Sabtu, 29 Juli 2017

Satu Hari Tanpa Alfa

“Kamu kok nggak ikut ke Jakarta?” mama tiba-tiba bertanya, membuatku seketika tersedak sesendok nasi yang baru masuk mulut.

“Jakarta?”

“Alfa, kan, ke Jakarta. Ikut, apa itu, lomba... apa ya. Nyanyi-nyanyi gitu..” mama mengingat-ingat. Aku terdiam sesaat, menghembuskan nafas panjang. Menatap sarapan di piring yang belum habis separuh—mendadak menyesal karena mengambil makanan terlalu banyak, sementara rasanya mulai hambar.

“Seleksi paduan suara tingkat nasional, Ma,”

“Oh iya itu!” mama tertawa, menepuk dahi menyadari kelupaannya. “Kamu kok nggak ikut, Lun?” ulang mama, membuatku terbatuk-batuk. Kali ini karena mama memanggilku ‘Lun’, setelah tadi tersedak karena baru tahu kalau Alfa berangkat ke Jakarta hari ini. Serasa agak bego juga karena aku yang merasa dekat dengan Alfa justru tidak tahu kapan dia menuju ibu kota.


“Aruna,” kataku datar, berharap mama meralat panggilannya untukku—juga karena malas menjawab pertanyaan mama.

“Alfa itu sudah kelas tiga, lo. Kok ya masih aktif kegiatan gitu-gitu. Benar-benar...” papa bergabung ke meja makan. Menggeleng-gelengkan kepala, berdecak kagum pada sosok Alfa Yurengga.

“Coba, Lun, kamu. Sedikit dikurangi main-main komputernya, ponselnya. Belajar gitu lo, kayak Alfa,” mama menambahkan, membuatku semakin tidak selera sarapan.

Alfa Yurengga, bisakah kamu...

Ah! Pas kamu di rumah, mama papa ngomongin kamu. Waktu kamu ke Jakarta, tetap saja kamu jadi topik pembicaraan. Bisakah kamu.... bisakah kamu lenyap saja dari muka bumi?

***

Seharusnya pagiku damai karena tidak ada tetangga sebelah yang berteriak-teriak dari lantai satu. Meneriakiku yang ada di lantai dua supaya cepat turun dan berangkat sekolah sama-sama. Tapi nyatanya pagiku harus ternodai karena mama dan papa mulai membanding-bandingkan aku dengan tetangga sebelah yang selalu berhasil memikat dengan segala pesonanya. Yang katanya cerialah, pintarlah, calon orang sukses, begini, begitu. Seolah-olah aku ini hanya sebutir debu yang sama sekali tidak berguna di mata mama dan papa.

Iya, aku tahu. Tetangga sebelahku itu memang bocah yang didesain dengan komplit. Otaknya mumpuni di segala mata pelajaran, membuat dia mendapat gelar si Peringkat Satu karena dari kelas satu SD, nilai raportnya selalu nyaris sempurna. Sekalipun otak kirinya luar biasa, otak kanan Alfa juga turut berkembang dengan baik. Bakat seni Alfa mengalir deras, terlebih bidang olah vokal. Di umur empat tahun dia telah memukau seluruh penduduk kompleks saat tampil di acara tujuh belasan HUT RI, walaupun aku sendiri tidak tahu di mana letak kemerduan suara Alfa waktu itu.
       
     Kadang aku mengagumi betapa ajaibnya Alfa yang juga dibekali kemampuan bicara menakjubkan. Dia bisa berkata-kata dengan cepat tanpa kesleo lidah sedikitpun, membuatku sering tertawa karena membayangkan dia sebagai jelmaan dari akun-akun gosip di instagram.
            
“Heh! Sembarangan!” dia merengut saat aku mengutarakan hal ini, kemudian bersungut-sungut. Aku tertawa.

Tapi kalau boleh jujur, kemampuan bicara Alfa itu bisa jadi radio motivasi pagi-pagi untuk meningkatkan mood menuju sekolah karena sudah pasti mampu memecah tawaku. Mungkin kalau Alfa bukan anak OSIS yang tiap pulang sekolah harus kumpul—apalagi kalau menjelang pelaksanaan program kerja OSIS—kami juga bisa pulang sama-sama, tiap hari, kecuali hari Minggu. Entah apakah aku bisa bosan karena selama ini yang membuatku kadang ingin berjarak dengan Alfa, adalah perkara orang tuaku yang membanding-bandingkan betapa pintarnya Alfa, dan betapa buruknya diriku. Walaupun pagi ini, tanpa adanya Alfa pun aku tetap dibandingkan, rasanya agak aneh karena perjalanankuberangkat sekolah jadi sepi. Tidak ada motivasi pagi-pagi.

Alfa Yurengga, bisakah kamu... bisakah kamu... menemani pagiku, detik ini saja?

***

Tidak terlalu aneh masuk kelas tanpa Alfa Yurengga karena kami bukan teman satu kelas. Tapi yang aneh adalah, ketika aku tiba-tiba disapa oleh ketua ekstrakurikuler basket yang kata Alfa perlu di-‘hati-hati’, karena dia adalah penebar pesona yang ahli.

“Ada apa ya?” aku bertanya, setelah hanya senyum basa-basi—meladeni seorang cowok ganteng yang mendadak menyejajarkan langkah denganku semenjak aku memasuki gerbang sekolah.

“Ini,” dia menyerahkan sesuatu. Aku menghentikan laju kaki, menatap selembar tiket pertandingan di tangannya.

“Gratis?” tanyaku setelah beberapa saat hanya bergeming. Aku kemudian mendongak demi menatap wajahnya. Dia tersenyum percaya diri, mengangguk.

“Buat kamu, gratis, Lun,” dia setengah berbisik, tapi telingaku yang masih sehat, menangkap kata 'Lun', dan merasa sama sekali tidak respect dengan tiket pertandingan itu.

“Namaku Aruna, by the way,” kataku dingin, membuat cengar-cengir di wajahnya seketika lenyap. Dia tahu kalau nada suaraku menegas, pertanda aku tidak sudi lagi meladeni basa-basinya.

“Bukannya Alfa panggil kamu ‘Lun’.. Luna?”

“Hanya Alfa Yurengga yang memanggilku ‘Luna’,”

“Kenapa Alfa memanggilmu dengan sebutan ‘spesial’?” ketua basket memberi tanda kutip dengan kedua tangannya. Wajahnya gantengnya kini sudah berubah mengintimidasi. Senyum basa-basinya menjelma jadi senyum sinis.

“Karena Alfa memang spesial.. bagiku,” aku menjawab, sedikit tersentak juga dengan kalimatku yang sama sekali tidak aku duga akan keluar begitu, tapi tidak mungkin juga aku kelihatan salah pilih kalimat di depan orang yang sudah jelas-jelas hanya ingin tebar pesona pagi-pagi.

“Spesial?” ketua basket tertawa meremehkan. “Kamu pacaran sama si Alfa-gamma-beta itu?” dia mencibir.

“Maaf ya. Yang spesial itu bukan cuma pacaran,” aku tersenyum manis. “Sekali-kali kamu cari teman baik, deh. Jangan cuma cari pacar cantik. Biar tahu bagaimana rasanya jadi orang yang benar-benar ‘spesial’,” aku tersenyum lagi, mengutip kata ‘spesial’ dengan kedua tanganku menirukan gaya si ketua basket. “Oh iya, terima kasih tiketnya. Mungkin ada temanku yang lebih membutuhkan  ini,” aku menyahut selembar tiket yang sejak tadi tergantung di udara. Muka ganteng si ketua basket merah padam, tapi aku tidak peduli. Meninggalkan dia di kelokan tangga, dan aku baru merasakan jantungku berdegup kencang. Lututku bergetar hebat. Tubuhku lemas seketika.

Aku bukan pendebat yang ahli. Tidak seperti Alfa yang memiliki kemampuan bicara menakjubkan, lidahku bisa saja kesleo sampai tergagap-gagap. Apalagi berhadapan dengan cowok tinggi berwajah ganteng yang jadi idola kaum hawa se-antero sekolah—kecuali mantan-mantan dia yang langsung misuh-misuh tiap kali disinggung tentang cowok tadi.
         
   Di tanganku kini tergenggam selembar tiket pertandingan basket entah klub mana versus mana. Sekarang aku baru menyesal lantaran sudah sok angkuh berhadapan dengan ketua basket—sampai sok-sok-an merebut tiket pertandingan biar mirip film-film, padahal bingung mau aku apakan kalau tiket sudah benar-benar ada di tanganku.

            Tubuhku masih belum bertenaga. Demi menopangku supaya tidak semaput, punggungku menyandar tembok. Paru-paruku masih kembang-kempis, berpacu dengan jantungku yang juga mulai kelelahan memompa darah melebihi kecepatan normal.

            Alfa Yurengga, apakah bentuk ke-‘hati-hatian’-ku terhadap si ketua ekstra basket pagi ini salah?

            Bisakah kamu membantuku menghadapi dia yang ganteng tapi suka tebar pesona itu, sekarang juga, Fa?

***

            Berita antara aku dan si ketua basket sudah menyebar. Bocah-bocah se-angkatan mulai menatapku sambil berbisik-bisik tiap aku lewat, bagaikan aku ini makhluk asing yang perlu ditangkap hidup-hidup sehingga butuh diskusi dan pembicaraan yang panjang untuk itu. Perjalananku menuju kantin di jam istirahat rasanya sangat percuma, karena perutku tidak lagi mendendangkan musik keroncong favoritnya setelah dari pagi otakku mau tak mau harus berputar. Nafsu makanku kabur entah ke mana, padahal aku ingin ikut dia—kabur dari pandangan aneh teman-teman se-angkatan hanya karena si penebar pesona sialan tadi pagi.

Aku mengeluh tertahan. Berniat balik kelas daripada di kantin aku hanya jadi tontonan. Belum-belum kalau komplotan geng ekstra basket mendominasi kantin, bisa remuk wajahku nanti. Terutama intimidasi yang dilakukan si ketua, pasti akan lebih sadis karena dia sedang bersama kawan-kawannya.

Dua gadis dari arah kantin, membuatku tersenyum sedikit lega. Salah satu dari mereka adalah temanku di tim paduan suara sekolah. Setidaknya dia tidak sedang membicarakan aku, karena mereka justru menyapaku ketika lewat di depanku.

            "Lhoh, ya iyalah. Kan, si Alfa anak buahnya Mister Kecambah,” baru dua langkah gadis tadi berlalu, kalimat ini tertangkap telingaku. Aku terenyak. Mister Kecambah adalah sebutan untuk guru musikku yang hobi memberi tugas menulis not balok.

"Masa iya, gitu?"gadis yang satu bertanya.

"Sudah jelas, kan. Siapa yang seleksi? Kenapa harus Alfa? Ini tidak adil! Coba kamu tanya tim paduan suara, ada berapa bocah yang tahu soal seleksi-seleksi nasional itu," temanku tim paduan suara sekolah, menjawab sengit. Spontan aku melangkah, mendekati mereka.

            “Eh, sori. Alfa kenapa?” aku memutuskan bergabung ke pembicaraan membuat mereka terlihat terkejut karena tidak menyangka aku mendengar lantas nimbrung begitu saja. “Maaf ya, kalau Alfa memang punya bakat nyanyi sejak lahir. Dia tidak perlu jadi anak buah Mister Kecambah atau siapapun, karena jadi bos pun dia sanggup. Boleh kok kamu sekali-kali berkunjung ke kompleks rumah dia, dan tanyakan siapa Alfa Yurengga. Catat jawaban para penduduk kompleks. Si Alfa ini anak buahnya Mister Kecambah atau memang dia punya bakat menyanyi dari kecil,” aku tersenyum manis. Dua gadis yang sampai menghentikan langkah demi mendengar kalimatku sudah pucat, tapi tidak sanggup buat kabur. “Setahuku, penyanyi terkenal itu tidak perlu merendahkan penyanyi lain,” tutupku seraya menekankan kata ‘penyanyi’ ke temanku tim paduan suara sekolah."Dan Mister Kecambah tahu kok, siapa saja yang berpotensi dan PANTAS diajukan ke tingkat nasional," sekali lagi aku tersenyum manis.

            Kutatap mereka berdua dari atas ke bawah yang sudah mencicit ingin pergi, dan aku merasa jahat karena baru saja mengintimidasi anak orang. Aku kemudian tersenyum, berniat mau balik kelas. Tapi baru satu langkah, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

            “Ah iya, di kompleks rumah kami tidak ada dokter. Jadi jangan tanyakan Alfa adalah anak buah dokter siapa kok sampai menyabet medali emas olimpiade sains seabrek-abrek,” kataku sambil senyum, lalu baru benar-benar pergi.

Selepas berlalu dari hadapan mereka, aku merasakan jantungku berdegup kencang, walaupun yang aku hadapi tidak seperti ketua ekstra basket yang muka gantengnya minta ditinju.

            Alfa Yurengga, sebeginikah dampak yang kamu timbulkan hanya karena kamu tidak ada? Hari ini semua orang membicarakan kamu, merendahkan kamu, padahal kamu sudah melesat setinggi bintang.

Fa, cepat pulang. Ayo ke sekolah sama-sama. Aku butuh kamu untuk mengklarifikasi banyak hal. Termasuk soal kedekatan kita. Kamu tahu, kan, aku bisa tergagap kalau sedang gugup? Lidahku bisa kesleo di banyak kata karena tidak memiliki kemampuan berbicara menakjubkan seperti kamu.


Alfa Yurengga, bisakah kamu... bisakah kamu tidak menghilang sekalipun hanya satu hari?



Petikan percakapan sinting malam-malam dengan Alfa Yurengga.
Doc. Pribadi 1



Doc. Pribadi 2

Doc. Pribadi 3



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini