Bagaimana kalau
kita kembali duduk di ayunan kayu?
Membahas apapun yang kita mau.
Menertawakan apa yang dulu kita
tidak tahu.
Mengenang apa saja yang sudah lalu.
Bagaimana jika
ditambah desau angin di sela jeruji kayu?
Bersama
dorongan kakimu, supaya kita tetap terayun.
Bersama tawamu,
tawaku.
Tanganmu yang berada di sandaran
punggung.
Ada aku di sampingmu.
Lalu kamu melihatku dan tersenyum.
Seraya tanganmu turun berganti
merangkul bahuku.
Kita
melanjutkan cerita.
Tentang masa
kecilmu; keluargamu.
Pertemuan
pertama kita.
Awal mula hati
kita saling terjatuh, kemudian bertaruh—siapa yang paling kuat menaklukkan
rindu.
Lagi-lagi kita tertawa.
Diikuti awan yang berderak di langit
biru.
Angin yang sepoi melalui jeruji
kayu.
Dan kakimu yang terus mendorong
lantai supaya kita tetap terayun.
Bagaimana kalau
kita kembali duduk di ayunan kayu?
Membicarakan
apa yang telah lama kamu idamkan.
Dari tentara
berpangkat tamtama sampai jenderal.
Masih dengan
tanganmu merangkul bahuku dan aku bersandar di dadamu.
Sebelum ada dia yang coba
mengeroposkan kenangan kita di ayunan kayu.
Sebelum ada dia yang mengetuk hatimu
dan coba mengusirku dari situ.
Sebelum kamu berpaling dariku.
Lantas kata ‘kita’ berubah jadi
‘aku’ dan ‘kamu’.
Kamu tahu?
Aku tidak mau.
Aku sayang kamu, dan tidak ingin
kehilangan kamu.
Aku ingin menemani kamu sampai berpangkat
perwira tinggi.
Aku ingin kamu tetap merangkul
bahuku dan aku bersandar di dadamu.
Aku ingin tetap bersama kamu, duduk
di ayunan kayu menghabiskan waktu.
Ditemani angin yang bertiup melewati
jeruji kayu.
Diikuti awan yang berderak di langit
biru.
Aku ingin kamu.
Aku mau kamu.
Bagaimana kalau
kita kembali duduk di ayunan kayu?
Membicarakan
apa yang ingin kamu lewatkan bersamaku.
Memusnahkan dia
yang sudah coba menggoyahkanmu dariku.
Karena kamu
harus tahu, hanya aku yang bisa jadi maumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar