Aku punya
masalah apa sama kamu?
Punya masalah
apa sama aku?
Sebentar. Boleh diulangi sekali
lagi, Tuan? Jangan-jangan aku salah dengar.
Eh, kamu ini sedang bergurau apa
bagaimana?
Ada masalah apa sama aku?
Tunggu sebentar. Boleh aku tertawa
lebih dulu?
Astaga, bagaimana bisa kamu bertanya
selugas itu? Ternyata orang se-sensitif kamu tidak tahu apa yang
salah dari diri kamu? Tuan tolong, seandainya kamu melucu, katakan sekarang.
Aku pasti tertawa. Tidak perlu diikuti mimik muka sok polosmu itu. Kamu tahu,
itu membuatku makin muak—makin tidak ingin bertemu kamu.
Ada ya,
orang yang berniat ingin tahu apa kesalahannya, justru bertanya di tengah
keramaian?—padahal untuk bicara saja harus teriak-teriak dan perlu diulang.
Banyak.
Dan aku tidak mungkin membahasnya di
antara ingar-bingar waktu itu. Kenapa?
Satu, karena kamu bisa menemuiku
kapanpun kamu mau. Tidak harus malam itu—ketika banyak bocah yang walaupun
tidak memerhatikan kita, tapi suara mereka sangat mengganggu pembicaraan antara
aku dan kamu. Dua, kamu tahu rumahku, dan rumahku selalu terbuka lebar untuk
kamu. Atau kamu bisa memilih tempat lain—yang dapat kita gunakan leluasa untuk
bicara empat mata. Tiga, aku belum bisa percaya lagi sama kamu, makanya tidak
akan semudah itu mengatakan apa yang ada di kepalaku tentang kamu.
Aku hanya ingin kamu serius. Tidak
menganggap apa yang dilakukan orang lain adalah guyonan yang harus kamu tertawakan
kencang-kencang. Aku bisa bercanda kalau memang itu maumu. Tapi aku tidak akan
baik-baik saja, kalau kamu berpura-pura serius, hanya untuk mengelabuiku—lantas
menertawakan aku yang semudah itu kamu bohongi. Maaf, Tuan. Hatiku tidak suka
terluka. Kalau beruntung dia bisa terbuka untuk kesempatan kedua. Tapi kalau
tidak, sesuatu yang membuat dia ragu-ragu, langsung ia buang jauh-jauh. Kamu
sebenarnya termasuk orang beruntung. Sayangnya entah kamu yang tidak tahu, atau
memang sengaja tidak ingin menggunakannya dengan baik. Bagaimana lagi aku bisa
percaya?
Aku akan menganggap kamu serius,
seandainya kamu datang baik-baik menemuiku. Secara khusus ingin membicarakan
apa yang mengganjal di kepalamu tentang sikapku kepadamu akhir-akhir ini.
Tuan, aku pernah ingin mengatakan
apa saja yang di kepalaku, sebagai tanda bahwa kamu termasuk dalam orang-orang
terbaik yang aku miliki. Saat kamu sering main ke rumah—ketika aku merasa bahwa
jeda yang tercipta di sela pembicaraan, tidak perlu buru-buru dipecahkan. Yang
penting kamu ada di sampingku, bagiku cukup. Apalagi keseruanmu yang kerap
membuatku tertawa, bagiku sudah lebih dari cukup.
Tapi, Tuan. Hatiku tidak mungkin tidak
was-was saat kamu pelan-pelan menghindar, mencari teman lain—sama sekali tidak
menyapaku padahal satu hari sebelumnya kita membicarakan banyak hal via whatsapp.
Aku tidak mungkin bertanya ada apa, karena kamu bukan sosok yang gampang
bercerita. Jadi aku rasa percuma. Aku hanya menduga kalau memang ada sesuatu
yang salah dalam diriku sampai kamu memilih menjauh. Aku berusaha berpikir
positif, mungkin memang kamu ada sesuatu yang penting bersama orang lain,
makanya tidak bicara padaku. Termasuk kamu yang tidak pernah lagi main ke
rumah, mungkin ada sesuatu yang lebih mendesak. Aku masih berpikir positif, ketika suatu hari
kamu bilang ingin pergi bersamaku, tapi nyatanya tidak menjelaskan apapun
kepada yang sudah menunggu kamu seharian—bersiap seandainya kamu menjemputku
sewaktu-waktu—meski akhirnya kamu tidak pernah menunjukkan batang hidung di
depanku.
Tidak perlu menghitung berapa kali
kamu melakukannya. Jarimu tidak akan cukup untuk itu.
Sekali lagi, aku bilang kamu termasuk
orang beruntung. Hatiku dengan baiknya
masih terus mendesak kepalaku supaya berpikir positif atas segala ke-TIADA-an penjelasan
yang kamu lakukan. Merancang seribu satu skenario kenapa kamu tidak lagi pernah
datang. Berasumsi kalau bisa jadi aku yang tidak menyadari salahku, padahal itu
sejelas bintang di langit di matamu.
Tapi itu tolol.
Bodoh.
Bego.
Aku terus membela kamu, padahal aku
sudah hampir sekarat gara-gara itu. Tidak terhitung berapa janji dengan orang
yang aku batalkan demi kamu yang katanya ingin pergi bersamaku. Tidak terbilang
pula akhirnya aku hanya bergelung di tempat tidur, dengan ponsel yang terus online—berharap
kamu menghubungi kalau memang terlambat menjemputku.
Tapi, Tuan. Lama-lama hatiku
menyadari bahwa bisa jadi memang kamu ingin lepas. Kepalaku menyiapkan segala
kemungkinan paling buruk. Mendata seluruh kesalahan yang boleh jadi tanpa sadar
aku lakukan selama ini, kemudian aku memutuskan untuk lebih baik mundur. Tidak
lagi berupaya menghubungimu. Tidak berusaha menagih janji-janji yang selalu
kamu lewati. Berharap dengan begitu, hatiku tidak lagi menangis karena merasa dirinya
tidak mampu menemukan dan memerbaiki salahnya.
Lalu, Tuan. Kenapa di tengah
perjalananku menjauh dari kamu, kamu justru memanggilku?
Dan ketika aku mulai berbalik,
berniat ingin kembali, lagi-lagi kamu berpaling.
Ini kita lagi main
kejar-kejaran—maling versus polisi? Atau permainan tikus versus kucing?
Tolong, jangan bilang kamu sedang
ingin bertanding siapa perindu paling hebat. Aku mohon jangan, atau kamu akan
kecewa karena orang-orang pun sudah tahu siapa juaranya.
Tuan, maaf. Tapi aku paling tidak
suka kalau seriusku kamu permainkan. Aku juga tipe orang yang tidak pandai
menyembunyikan perasaan. Sekalipun aku tidak pernah berlisan, tapi orang yang
sensitif macam kamu, pasti dapat menemukan apa yang aneh dalam diriku dengan
mudah. Ya, kan? Walaupun aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuat kamu
merasa bersalah—berharap dengan tidak berbicara denganmu sementara waktu, semua
kesalahan kamu akan aku lupakan tanpa kesulitan. Aku hanya berusaha tahu diri,
makanya aku pilih melangkah pergi.
Sayang sekali, kamu justru memanggil
namaku lagi, kemudian meminta maaf.
Ini kamu lagi ‘pengen’ main
layangan? Tapi karena sudah tujuh belas tahun—malu beli layang-layang plus
benangnya—justru aku yang ingin kamu tarik-ulur sesuka hati?
Tuan, hatiku tidak suka terluka.
Kalau kamu ingin main kejar-kejaran,
jangan libatkan perasaan. Bilang saja padaku, kita akan kejar-kejaran betulan.
Lari-lari di halaman sekolah di jam istirahat. Atau kalau kamu ingin bertanding
siapa perindu paling hebat, aku beri bocoran siapa pemenangnya. Dan kalau ingin
main layang-layang, aku yang kamu anggap ANAK KOTA yang tidak bisa apa-apa ini
juga masih paham bagaimana menerbangkan layangan, walaupun sudah lebih dari
sepuluh tahun yang lalu terakhir aku memainkannya.
Atau, kamu sedang butuh teman—makanya
menghubungi aku?
Hei, jika kamu butuh canda, bukankah
TEMAN-TEMAN yang membuatmu tidak menyapaku sama sekali itu, punya? Seandainya
kamu butuh tawa, bukankah TEMAN-TEMAN yang setiap detik bersamamu itu bisa
mencipta? Kalau kamu butuh tenar, bukankah TEMAN-TEMAN yang menerima kamu
sebagai kelompoknya itu dapat memberinya? Hm? Kenapa kamu masih mencariku?
Bertanya apa masalahmu, kemudian dengan mudahnya meminta maaf, tanpa memikirkan
seberapa sakit hatiku yang tersayat. Semudah itu?
Tuan, maaf. Hati dan otakku tidak
didesain seperti itu.
Aku tidak bisa begitu saja
menceritakan apa yang membuat sikapku akhir-akhir berubah setiap berhadapan
dengan kamu, kalau kamu sendiri tidak serius ingin memerbaikinya.
Maaf. Aku belum bisa
baik-baik saja untuk orang yang masih kesulitan membedakan di mana dia harus
serius atau tertawa—hal itu juga yang membuatku kesulitan menerima maaf semudah
kamu bertanya apa salahmu di tengah situasi yang sangat tidak tepat malam itu.
Maaf, kalau aku jadi ingin tertawa.
Bagaimana? Bisa diulangi?
Aku
punya masalah apa sama kamu?
Kamu lucu, Tuan. Lucu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar