Ada yang rindu
Alfa Yurengga?
Kupasang pertanyaan itu di seluruh
akun sosial media milikku, berharap tidak hanya aku yang hampir sekarat karena
merasa kehilangan bocah itu. Entah mana yang lebih baik. Benar-benar kenal Alfa
Yurengga, tapi tidak bisa ngobrol seperti biasa dengan dia, atau yang mengenal
Alfa hanya dari cerita-cerita orang lain (baca: penulis) sehingga tidak bisa
tahu persis seperti apa wajah Alfa Yurengga makanya tidak pernah ngobrol secara
sengaja dengan bocah itu.
Mungkin memang lebih baik tidak tahu
ya? Lalu dengan seenak jidat merongrong si penulis untuk berkisah lagi supaya
mereka bisa bertemu kembali dengan Alfa Yurengga.
Kemudian yang di sini, yang rumahnya
tepat bersebelahan dengan si tokoh utama, yang kamarnya persis berurutan—hanya
terpisah halaman samping rumah Alfa dan pagar kayu putih pembatas, cuma bisa
bengong nonton kamar Alfa yang baru terang pukul delapan malam, kemudian gelap
lagi pukul sembilan. Entah dari mana bocah itu mendapat waktu lagi untuk
menyelesaikan tugas-tugas sekolah—karena aku tahu, dia sedang mengalami di mana
dua puluh empat jam satu hari terasa kurang.
Alfa benar-benar sibuk. Tempo hari
aku lihat dia masih latihan nyanyi padahal teman-teman sudah ngacir semenjak
detik pertama bel pulang sekolah berbunyi. Dia juga masih sempat kumpul organisasi pemuda pelajar atau entah apalah itu yang membuat
dia menjadikan rumah hanya sebagai terminal—mampir sebentar buat tidur kemudian
pergi bertualang lagi esok harinya. Sudah pernah cerita, kan, aku, kalau
tetangga sebelah rumahku itu punya kegiatan yang membuat orang bisa semaput
hanya karena melihat agenda super padatnya?
Iya, aku tahu dia baru saja
memenangkan lomba—entah lomba nyanyi apa olimpiade sains—aku tidak paham saking
seringnya dia memperoleh kejuaraan. Semuanya senang—dari kepala sekolah, guru
pembimbing, kawan-kawan seangkatan, termasuk mama dan papa yang tidak henti
membicarakan Alfa Yurengga kemudian membanding-bandingkannya dengan aku yang
dari dulu memang tidak akan pernah bisa menyamai prestasi tetanggaku satu itu.
Aku sebenarnya ikut bangga dengan apa yang berhasil Alfa raih, tapi tidak
dengan hatiku. Dia justru mengutuk piala-piala baru yang terpampang berkilau
dari jendela kamar. Karena piala-piala sialan itulah yang membuat aku dan Alfa
berjarak entah sampai kapan. Pagi-pagi tidak pernah lagi berangkat sekolah
bersama. Dia selalu melesat lebih dulu, mungkin untuk menyelesaikan tugas
sekolah yang belum ia tuntaskan.
Pulangnya tidak perlu ditanya lagi siapa yang pulang lebih awal.
Malamnya aku sibuk dengan tugas-tugas sekolah yang seperti never ending,
sedangkan Alfa Yurengga justru baru masuk ‘kandang’ yang pastinya sudah penat
luar biasa.
By the way, dia butuh berapa
kali melipatgandakan tenaga untuk menangani itu semua, ya?
Apakah mengabaikan hari ulang tahun
tetangga sendiri termasuk cara menyimpan energi untuk petualangan Alfa yang
lebih hebat esok pagi?
“Heh, Lun! Lun! Woy! Buka cepet!”
suara bisikan seseorang diikuti bebunyian gedebuk dan gemerincing aluminium
entah apa membuatku tersentak dan otomatis menghentikan kegiatan menulisku.
“Lun, cepat! Keburu mati!” seseorang itu makin mendesak. Aku bangkit dari kursi
belajar, menyingkap tirai jendela, dan mendapati Alfa Yurengga memegang sesuatu
yang menyala di tangannya. Aku langsung membuka pintu balkon, disambut cengir
lebar dan sorot mata mengarah pada apa yang ia pegang. “Tolong, Lun!” dia
memberikan sesuatu dari tangannya padaku, minta dibawakan dulu karena dia sibuk
melepas belitan tali-tali pengaman flying fox di tubuhnya. Aku masih
bengong.
“Nah, happy birthday ya!”
Alfa tersenyum lebar setelah terbebas dari tali-tali. “Selamat ulang tahun
Aruna Yoshioka!” Alfa mengulang, dengan nada yang lebih ceria walaupun dengan
volume suara serendah-rendahnya.
Jangan bingung ya betapa sintingnya
Alfa yang bertamu malam-malam pukul sebelas, ke rumah cewek pula.
“Ini... rainbow cake...”
tanyaku sambil melirik sepotong kue warna-warni dengan lilin menyala di
atasnya.
“Kan kamu sukanya rainbow cake. Daripada
aku bawa kue tart segede ember kalau yang makan aku sendiri ya percuma dong,
Lun,” sahut Alfa dengan kemampuan bicaranya yang mengagumkan itu.
“Ngomong-ngomong itu aku nyalain lilin dari rumahku lo. Aku bawa terbang ke
sini, wusss.. dan nggak mati. Hebat, kan?” Alfa mengekeh bangga, dan aku
hanya tersenyum aneh menanggapi. Bingung ya mau bilang apa kalau dia sudah
dengan baik hati sekaligus sedikit songongnya terbang ke sini hanya demi
mengantar kue paling enak sedunia untuk tetangga yang sempat merasa kehilangan
dia?
“Makasih, Fa,” akhirnya aku
benar-benar tersenyum tulus. Tersentuh. Selama lima belas tahun aku bertetangga
dengan Alfa Yurengga, baru kali ini aku merasa kalau bocah ini bisa menjelma
jadi remaja baik-baik. Agak lucu juga sih, ketika aku sedang berpikir kalau kehilangan
orang ini, tapi tiba-tiba dia bawa kue dan lilin—seakan-akan bilang kalau
sosoknya tidak benar-benar pergi dari kehidupan seorang Aruna Yoshioka.
Dalam suasana yang mendadak serba
tanggung karena canggung—maklum ya, aku dan Alfa tidak pernah berdialog
seserius itu—Alfa bersorak kecil, menyuruhku meniup lilin sambil mengucapkan
permohonan. Tapi belum sempat aku memohon supaya Alfa Yurengga tidak
sibuk-sibuk lagi seperti akhir-akhir ini, nyala api di atas lilin dipadamkan
oleh angin malam. Membuat suasana makin tidak mengenakkan dan Alfa Yurengga
justru berinisiatif untuk mencomot rainbow cake yang seharusnya sudah
menjadi milikku.
“Heh! Ikhlas nggak sih, Fa?” tanyaku
sambil menepuk tangan Alfa, membuat tangan Alfa hanya tergantung di udara.
Dia kemudian terkekeh lirih,
mengusap-usap punggung tangannya.
See? Baru berapa
menit makhluk ini dikangenin kemudian menjadi menyebalkan lagi?
“Ngomong-ngomong, kamu
sepertinya harus segera balik ya, Fa. Ini sudah jam berapa, dan kalau ada orang
lewat nonton aku sama kamu di sini, bisa-bisa kita nanti bakal tercyduk,”
“Tunggu sampai jam dua belas, biar
aku resmi jadi pengucap terakhir ulang tahunmu,” sahut Alfa membuatku bengong
lagi. “Lampu kamarmu matikan aja, Lun. Nggak enak kalau terang-terang begini
terus kelihatan ada cowok main ke tempat cewek tengah malam,”
“Nah, kan! Makanya, kamu pulang
aja!” usirku dengan intonasi galak tapi volume suara serendah-rendahnya. Alfa
yang sudah duduk selonjor di balkon kamar, mendongak, menatapku.
“Bukannya kamu sedang rindu Alfa
Yurengga?” tanyanya telak membuatku kehabisan kata-kata dan pilih menuruti Alfa
untuk mematikan lampu kamar. Mengambil tempat di samping Alfa sambil mencomot rainbow
cake dan lilin yang dinyalakan lagi kemudian ditiup lagi setelah tadi mati
padahal belum make a wish.
“Bagaimana kabar ketua basket?”
tanya Alfa membuat kue warna-warni yang baru saja aku telan tersangkut di
kerongkongan.
“Bagaimana kalau kita membahas
lomba-lomba kamu yang bejibun itu? Pasti banyak cerita, kan? Siapa tahu memberiku
inspirasi untuk melanjutkan kisah-kisah kamu yang sudah ditunggu
penggemar-penggemar kamu,”
“Oh iya, kapan kamu posting cerita-ceritaku?”
Alfa berubah antusias. “Kamu gimana, sih Lun? Nggak kasihan sama
penggemar-penggemarku yang sudah pada teriak-teriak minta Alfa Yurengga di-upload
lagi? Nggak mikir bagaimana kerinduan mereka terhadap sosok Alfa Yurengga
yang ganteng dan mengagumkan ini?” dia mulai merecoki telingaku dengan
pertanyaan tidak penting dan sedikit kesongongannya ini. “Aku tahu kamu kangen
aku, Lun. Jadi, malam ini kamu harus bersyukur banyak-banyak karena seorang
Alfa Yurengga selalu ingat ulang tahun kamu,” lanjutnya membuatku seketika
terbahak.
Tahun lalu Alfa Yurengga
berkali-kali lupa untuk mengucapkan selamat ulang tahun padahal sudah
berkoar-koar ingin jadi pengucap pertama. Hingga akhirnya dia jadi pengucap
terakhir dan mungkin sejak saat itu, bocah ini memilih jadi pengucap terakhir
di hari ulang tahunku.
Sebenarnya tidak masalah Alfa
Yurengga memberi ucapan selamat pada urutan keberapa. Yang penting dia masih
sempat membalas pesanku, atau mendadak meluncur ke balkon kamar seperti malam
ini. Menanggalkan seluruh raihan prestasi yang membuatku terlihat bagai sebutir
debu di mata mama dan papa jika dibandingkan dia. Dengan begini, aku bisa
menikmati seorang Alfa Yurengga sendirian—tidak hanya dari cerita orang yang
bisa saja ditambah-tambah imajinasi mereka sendiri. Tidak seperti para
penggemar Alfa yang hanya dapat menemui Alfa melalui tulisan ataupun
kutipan-kutipan hasil mengolah kata-kata ajaib tetanggaku satu ini.
Iya, inilah Alfa Yurengga. Yang
duduk di sampingku, mencolek-colek krim rainbow cake. Yang beberapa hari
kemarin direnggut oleh berbagai kegiatan menyebalkan tapi menghasilkan deretan
piala baru di kamarnya.
“Eh, Lun, aku kemarin baca wattpad.
Yaaa.. nggak kemarin juga sih. Sudah lama. Tapi ceritanya ngeselin, Lun...”
orang ini kembali mengomel—mengutuk si penulis cerita wattpad yang
seenak jidat menulis kisah—dengan kemampuan bicaranya yang selalu mengagumkan.
Lagi-lagi aku tertawa, tentu saja dengan volume suara serendah-rendahnya.
Ekspresi wajah Alfa saat ini nyatanya sempat jadi urutan paling atas dalam
daftar hal-hal yang ingin aku jumpai tapi tidak bisa setiap saat aku temukan
akhir-akhir ini. Jadi, memang benar. Seharusnya malam ini aku bersyukur
banyak-banyak karena seorang Alfa Yurengga masih meluangkan waktu untuk duduk
berdua di sini, bertukar cerita, dan membahas apa saja yang selalu mengundang
tawa. Bukan perkara ulang tahunku atau
bukan, apalagi soal cerita yang nantinya akan aku unggah di blog. Pada
dasarnya aku hanya ingin Alfa Yurengga, tidak perlu kalimat lain untuk
menjelaskan bagaimana maksudnya.
“Mereka bilang kangennya gimana,
Lun?” topik pembicaraan kami sudah loncat lagi kepada para penggemar Alfa yang
sudah mendesak si pemilik blog ini agar menceritakan kegiatan Alfa sekarang.
“Ada yang bilang kangen, ada juga
yang minta ketemu,” jawabku jujur. Beberapa pesan yang masuk ponselku, bilang
begitu.
“Memang pesonaku ini menakjubkan,
Lun. Yakin, kamu nggak akan suka sama aku?” tanyanya sambil menaikkan alis dua
kali dengan cepat. Aku mengerutkan kening.
“Dih, ogah!” jawabku langsung.
“Hei, hati-hati ya, nanti kalau kamu
suka ke aku. Aku nggak bakal mau sama kamu,” Alfa menyebikkan bibir.
“Tapi kalau Tuhan menakdirkan kita
berjodoh, kamu bisa apa, Fa?” tanyaku pelan. Ganti Alfa menatapku sambil
mengerutkan kening.
“Ya bisa cari istri lagilah.
Populasi perempuan di dunia ini dua kali lipatnya laki-laki lo. Jangan
sembarangan kamu!”
“Dih, sial!” pekikku yang langsung
kulanjutkan dengan aksi meninju bahu Alfa sampai bocah itu mendekap kedua
tanganku supaya diam.
See? Itulah
idola kalian, Teman-teman. Yakin, masih ada yang rindu Alfa Yurengga?
Nb:
1. Screenshot ketika Alfa Yurengga sedang sibuk
2. Screenshot ketika Alfa sudah longgar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar