Jumat, 21 Juli 2017

Bukan Butuh Cermin, Tapi Layangan

Aku punya masalah apa sama kamu?

            
Punya masalah apa sama aku?

            Sebentar. Boleh diulangi sekali lagi, Tuan? Jangan-jangan aku salah dengar.

            Eh, kamu ini sedang bergurau apa bagaimana?

            Ada masalah apa sama aku?     

            Tunggu sebentar. Boleh aku tertawa lebih dulu?

            Astaga, bagaimana bisa kamu bertanya selugas itu? Ternyata orang se-sensitif kamu tidak tahu apa yang salah dari diri kamu? Tuan tolong, seandainya kamu melucu, katakan sekarang. Aku pasti tertawa. Tidak perlu diikuti mimik muka sok polosmu itu. Kamu tahu, itu membuatku makin muak—makin tidak ingin bertemu kamu.

Ada ya, orang yang berniat ingin tahu apa kesalahannya, justru bertanya di tengah keramaian?—padahal untuk bicara saja harus teriak-teriak dan perlu diulang.

            Apa salah kamu sama aku?

            Banyak.

            Dan aku tidak mungkin membahasnya di antara ingar-bingar waktu itu. Kenapa?

            Satu, karena kamu bisa menemuiku kapanpun kamu mau. Tidak harus malam itu—ketika banyak bocah yang walaupun tidak memerhatikan kita, tapi suara mereka sangat mengganggu pembicaraan antara aku dan kamu. Dua, kamu tahu rumahku, dan rumahku selalu terbuka lebar untuk kamu. Atau kamu bisa memilih tempat lain—yang dapat kita gunakan leluasa untuk bicara empat mata. Tiga, aku belum bisa percaya lagi sama kamu, makanya tidak akan semudah itu mengatakan apa yang ada di kepalaku tentang kamu.

            Aku hanya ingin kamu serius. Tidak menganggap apa yang dilakukan orang lain adalah guyonan yang harus kamu tertawakan kencang-kencang. Aku bisa bercanda kalau memang itu maumu. Tapi aku tidak akan baik-baik saja, kalau kamu berpura-pura serius, hanya untuk mengelabuiku—lantas menertawakan aku yang semudah itu kamu bohongi. Maaf, Tuan. Hatiku tidak suka terluka. Kalau beruntung dia bisa terbuka untuk kesempatan kedua. Tapi kalau tidak, sesuatu yang membuat dia ragu-ragu, langsung ia buang jauh-jauh. Kamu sebenarnya termasuk orang beruntung. Sayangnya entah kamu yang tidak tahu, atau memang sengaja tidak ingin menggunakannya dengan baik. Bagaimana lagi aku bisa percaya?

            Aku akan menganggap kamu serius, seandainya kamu datang baik-baik menemuiku. Secara khusus ingin membicarakan apa yang mengganjal di kepalamu tentang sikapku kepadamu akhir-akhir ini.

            Tuan, aku pernah ingin mengatakan apa saja yang di kepalaku, sebagai tanda bahwa kamu termasuk dalam orang-orang terbaik yang aku miliki. Saat kamu sering main ke rumah—ketika aku merasa bahwa jeda yang tercipta di sela pembicaraan, tidak perlu buru-buru dipecahkan. Yang penting kamu ada di sampingku, bagiku cukup. Apalagi keseruanmu yang kerap membuatku tertawa, bagiku sudah lebih dari cukup.

            Tapi, Tuan. Hatiku tidak mungkin tidak was-was saat kamu pelan-pelan menghindar, mencari teman lain—sama sekali tidak menyapaku padahal satu hari sebelumnya kita membicarakan banyak hal via whatsapp. Aku tidak mungkin bertanya ada apa, karena kamu bukan sosok yang gampang bercerita. Jadi aku rasa percuma. Aku hanya menduga kalau memang ada sesuatu yang salah dalam diriku sampai kamu memilih menjauh. Aku berusaha berpikir positif, mungkin memang kamu ada sesuatu yang penting bersama orang lain, makanya tidak bicara padaku. Termasuk kamu yang tidak pernah lagi main ke rumah, mungkin ada sesuatu yang lebih mendesak.  Aku masih berpikir positif, ketika suatu hari kamu bilang ingin pergi bersamaku, tapi nyatanya tidak menjelaskan apapun kepada yang sudah menunggu kamu seharian—bersiap seandainya kamu menjemputku sewaktu-waktu—meski akhirnya kamu tidak pernah menunjukkan batang hidung di depanku.

            Tidak perlu menghitung berapa kali kamu melakukannya. Jarimu tidak akan cukup untuk itu.

            Sekali lagi, aku bilang kamu termasuk orang beruntung.  Hatiku dengan baiknya masih terus mendesak kepalaku supaya berpikir positif atas segala ke-TIADA-an penjelasan yang kamu lakukan. Merancang seribu satu skenario kenapa kamu tidak lagi pernah datang. Berasumsi kalau bisa jadi aku yang tidak menyadari salahku, padahal itu sejelas bintang di langit di matamu.

            Tapi itu tolol.

            Bodoh.

            Bego.

            Aku terus membela kamu, padahal aku sudah hampir sekarat gara-gara itu. Tidak terhitung berapa janji dengan orang yang aku batalkan demi kamu yang katanya ingin pergi bersamaku. Tidak terbilang pula akhirnya aku hanya bergelung di tempat tidur, dengan ponsel yang terus online—berharap kamu menghubungi kalau memang terlambat menjemputku.

            Tapi, Tuan. Lama-lama hatiku menyadari bahwa bisa jadi memang kamu ingin lepas. Kepalaku menyiapkan segala kemungkinan paling buruk. Mendata seluruh kesalahan yang boleh jadi tanpa sadar aku lakukan selama ini, kemudian aku memutuskan untuk lebih baik mundur. Tidak lagi berupaya menghubungimu. Tidak berusaha menagih janji-janji yang selalu kamu lewati. Berharap dengan begitu, hatiku tidak lagi menangis karena merasa dirinya tidak mampu menemukan dan memerbaiki salahnya.

            Lalu, Tuan. Kenapa di tengah perjalananku menjauh dari kamu, kamu justru memanggilku?

            Dan ketika aku mulai berbalik, berniat ingin kembali, lagi-lagi kamu berpaling.

            Ini kita lagi main kejar-kejaran—maling versus polisi? Atau permainan tikus versus kucing?

            Tolong, jangan bilang kamu sedang ingin bertanding siapa perindu paling hebat. Aku mohon jangan, atau kamu akan kecewa karena orang-orang pun sudah tahu siapa juaranya.

            Tuan, maaf. Tapi aku paling tidak suka kalau seriusku kamu permainkan. Aku juga tipe orang yang tidak pandai menyembunyikan perasaan. Sekalipun aku tidak pernah berlisan, tapi orang yang sensitif macam kamu, pasti dapat menemukan apa yang aneh dalam diriku dengan mudah. Ya, kan? Walaupun aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuat kamu merasa bersalah—berharap dengan tidak berbicara denganmu sementara waktu, semua kesalahan kamu akan aku lupakan tanpa kesulitan. Aku hanya berusaha tahu diri, makanya aku pilih melangkah pergi.

            Sayang sekali, kamu justru memanggil namaku lagi, kemudian meminta maaf.

            Ini kamu lagi ‘pengen’ main layangan? Tapi karena sudah tujuh belas tahun—malu beli layang-layang plus benangnya—justru aku yang ingin kamu tarik-ulur sesuka hati?

            Tuan, hatiku tidak suka terluka.

            Kalau kamu ingin main kejar-kejaran, jangan libatkan perasaan. Bilang saja padaku, kita akan kejar-kejaran betulan. Lari-lari di halaman sekolah di jam istirahat. Atau kalau kamu ingin bertanding siapa perindu paling hebat, aku beri bocoran siapa pemenangnya. Dan kalau ingin main layang-layang, aku yang kamu anggap ANAK KOTA yang tidak bisa apa-apa ini juga masih paham bagaimana menerbangkan layangan, walaupun sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu terakhir aku memainkannya.

            Atau, kamu sedang butuh teman—makanya menghubungi aku?

            Hei, jika kamu butuh canda, bukankah TEMAN-TEMAN yang membuatmu tidak menyapaku sama sekali itu, punya? Seandainya kamu butuh tawa, bukankah TEMAN-TEMAN yang setiap detik bersamamu itu bisa mencipta? Kalau kamu butuh tenar, bukankah TEMAN-TEMAN yang menerima kamu sebagai kelompoknya itu dapat memberinya? Hm? Kenapa kamu masih mencariku? Bertanya apa masalahmu, kemudian dengan mudahnya meminta maaf, tanpa memikirkan seberapa sakit hatiku yang tersayat. Semudah itu?

            Tuan, maaf. Hati dan otakku tidak didesain seperti itu.

            Aku tidak bisa begitu saja menceritakan apa yang membuat sikapku akhir-akhir berubah setiap berhadapan dengan kamu, kalau kamu sendiri tidak serius ingin memerbaikinya.

            Maaf. Aku belum bisa baik-baik saja untuk orang yang masih kesulitan membedakan di mana dia harus serius atau tertawa—hal itu juga yang membuatku kesulitan menerima maaf semudah kamu bertanya apa salahmu di tengah situasi yang sangat tidak tepat malam itu. Maaf, kalau aku jadi ingin tertawa.

            Bagaimana? Bisa diulangi?
           

Aku punya masalah apa sama kamu?



            Kamu lucu, Tuan. Lucu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini