“Kamu kok nggak ikut ke Jakarta?” mama tiba-tiba bertanya,
membuatku seketika tersedak sesendok nasi yang baru masuk mulut.
“Jakarta?”
“Alfa, kan, ke Jakarta. Ikut, apa itu, lomba... apa ya.
Nyanyi-nyanyi gitu..” mama mengingat-ingat. Aku terdiam sesaat, menghembuskan
nafas panjang. Menatap sarapan di piring yang belum habis separuh—mendadak
menyesal karena mengambil makanan terlalu banyak, sementara rasanya mulai
hambar.
“Seleksi paduan suara tingkat nasional, Ma,”
“Oh iya itu!” mama tertawa, menepuk dahi menyadari kelupaannya.
“Kamu kok nggak ikut, Lun?” ulang mama, membuatku terbatuk-batuk. Kali ini
karena mama memanggilku ‘Lun’, setelah tadi tersedak karena baru tahu kalau
Alfa berangkat ke Jakarta hari ini. Serasa agak bego juga karena aku yang
merasa dekat dengan Alfa justru tidak tahu kapan dia menuju ibu kota.
“Aruna,” kataku datar, berharap mama meralat panggilannya
untukku—juga karena malas menjawab pertanyaan mama.
“Alfa itu sudah kelas tiga, lo. Kok ya masih aktif kegiatan gitu-gitu.
Benar-benar...” papa bergabung ke meja makan. Menggeleng-gelengkan kepala,
berdecak kagum pada sosok Alfa Yurengga.
“Coba, Lun, kamu. Sedikit dikurangi main-main komputernya,
ponselnya. Belajar gitu lo, kayak Alfa,” mama menambahkan, membuatku semakin
tidak selera sarapan.
Alfa Yurengga, bisakah kamu...
Ah! Pas kamu di rumah, mama papa ngomongin kamu. Waktu kamu ke
Jakarta, tetap saja kamu jadi topik pembicaraan. Bisakah kamu.... bisakah kamu
lenyap saja dari muka bumi?
***
Seharusnya pagiku damai karena tidak ada tetangga sebelah yang
berteriak-teriak dari lantai satu. Meneriakiku yang ada di lantai dua supaya
cepat turun dan berangkat sekolah sama-sama. Tapi nyatanya pagiku harus
ternodai karena mama dan papa mulai membanding-bandingkan aku dengan tetangga
sebelah yang selalu berhasil memikat dengan segala pesonanya. Yang katanya
cerialah, pintarlah, calon orang sukses, begini, begitu. Seolah-olah aku ini
hanya sebutir debu yang sama sekali tidak berguna di mata mama dan papa.
Iya, aku tahu. Tetangga sebelahku itu memang bocah yang didesain
dengan komplit. Otaknya mumpuni di segala mata pelajaran, membuat dia mendapat
gelar si Peringkat Satu karena dari kelas satu SD, nilai raportnya selalu
nyaris sempurna. Sekalipun otak kirinya luar biasa, otak kanan Alfa juga turut
berkembang dengan baik. Bakat seni Alfa mengalir deras, terlebih bidang olah
vokal. Di umur empat tahun dia telah memukau seluruh penduduk kompleks saat
tampil di acara tujuh belasan HUT RI, walaupun aku sendiri tidak tahu di mana
letak kemerduan suara Alfa waktu itu.
Kadang aku
mengagumi betapa ajaibnya Alfa yang juga dibekali kemampuan bicara menakjubkan.
Dia bisa berkata-kata dengan cepat tanpa kesleo lidah sedikitpun, membuatku
sering tertawa karena membayangkan dia sebagai jelmaan dari akun-akun gosip di
instagram.
“Heh!
Sembarangan!” dia merengut saat aku mengutarakan hal ini, kemudian
bersungut-sungut. Aku tertawa.
Tapi kalau boleh jujur, kemampuan bicara Alfa itu bisa jadi radio
motivasi pagi-pagi untuk meningkatkan mood menuju sekolah karena sudah
pasti mampu memecah tawaku. Mungkin kalau Alfa bukan anak OSIS yang tiap pulang
sekolah harus kumpul—apalagi kalau menjelang pelaksanaan program kerja
OSIS—kami juga bisa pulang sama-sama, tiap hari, kecuali hari Minggu. Entah
apakah aku bisa bosan karena selama ini yang membuatku kadang ingin berjarak
dengan Alfa, adalah perkara orang tuaku yang membanding-bandingkan betapa
pintarnya Alfa, dan betapa buruknya diriku. Walaupun pagi ini, tanpa adanya
Alfa pun aku tetap dibandingkan, rasanya agak aneh karena perjalanankuberangkat
sekolah jadi sepi. Tidak ada motivasi pagi-pagi.
Alfa Yurengga, bisakah kamu... bisakah kamu... menemani pagiku,
detik ini saja?
***
Tidak terlalu aneh masuk kelas tanpa Alfa Yurengga karena kami
bukan teman satu kelas. Tapi yang aneh adalah, ketika aku tiba-tiba disapa oleh
ketua ekstrakurikuler basket yang kata Alfa perlu di-‘hati-hati’, karena dia
adalah penebar pesona yang ahli.
“Ada apa ya?” aku bertanya, setelah hanya senyum basa-basi—meladeni
seorang cowok ganteng yang mendadak menyejajarkan langkah denganku semenjak aku
memasuki gerbang sekolah.
“Ini,” dia menyerahkan sesuatu. Aku menghentikan laju kaki, menatap
selembar tiket pertandingan di tangannya.
“Gratis?” tanyaku setelah beberapa saat hanya bergeming. Aku
kemudian mendongak demi menatap wajahnya. Dia tersenyum percaya diri,
mengangguk.
“Buat kamu, gratis, Lun,” dia setengah berbisik, tapi telingaku
yang masih sehat, menangkap kata 'Lun', dan merasa sama sekali tidak respect
dengan tiket pertandingan itu.
“Namaku Aruna, by the way,” kataku dingin, membuat cengar-cengir di
wajahnya seketika lenyap. Dia tahu kalau nada suaraku menegas, pertanda aku
tidak sudi lagi meladeni basa-basinya.
“Bukannya Alfa panggil kamu ‘Lun’.. Luna?”
“Hanya Alfa Yurengga yang memanggilku ‘Luna’,”
“Kenapa Alfa memanggilmu dengan sebutan ‘spesial’?” ketua basket
memberi tanda kutip dengan kedua tangannya. Wajahnya gantengnya kini sudah
berubah mengintimidasi. Senyum basa-basinya menjelma jadi senyum sinis.
“Karena Alfa memang spesial.. bagiku,” aku menjawab, sedikit
tersentak juga dengan kalimatku yang sama sekali tidak aku duga akan keluar
begitu, tapi tidak mungkin juga aku kelihatan salah pilih kalimat di depan
orang yang sudah jelas-jelas hanya ingin tebar pesona pagi-pagi.
“Spesial?” ketua basket tertawa meremehkan. “Kamu pacaran sama si
Alfa-gamma-beta itu?” dia mencibir.
“Maaf ya. Yang spesial itu bukan cuma pacaran,” aku tersenyum
manis. “Sekali-kali kamu cari teman baik, deh. Jangan cuma cari pacar cantik.
Biar tahu bagaimana rasanya jadi orang yang benar-benar ‘spesial’,” aku
tersenyum lagi, mengutip kata ‘spesial’ dengan kedua tanganku menirukan gaya si
ketua basket. “Oh iya, terima kasih tiketnya. Mungkin ada temanku yang lebih
membutuhkan ini,” aku menyahut selembar
tiket yang sejak tadi tergantung di udara. Muka ganteng si ketua basket merah
padam, tapi aku tidak peduli. Meninggalkan dia di kelokan tangga, dan aku baru
merasakan jantungku berdegup kencang. Lututku bergetar hebat. Tubuhku lemas
seketika.
Aku bukan pendebat yang ahli. Tidak seperti Alfa yang memiliki
kemampuan bicara menakjubkan, lidahku bisa saja kesleo sampai tergagap-gagap.
Apalagi berhadapan dengan cowok tinggi berwajah ganteng yang jadi idola kaum
hawa se-antero sekolah—kecuali mantan-mantan dia yang langsung misuh-misuh tiap
kali disinggung tentang cowok tadi.
Di tanganku kini
tergenggam selembar tiket pertandingan basket entah klub mana versus mana.
Sekarang aku baru menyesal lantaran sudah sok angkuh berhadapan dengan ketua
basket—sampai sok-sok-an merebut tiket pertandingan biar mirip film-film,
padahal bingung mau aku apakan kalau tiket sudah benar-benar ada di tanganku.
Tubuhku masih
belum bertenaga. Demi menopangku supaya tidak semaput, punggungku menyandar
tembok. Paru-paruku masih kembang-kempis, berpacu dengan jantungku yang juga
mulai kelelahan memompa darah melebihi kecepatan normal.
Alfa Yurengga,
apakah bentuk ke-‘hati-hatian’-ku terhadap si ketua ekstra basket pagi ini
salah?
Bisakah kamu
membantuku menghadapi dia yang ganteng tapi suka tebar pesona itu, sekarang
juga, Fa?
***
Berita antara aku
dan si ketua basket sudah menyebar. Bocah-bocah se-angkatan mulai menatapku
sambil berbisik-bisik tiap aku lewat, bagaikan aku ini makhluk asing yang perlu
ditangkap hidup-hidup sehingga butuh diskusi dan pembicaraan yang panjang untuk
itu. Perjalananku menuju kantin di jam istirahat rasanya sangat percuma, karena
perutku tidak lagi mendendangkan musik keroncong favoritnya setelah dari pagi
otakku mau tak mau harus berputar. Nafsu makanku kabur entah ke mana, padahal
aku ingin ikut dia—kabur dari pandangan aneh teman-teman se-angkatan hanya
karena si penebar pesona sialan tadi pagi.
Aku mengeluh tertahan. Berniat balik kelas daripada di kantin aku
hanya jadi tontonan. Belum-belum kalau komplotan geng ekstra basket mendominasi
kantin, bisa remuk wajahku nanti. Terutama intimidasi yang dilakukan si ketua,
pasti akan lebih sadis karena dia sedang bersama kawan-kawannya.
Dua gadis dari arah kantin, membuatku tersenyum sedikit lega. Salah
satu dari mereka adalah temanku di tim paduan suara sekolah. Setidaknya dia
tidak sedang membicarakan aku, karena mereka justru menyapaku ketika lewat di
depanku.
"Lhoh, ya
iyalah. Kan, si Alfa anak buahnya Mister Kecambah,” baru dua langkah gadis tadi
berlalu, kalimat ini tertangkap telingaku. Aku terenyak. Mister Kecambah adalah
sebutan untuk guru musikku yang hobi memberi tugas menulis not balok.
"Masa iya, gitu?"gadis yang satu bertanya.
"Sudah jelas, kan. Siapa yang seleksi? Kenapa harus Alfa? Ini
tidak adil! Coba kamu tanya tim paduan suara, ada berapa bocah yang tahu soal
seleksi-seleksi nasional itu," temanku tim paduan suara sekolah, menjawab
sengit. Spontan aku melangkah, mendekati mereka.
“Eh, sori. Alfa
kenapa?” aku memutuskan bergabung ke pembicaraan membuat mereka terlihat
terkejut karena tidak menyangka aku mendengar lantas nimbrung begitu saja.
“Maaf ya, kalau Alfa memang punya bakat nyanyi sejak lahir. Dia tidak perlu
jadi anak buah Mister Kecambah atau siapapun, karena jadi bos pun dia sanggup. Boleh
kok kamu sekali-kali berkunjung ke kompleks rumah dia, dan tanyakan siapa Alfa
Yurengga. Catat jawaban para penduduk kompleks. Si Alfa ini anak buahnya Mister
Kecambah atau memang dia punya bakat menyanyi dari kecil,” aku tersenyum manis.
Dua gadis yang sampai menghentikan langkah demi mendengar kalimatku sudah
pucat, tapi tidak sanggup buat kabur. “Setahuku, penyanyi terkenal itu tidak
perlu merendahkan penyanyi lain,” tutupku seraya menekankan kata ‘penyanyi’ ke
temanku tim paduan suara sekolah."Dan Mister Kecambah tahu kok, siapa saja
yang berpotensi dan PANTAS diajukan ke tingkat nasional," sekali lagi aku
tersenyum manis.
Kutatap mereka
berdua dari atas ke bawah yang sudah mencicit ingin pergi, dan aku merasa jahat
karena baru saja mengintimidasi anak orang. Aku kemudian tersenyum, berniat mau
balik kelas. Tapi baru satu langkah, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Ah iya, di
kompleks rumah kami tidak ada dokter. Jadi jangan tanyakan Alfa adalah anak
buah dokter siapa kok sampai menyabet medali emas olimpiade sains
seabrek-abrek,” kataku sambil senyum, lalu baru benar-benar pergi.
Selepas berlalu dari hadapan mereka, aku merasakan jantungku
berdegup kencang, walaupun yang aku hadapi tidak seperti ketua ekstra basket
yang muka gantengnya minta ditinju.
Alfa Yurengga,
sebeginikah dampak yang kamu timbulkan hanya karena kamu tidak ada? Hari ini
semua orang membicarakan kamu, merendahkan kamu, padahal kamu sudah melesat
setinggi bintang.
Fa, cepat pulang. Ayo ke sekolah sama-sama. Aku butuh kamu untuk mengklarifikasi
banyak hal. Termasuk soal kedekatan kita. Kamu tahu, kan, aku bisa tergagap
kalau sedang gugup? Lidahku bisa kesleo di banyak kata karena tidak memiliki
kemampuan berbicara menakjubkan seperti kamu.
Alfa Yurengga, bisakah kamu... bisakah kamu tidak menghilang
sekalipun hanya satu hari?
Doc. Pribadi 1 |
Doc. Pribadi 2 Doc. Pribadi 3 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar