusut di pertengahan bulan.
             
Untuk Ramadhanku tahun ini, ehm, masih terngiang jelas satu tahun yang lalu. Tentang Jogja dan pemain muda itu. Ya, tak terasa sudah satu tahun semenjak pertemuanku dengannya. Sedikit-banyak, aku merindukan itu. Pertemuan tak disengaja, menjelang bulan Ramadhan tahun lalu. Sebenarnya, ingin aku ceritakan lagi bagaimana waktu itu, tapi tentu saja akan sangat membosankan, karena rangkaian tulisan yang terhenti di bulan Desember 2014, sudah menggambarkan detail ‘kebetulan’ satu tahun yang lalu.

Sayangnya, Aku Menyayangimu






Gambar diambil via kaskus

Ini salahku
Salahku yang mencintaimu
Kamu, membuat hatiku terantuk, lalu jatuh
Tepat sekali hatiku jatuh
Ke pelukmu

            Ingin aku mengulang hari dimana kita bertemu
            Aku janji, jika aku berada di hari itu, aku akan lebih berhati-hati
            Agar aku tidak tersandung, dan hatiku tidak jatuh
            Agar cinta ini tidak semakin tumbuh

Senin, 15 Juni 2015

Sama-sama, Dik



Sebelumnya baca: Terima Kasih, Tuan

Pertama-tama, aku sedikit terkejut membaca surat yang kamu kirim tempo hari. Tak menyangka, kamu justru membuatkanku tulisan seperti ini. Kupikir, kamu akan membuatkanku novel bertajuk namaku dan berisi ceritaku. Entahlah, aku tak begitu paham dunia tulis-menulis. Aku juga tak paham alur pikiranmu, yang ternyata tidak sesimple: kamu suka aku.

Minggu, 14 Juni 2015

Aku Juga Minta Maaf




Maafkan, Mas, bukan maksudku mengabaikanmu. Perlu kamu tahu, aku tidak sekeji itu. Aku tidak seperti yang kamu ceritakan dalam tulisan itu. Mengenai aku berteriak-teriak menyemangati si pemain pertama itu, tak lain karena dia adalah kakak kelasku di sekolah dulu, wakil negara pula. Memang benar, aku mengidolakannya. Tapi sungguh, bukan karena alasan apapun. Hanya karena dia kakak kelasku. Sumpah, itu saja. Bukankah kamu sendiri sudah tahu, kepada siapa hatiku berlabuh?

Jumat, 12 Juni 2015

Maafkan Aku Karena Ini Untukmu



Aku sedikit picik memang. Menyangkutpautkan dirimu dalam permainanku. Tapi kupikir, itu sah-sah saja dalam bulutangkis. Tak ada ketentuan motivasi memenangkan pertandingan adalah untuk apa dan siapa. Jujur, ini bukan untuk diriku atau untuk negara. Tekadku untuk menang, adalah untukmu. Untuk menarik sedikit saja perhatianmu yang seluruhnya kamu curahkan kepada teman setimku. Iya, yang sekarang mengelu-elukan namaku, dan memelukku berkali-kali. Bocah 18 tahun itu, mengucap terima kasih bertubi-tubi padaku, karena telah menyelamatkan wajah satu regu. Bukannya sombong, tapi aku yang dipilih pelatih untuk bermain paling akhir, sebagai penentu kemenangan pula. Sedangkan orang yang kamu puja itu? Bermain pertama kali, tapi bukan dia pengumpul poin pertama. Sempat menurunkan mental satu regu, kamu tahu?

Kamis, 11 Juni 2015

Terima Kasih, Tuan



Terima kasih untuk tetap peduli. Terima kasih untuk masih perhatian. Terima kasih karena tak mengurangi kebaikan. Terima kasih tak menjauhiku, bahkan berpura-pura tidak tahu, sehingga tak membuatku teramat canggung. Terima kasih untuk tetap di sini, menjadi temanku. Terima kasih untuk tak menyuruhku membunuh perasaan yang lancang ini. Terima kasih, Tuan.
             
Aku beruntung mengenalmu. Dengan segala kebaikanmu, aku tidak menyesal telah jatuh hati padamu. Meskipun, ada wanita lain yang lebih beruntung dariku, yang mampu merenggut perhatianmu. Tak apa, aku cukup bersyukur, karena dengan mengenalmu, aku tahu arti ‘cinta tak perlu memiliki’.
            
 Aku berusaha untuk tahu diri, bahwa aku hanya temanmu. Dari sekian banyak pertemuan, memang aku yang terlalu menutup diri. Berpura-pura diam dan tak melihat kehadiranmu. Aku kelewatan memang, tapi itu tanpa sengaja kulakukan, karena takutku secara refleks memproteksi perasaan yang memenuhi rongga hati ini agar tidak menerobos keluar dan akhirnya sampai padamu. Sampai kepadamu pun tak masalah, yang jadi masalah adalah jika kamu menjauh. Hanya itu.
            
 Jadi, aku mohon, biarlah seperti ini. Tetaplah seperti ini. Aku mohon, biarkan. Aku tahu, kamu sudah tahu mengenai hal ini. Meski aku selalu berharap, jikapun aku sedang promosi blog, dan kebetulan melewati beranda facebookmu, itu tak membuatmu membaca tulisan-tulisanku. Karena, sebelum kamu meminta menuliskan cerita tentangmu pun, kisahmu sudah banyak menghuni blog. Hanya aku samarkan, karena sekali lagi, aku takut jika kamu tahu kemudian menjauh.
             
Aku tahu kamu sudah tahu. Aku tahu kamu hanya berpura-pura tidak tahu. Jadi, terima kasih atas kepura-puraanmu yang membuat hatiku tidak kentara sakitnya. Terima kasih untuk tidak menjauh. Terima kasih untuk tidak mengotak-atik perasaanku. Terima kasih karena cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, tidak kamu pandang sebelah mata. Terima kasih, Tuan.



           
 .......Aku berpura-pura tidak tahu jika kamu sudah tahu, dan kamu berpura-pura tidak tahu dengan perasaanku. Semoga, aku dan kamu tidak lelah dengan kepura-puraan. Tetaplah seperti ini. Berpura-pura, sampai aku dan kamu lupa jika sedang berpura-pura.....

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini