Minggu, 03 September 2017

@arunayosh_ : Ada yang Rindu Alfa Yurengga?

Ada yang rindu Alfa Yurengga?
            
Kupasang pertanyaan itu di seluruh akun sosial media milikku, berharap tidak hanya aku yang hampir sekarat karena merasa kehilangan bocah itu. Entah mana yang lebih baik. Benar-benar kenal Alfa Yurengga, tapi tidak bisa ngobrol seperti biasa dengan dia, atau yang mengenal Alfa hanya dari cerita-cerita orang lain (baca: penulis) sehingga tidak bisa tahu persis seperti apa wajah Alfa Yurengga makanya tidak pernah ngobrol secara sengaja dengan bocah itu.
            
Mungkin memang lebih baik tidak tahu ya? Lalu dengan seenak jidat merongrong si penulis untuk berkisah lagi supaya mereka bisa bertemu kembali dengan Alfa Yurengga.
            
Kemudian yang di sini, yang rumahnya tepat bersebelahan dengan si tokoh utama, yang kamarnya persis berurutan—hanya terpisah halaman samping rumah Alfa dan pagar kayu putih pembatas, cuma bisa bengong nonton kamar Alfa yang baru terang pukul delapan malam, kemudian gelap lagi pukul sembilan. Entah dari mana bocah itu mendapat waktu lagi untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah—karena aku tahu, dia sedang mengalami di mana dua puluh empat jam satu hari terasa kurang.
            
Alfa benar-benar sibuk. Tempo hari aku lihat dia masih latihan nyanyi padahal teman-teman sudah ngacir semenjak detik pertama bel pulang sekolah berbunyi. Dia juga masih sempat kumpul organisasi pemuda pelajar atau entah apalah itu yang membuat dia menjadikan rumah hanya sebagai terminal—mampir sebentar buat tidur kemudian pergi bertualang lagi esok harinya. Sudah pernah cerita, kan, aku, kalau tetangga sebelah rumahku itu punya kegiatan yang membuat orang bisa semaput hanya karena melihat agenda super padatnya?
            
Iya, aku tahu dia baru saja memenangkan lomba—entah lomba nyanyi apa olimpiade sains—aku tidak paham saking seringnya dia memperoleh kejuaraan. Semuanya senang—dari kepala sekolah, guru pembimbing, kawan-kawan seangkatan, termasuk mama dan papa yang tidak henti membicarakan Alfa Yurengga kemudian membanding-bandingkannya dengan aku yang dari dulu memang tidak akan pernah bisa menyamai prestasi tetanggaku satu itu. Aku sebenarnya ikut bangga dengan apa yang berhasil Alfa raih, tapi tidak dengan hatiku. Dia justru mengutuk piala-piala baru yang terpampang berkilau dari jendela kamar. Karena piala-piala sialan itulah yang membuat aku dan Alfa berjarak entah sampai kapan. Pagi-pagi tidak pernah lagi berangkat sekolah bersama. Dia selalu melesat lebih dulu, mungkin untuk menyelesaikan tugas sekolah yang belum ia tuntaskan.  Pulangnya tidak perlu ditanya lagi siapa yang pulang lebih awal. Malamnya aku sibuk dengan tugas-tugas sekolah yang seperti never ending, sedangkan Alfa Yurengga justru baru masuk ‘kandang’ yang pastinya sudah penat luar biasa.
            
By the way, dia butuh berapa kali melipatgandakan tenaga untuk menangani itu semua, ya?
            
Apakah mengabaikan hari ulang tahun tetangga sendiri termasuk cara menyimpan energi untuk petualangan Alfa yang lebih hebat esok pagi?
            
“Heh, Lun! Lun! Woy! Buka cepet!” suara bisikan seseorang diikuti bebunyian gedebuk dan gemerincing aluminium entah apa membuatku tersentak dan otomatis menghentikan kegiatan menulisku. “Lun, cepat! Keburu mati!” seseorang itu makin mendesak. Aku bangkit dari kursi belajar, menyingkap tirai jendela, dan mendapati Alfa Yurengga memegang sesuatu yang menyala di tangannya. Aku langsung membuka pintu balkon, disambut cengir lebar dan sorot mata mengarah pada apa yang ia pegang. “Tolong, Lun!” dia memberikan sesuatu dari tangannya padaku, minta dibawakan dulu karena dia sibuk melepas belitan tali-tali pengaman flying fox di tubuhnya. Aku masih bengong.
            
“Nah, happy birthday ya!” Alfa tersenyum lebar setelah terbebas dari tali-tali. “Selamat ulang tahun Aruna Yoshioka!” Alfa mengulang, dengan nada yang lebih ceria walaupun dengan volume suara serendah-rendahnya.
            
Jangan bingung ya betapa sintingnya Alfa yang bertamu malam-malam pukul sebelas, ke rumah cewek pula.
            
“Ini... rainbow cake...” tanyaku sambil melirik sepotong kue warna-warni dengan lilin menyala di atasnya.
            
“Kan kamu sukanya rainbow cake. Daripada aku bawa kue tart segede ember kalau yang makan aku sendiri ya percuma dong, Lun,” sahut Alfa dengan kemampuan bicaranya yang mengagumkan itu. “Ngomong-ngomong itu aku nyalain lilin dari rumahku lo. Aku bawa terbang ke sini, wusss.. dan nggak mati. Hebat, kan?” Alfa mengekeh bangga, dan aku hanya tersenyum aneh menanggapi. Bingung ya mau bilang apa kalau dia sudah dengan baik hati sekaligus sedikit songongnya terbang ke sini hanya demi mengantar kue paling enak sedunia untuk tetangga yang sempat merasa kehilangan dia?
            
“Makasih, Fa,” akhirnya aku benar-benar tersenyum tulus. Tersentuh. Selama lima belas tahun aku bertetangga dengan Alfa Yurengga, baru kali ini aku merasa kalau bocah ini bisa menjelma jadi remaja baik-baik. Agak lucu juga sih, ketika aku sedang berpikir kalau kehilangan orang ini, tapi tiba-tiba dia bawa kue dan lilin—seakan-akan bilang kalau sosoknya tidak benar-benar pergi dari kehidupan seorang Aruna Yoshioka.
            
Dalam suasana yang mendadak serba tanggung karena canggung—maklum ya, aku dan Alfa tidak pernah berdialog seserius itu—Alfa bersorak kecil, menyuruhku meniup lilin sambil mengucapkan permohonan. Tapi belum sempat aku memohon supaya Alfa Yurengga tidak sibuk-sibuk lagi seperti akhir-akhir ini, nyala api di atas lilin dipadamkan oleh angin malam. Membuat suasana makin tidak mengenakkan dan Alfa Yurengga justru berinisiatif untuk mencomot rainbow cake yang seharusnya sudah menjadi milikku.
            
“Heh! Ikhlas nggak sih, Fa?” tanyaku sambil menepuk tangan Alfa, membuat tangan Alfa hanya tergantung di udara.
            
Dia kemudian terkekeh lirih, mengusap-usap punggung tangannya.
            
See? Baru berapa menit makhluk ini dikangenin kemudian menjadi menyebalkan lagi?
            
“Ngomong-ngomong, kamu sepertinya harus segera balik ya, Fa. Ini sudah jam berapa, dan kalau ada orang lewat nonton aku sama kamu di sini, bisa-bisa kita nanti bakal tercyduk,
            
“Tunggu sampai jam dua belas, biar aku resmi jadi pengucap terakhir ulang tahunmu,” sahut Alfa membuatku bengong lagi. “Lampu kamarmu matikan aja, Lun. Nggak enak kalau terang-terang begini terus kelihatan ada cowok main ke tempat cewek tengah malam,”
            
“Nah, kan! Makanya, kamu pulang aja!” usirku dengan intonasi galak tapi volume suara serendah-rendahnya. Alfa yang sudah duduk selonjor di balkon kamar, mendongak, menatapku.
            
“Bukannya kamu sedang rindu Alfa Yurengga?” tanyanya telak membuatku kehabisan kata-kata dan pilih menuruti Alfa untuk mematikan lampu kamar. Mengambil tempat di samping Alfa sambil mencomot rainbow cake dan lilin yang dinyalakan lagi kemudian ditiup lagi setelah tadi mati padahal belum make a wish.
            
“Bagaimana kabar ketua basket?” tanya Alfa membuat kue warna-warni yang baru saja aku telan tersangkut di kerongkongan.
            
“Bagaimana kalau kita membahas lomba-lomba kamu yang bejibun itu? Pasti banyak cerita, kan? Siapa tahu memberiku inspirasi untuk melanjutkan kisah-kisah kamu yang sudah ditunggu penggemar-penggemar kamu,”
            
“Oh iya, kapan kamu posting cerita-ceritaku?” Alfa berubah antusias. “Kamu gimana, sih Lun? Nggak kasihan sama penggemar-penggemarku yang sudah pada teriak-teriak minta Alfa Yurengga di-upload lagi? Nggak mikir bagaimana kerinduan mereka terhadap sosok Alfa Yurengga yang ganteng dan mengagumkan ini?” dia mulai merecoki telingaku dengan pertanyaan tidak penting dan sedikit kesongongannya ini. “Aku tahu kamu kangen aku, Lun. Jadi, malam ini kamu harus bersyukur banyak-banyak karena seorang Alfa Yurengga selalu ingat ulang tahun kamu,” lanjutnya membuatku seketika terbahak.
            
Tahun lalu Alfa Yurengga berkali-kali lupa untuk mengucapkan selamat ulang tahun padahal sudah berkoar-koar ingin jadi pengucap pertama. Hingga akhirnya dia jadi pengucap terakhir dan mungkin sejak saat itu, bocah ini memilih jadi pengucap terakhir di hari ulang tahunku.
            
Sebenarnya tidak masalah Alfa Yurengga memberi ucapan selamat pada urutan keberapa. Yang penting dia masih sempat membalas pesanku, atau mendadak meluncur ke balkon kamar seperti malam ini. Menanggalkan seluruh raihan prestasi yang membuatku terlihat bagai sebutir debu di mata mama dan papa jika dibandingkan dia. Dengan begini, aku bisa menikmati seorang Alfa Yurengga sendirian—tidak hanya dari cerita orang yang bisa saja ditambah-tambah imajinasi mereka sendiri. Tidak seperti para penggemar Alfa yang hanya dapat menemui Alfa melalui tulisan ataupun kutipan-kutipan hasil mengolah kata-kata ajaib tetanggaku satu ini.
            
Iya, inilah Alfa Yurengga. Yang duduk di sampingku, mencolek-colek krim rainbow cake. Yang beberapa hari kemarin direnggut oleh berbagai kegiatan menyebalkan tapi menghasilkan deretan piala baru di kamarnya.
            
“Eh, Lun, aku kemarin baca wattpad. Yaaa.. nggak kemarin juga sih. Sudah lama. Tapi ceritanya ngeselin, Lun...” orang ini kembali mengomel—mengutuk si penulis cerita wattpad yang seenak jidat menulis kisah—dengan kemampuan bicaranya yang selalu mengagumkan. Lagi-lagi aku tertawa, tentu saja dengan volume suara serendah-rendahnya. Ekspresi wajah Alfa saat ini nyatanya sempat jadi urutan paling atas dalam daftar hal-hal yang ingin aku jumpai tapi tidak bisa setiap saat aku temukan akhir-akhir ini. Jadi, memang benar. Seharusnya malam ini aku bersyukur banyak-banyak karena seorang Alfa Yurengga masih meluangkan waktu untuk duduk berdua di sini, bertukar cerita, dan membahas apa saja yang selalu mengundang tawa. Bukan perkara ulang tahunku atau  bukan, apalagi soal cerita yang nantinya akan aku unggah di blog. Pada dasarnya aku hanya ingin Alfa Yurengga, tidak perlu kalimat lain untuk menjelaskan bagaimana maksudnya.
           

“Mereka bilang kangennya gimana, Lun?” topik pembicaraan kami sudah loncat lagi kepada para penggemar Alfa yang sudah mendesak si pemilik blog ini agar menceritakan kegiatan Alfa sekarang.
            
“Ada yang bilang kangen, ada juga yang minta ketemu,” jawabku jujur. Beberapa pesan yang masuk ponselku, bilang begitu.
            
“Memang pesonaku ini menakjubkan, Lun. Yakin, kamu nggak akan suka sama aku?” tanyanya sambil menaikkan alis dua kali dengan cepat. Aku mengerutkan kening.
            
“Dih, ogah!” jawabku langsung.
            
“Hei, hati-hati ya, nanti kalau kamu suka ke aku. Aku nggak bakal mau sama kamu,” Alfa menyebikkan bibir.
           
“Tapi kalau Tuhan menakdirkan kita berjodoh, kamu bisa apa, Fa?” tanyaku pelan. Ganti Alfa menatapku sambil mengerutkan kening.
            
“Ya bisa cari istri lagilah. Populasi perempuan di dunia ini dua kali lipatnya laki-laki lo. Jangan sembarangan kamu!”
            
“Dih, sial!” pekikku yang langsung kulanjutkan dengan aksi meninju bahu Alfa sampai bocah itu mendekap kedua tanganku supaya diam.

            
See? Itulah idola kalian, Teman-teman. Yakin, masih ada yang rindu Alfa Yurengga?




Nb:
1. Screenshot ketika Alfa Yurengga sedang sibuk

2. Screenshot ketika Alfa sudah longgar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini