Rabu, 28 Juni 2017

Teruntuk Seseorang yang Sedang Butuh Cermin

Mungkin memang seharusnya aku membelesak ke bumi saat ini juga. Daripada menjawab ribuan variasi pertanyaan yang intinya tetap sama: kenapa kalian putus?
            
Ini lo kenapa aku menghindari yang namanya saling jatuh hati dengan teman sendiri—teman satu komunitas, lebih tepatnya. Aku takut jika kebersamaan yang telah kami lalui selama ini—saat  menjadi anggota komunitas dari junior sampai memiliki junior—mendadak hancur karena masalah hati. Aku takut, kalau kami menjadi pemuja hati, dan akhirnya jadi bodoh, dan justru menyelesaikan kisah kami tanpa sesuai dengan ekspektasi.
            
Dulu aku selalu suka saat dia hampir setiap hari datang ke rumah dengan alasan ingin cari teman. Kadang minta film, kadang download lagu, bahkan pernah dia bawa stick PS padahal dia main sendiri dengan laptopnya. Dia juga sering ke rumahku malam-malam tanpa angin tanpa hujan tanpa tujuan, hingga akhirnya aku cuma nyanyi-nyanyi di teras rumah diiringi petikan gitar dia. Di luar itu, selama kami berada di pertemuan komunitas, dia selalu duduk di dekatku lantas membisikiku sesuatu yang ujung-ujungnya memecah tawaku. Dia sering membeli minuman dua botol, satu untuknya satu untukku. Dia pernah menemaniku belanja ke supermarket sampai dikira kami ini adalah pasangan yang menikah muda karena aku sudah seperti ibu-ibu rempong yang memilih barang belanjaan, sementara dia lebih mirip suami yang jadi petugas pendorong troli dan pembawa barang belanjaan yang terkantuk-kantuk menunggui istrinya selesai memilih barang.
            
Teman-teman komunitas mengira kami pacaran, tapi yang aku tahu, akulah yang jatuh hati sendirian—sama seperti kisah-kisah asmaraku sebelumnya, sampai suatu hari dia menyatakan perasaan, dan baru pertama kali itulah aku tidak lagi merasakan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan.
            
Jangan tanya bagaimana bahagiaku saat resmi menyandang status sebagai kekasihnya. Lantas dengan pongahnya bilang bahwa aku siap menaklukkan berbagai perubahan mood­­-nya yang mendadak, karena aku sudah tahu bahwa aku termasuk dalam prioritasnya. Aku tahu aku sudah punya hak untuk bilang kangen setiap saat, dan juga berhak untuk dirindu tiap waktu.
            
Saking bahagianya, aku rela berpikir dua kali lebih keras kalau ngambeknya sedang kambuh. Aku mengalah untuk meredam marahnya, supaya dia tidak pergi. Supaya hubungan kami ini tetap  bertahan. Aku lupa untuk mengusahakan semoga aku dan dia tetap baik-baik saja. Aku lupa bahwa kami harusnya saling menggenggam, tidak hanya bergandengan. Aku lupa kalau aku butuh dimengerti, bukan hanya disayangi.
            
Lama-lama aku lelah mengartikan diamnya. Aku letih membongkar kode-kode yang ada dalam kepalanya bagaikan labirin. Sampai aku berpikir, apakah laki-laki yang aku sayangi begitu rupa ini benar-benar menyayangiku. Aku jadi takut apakah perasaan saling suka di antara kami waktu itu terlalu cepat hadir. Aku mendadak ragu apakah jatuh hati yang ia rasakan hanyalah semu dan sebentar lagi habis. Aku tidak yakin lagi apakah status hubungan menjadi penting kalau lama-lama bersama dia justru menggerogoti kewarasanku.
           
Kali ini aku terpaksa membenarkan apa yang ditulis Fiersa Besari dalam Garis Waktunya.
            
“Maka, ikhlaskan saja kalau begitu. Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari melepaskan sesuatu adalah berpegangan pada sesuatu yang menyakitimu secara perlahan.”
            
Aku jadi semakin malas untuk datang ke pertemuan rutin di komunitas. Aku jengah menatap wajahnya. Aku tidak ingin lagi berbicara dengan dia karena mendengar suaranya saja membuatku ingin menghilang cepat-cepat. Apa saja yang keluar dari mulutnya hanya mengingatkanku pada perdebatan-perdebatan kecil kami yang akhirnya membesar. Dia yang mood-nya berubah semaunya mendadak menceramahiku supaya tidak marah-marah. Dia yang membuat detektif sekelas FBI jadi mengkal karena tidak berhasil membongkar apa maksudnya, tiba-tiba nyerocos panjang lebar terhadapku agar mengungkapkan apa saja yang ada dalam kepalaku. Ingin sekali aku membawakan cermin di depan mukanya, tapi aku tahu kalau melihat wajahnya saja aku ingin terbang ke pluto detik itu juga.
            
Alasan apa saja yang dulu membuatku terus bertahan, akhirnya runtuh satu per satu. Aku tidak lagi ingin menoleransi apa pendapatnya. Aku menolak semua argumennya bahkan kami jadi sering berdebat tanpa penyelesaian. Kami tidak lagi sejalan, dan aku memilih rehat dari apa saja yang telah kami lalui selama ini yang dengan cepat ia iyakan.
            
Hubungan kami kandas.
            
Dan sampai sekarang belum baik-baik saja.
            
Hari ini malam pukul tujuh, adalah pertemuan komunitas ketiga pasca kami putus. Aku sudah bisa tertawa jauh lebih lepas dibanding pada pertemuan pertama dan kedua. Selain karena aku mencoba berdamai dengan perasaan, aku kali ini benar-benar tidak menyapa dia, sehingga dia benar-benar diam dan sibuk dengan ponselnya. Aku benar-benar mengabaikan dia, karena aku tahu, sekali saja aku disentil tentang dia, jurus singa betinaku bisa kambuh, atau mungkin lebih buruk lagi adalah aku seperti orang kesurupan di sini.
            
Mungkin semesta sengaja ingin menggodaku sekaligus ingin melihat bagaimana bentuk interaksi kami yang baru, saat si ketua komunitas tiba-tiba memanggil namaku disusul nama dia untuk mendiskusikan sesuatu. Setengah mati aku menahan kedongkolan yang menggumpal di dada mengakibatkan suasana jadi canggung luar biasa. Tawa riang yang menghiasi wajahku semenjak tadi mendadak lenyap, dan aku seketika mengutuk diriku sendiri yang gelagapan mencairkan kebekuan yang baru saja tercipta.
            
Bagaimana aku bisa nyaman, kalau dulu manusia yang diamnya saja tidak pernah membuatku bosan, kali ini hadirnya bisa mengangguku luar biasa?
            
Selepas rumor yang beredar bahwa putusnya hubungan kami ini karena pihak ketiga—rumor ini datang karena aku dan dia sama-sama tidak menjawab saat ditanya mengapa kami bisa putus—aku  jadi penasaran dengan siapa dia dekat sekarang.
            
Ya wajar dong aku penasaran, karena dia termasuk dalam manusia yang jalan pikirannya berliku-liku, dan aku jadi ingin tahu wanita mana yang rela berpikir dua kali lebih keras untuk mengetahui apa maunya. Apakah juga lantas wanita itu lelah dan memilih rehat mengikuti jejakku. Yang jelas, hubungan kami yang belum baik-baik saja ini bukan karena adanya pengkhianatan—seperti rumor tidak bertanggung jawab yang sedang merebak saat ini—sehingga aku merasa masih ada lagi yang perlu dibenahi.
            
Walaupun yang namanya dibenahi, bukan berarti akan kembali.

            
Dan yang tidak kembali, bukan berarti tidak ingin lagi membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini