Mungkin memang seharusnya
aku membelesak ke bumi saat ini juga. Daripada menjawab ribuan variasi
pertanyaan yang intinya tetap sama: kenapa kalian putus?
Ini lo kenapa aku menghindari yang
namanya saling jatuh hati dengan teman sendiri—teman satu komunitas, lebih
tepatnya. Aku takut jika kebersamaan yang telah kami lalui selama ini—saat menjadi anggota komunitas dari junior sampai
memiliki junior—mendadak hancur karena masalah hati. Aku takut, kalau kami menjadi
pemuja hati, dan akhirnya jadi bodoh, dan justru menyelesaikan kisah kami tanpa
sesuai dengan ekspektasi.
Dulu aku selalu suka saat dia hampir
setiap hari datang ke rumah dengan alasan ingin cari teman. Kadang minta film,
kadang download lagu, bahkan pernah dia bawa stick PS padahal dia
main sendiri dengan laptopnya. Dia juga sering ke rumahku malam-malam tanpa
angin tanpa hujan tanpa tujuan, hingga akhirnya aku cuma nyanyi-nyanyi di teras
rumah diiringi petikan gitar dia. Di luar itu, selama kami berada di pertemuan
komunitas, dia selalu duduk di dekatku lantas membisikiku sesuatu yang
ujung-ujungnya memecah tawaku. Dia sering membeli minuman dua botol, satu
untuknya satu untukku. Dia pernah menemaniku belanja ke supermarket sampai
dikira kami ini adalah pasangan yang menikah muda karena aku sudah seperti
ibu-ibu rempong yang memilih barang belanjaan, sementara dia lebih mirip suami
yang jadi petugas pendorong troli dan pembawa barang belanjaan yang
terkantuk-kantuk menunggui istrinya selesai memilih barang.
Teman-teman komunitas mengira kami
pacaran, tapi yang aku tahu, akulah yang jatuh hati sendirian—sama seperti
kisah-kisah asmaraku sebelumnya, sampai suatu hari dia menyatakan perasaan, dan
baru pertama kali itulah aku tidak lagi merasakan pahitnya cinta bertepuk
sebelah tangan.
Jangan tanya bagaimana bahagiaku
saat resmi menyandang status sebagai kekasihnya. Lantas dengan pongahnya bilang
bahwa aku siap menaklukkan berbagai perubahan mood-nya yang mendadak,
karena aku sudah tahu bahwa aku termasuk dalam prioritasnya. Aku tahu aku sudah
punya hak untuk bilang kangen setiap saat, dan juga berhak untuk dirindu tiap
waktu.
Saking bahagianya, aku rela berpikir
dua kali lebih keras kalau ngambeknya sedang kambuh. Aku mengalah untuk meredam
marahnya, supaya dia tidak pergi. Supaya hubungan kami ini tetap bertahan. Aku lupa untuk mengusahakan semoga
aku dan dia tetap baik-baik saja. Aku lupa bahwa kami harusnya saling
menggenggam, tidak hanya bergandengan. Aku lupa kalau aku butuh dimengerti,
bukan hanya disayangi.
Lama-lama aku lelah mengartikan
diamnya. Aku letih membongkar kode-kode yang ada dalam kepalanya bagaikan
labirin. Sampai aku berpikir, apakah laki-laki yang aku sayangi begitu rupa ini
benar-benar menyayangiku. Aku jadi takut apakah perasaan saling suka di antara
kami waktu itu terlalu cepat hadir. Aku mendadak ragu apakah jatuh hati yang ia
rasakan hanyalah semu dan sebentar lagi habis. Aku tidak yakin lagi apakah
status hubungan menjadi penting kalau lama-lama bersama dia justru menggerogoti
kewarasanku.
Kali ini aku terpaksa membenarkan
apa yang ditulis Fiersa Besari dalam Garis Waktunya.
“Maka, ikhlaskan saja kalau
begitu. Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari melepaskan sesuatu
adalah berpegangan pada sesuatu yang menyakitimu secara perlahan.”
Aku jadi semakin malas untuk datang
ke pertemuan rutin di komunitas. Aku jengah menatap wajahnya. Aku tidak ingin
lagi berbicara dengan dia karena mendengar suaranya saja membuatku ingin
menghilang cepat-cepat. Apa saja yang keluar dari mulutnya hanya mengingatkanku
pada perdebatan-perdebatan kecil kami yang akhirnya membesar. Dia yang mood-nya
berubah semaunya mendadak menceramahiku supaya tidak marah-marah. Dia yang
membuat detektif sekelas FBI jadi mengkal karena tidak berhasil membongkar apa
maksudnya, tiba-tiba nyerocos panjang lebar terhadapku agar mengungkapkan apa
saja yang ada dalam kepalaku. Ingin sekali aku membawakan cermin di depan
mukanya, tapi aku tahu kalau melihat wajahnya saja aku ingin terbang ke pluto
detik itu juga.
Alasan apa saja yang dulu membuatku
terus bertahan, akhirnya runtuh satu per satu. Aku tidak lagi ingin menoleransi
apa pendapatnya. Aku menolak semua argumennya bahkan kami jadi sering berdebat
tanpa penyelesaian. Kami tidak lagi sejalan, dan aku memilih rehat dari apa
saja yang telah kami lalui selama ini yang dengan cepat ia iyakan.
Hubungan kami kandas.
Dan sampai sekarang belum baik-baik
saja.
Hari ini malam pukul tujuh,
adalah pertemuan komunitas ketiga pasca kami putus. Aku sudah bisa tertawa jauh
lebih lepas dibanding pada pertemuan pertama dan kedua. Selain karena aku mencoba
berdamai dengan perasaan, aku kali ini benar-benar tidak menyapa dia, sehingga
dia benar-benar diam dan sibuk dengan ponselnya. Aku benar-benar mengabaikan
dia, karena aku tahu, sekali saja aku disentil tentang dia, jurus singa
betinaku bisa kambuh, atau mungkin lebih buruk lagi adalah aku seperti orang
kesurupan di sini.
Mungkin semesta sengaja ingin
menggodaku sekaligus ingin melihat bagaimana bentuk interaksi kami yang baru,
saat si ketua komunitas tiba-tiba memanggil namaku disusul nama dia untuk
mendiskusikan sesuatu. Setengah mati aku menahan kedongkolan yang menggumpal di
dada mengakibatkan suasana jadi canggung luar biasa. Tawa riang yang menghiasi
wajahku semenjak tadi mendadak lenyap, dan aku seketika mengutuk diriku sendiri
yang gelagapan mencairkan kebekuan yang baru saja tercipta.
Bagaimana aku bisa nyaman, kalau
dulu manusia yang diamnya saja tidak pernah membuatku bosan, kali ini hadirnya
bisa mengangguku luar biasa?
Selepas rumor yang beredar bahwa
putusnya hubungan kami ini karena pihak ketiga—rumor ini datang karena aku dan
dia sama-sama tidak menjawab saat ditanya mengapa kami bisa putus—aku jadi penasaran dengan siapa dia dekat
sekarang.
Ya wajar dong aku penasaran, karena dia
termasuk dalam manusia yang jalan pikirannya berliku-liku, dan aku jadi ingin
tahu wanita mana yang rela berpikir dua kali lebih keras untuk mengetahui apa
maunya. Apakah juga lantas wanita itu lelah dan memilih rehat mengikuti
jejakku. Yang jelas, hubungan kami yang belum baik-baik saja ini bukan karena
adanya pengkhianatan—seperti rumor tidak bertanggung jawab yang sedang merebak saat
ini—sehingga aku merasa masih ada lagi yang perlu dibenahi.
Walaupun yang namanya dibenahi,
bukan berarti akan kembali.
Dan yang tidak kembali, bukan berarti
tidak ingin lagi membaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar