Aku tahu aku tidak
punya hak mengatur hidupmu. Mengurusi ini-itu, termasuk membangunkanmu supaya
tidak melewatkan subuh. Aku tidak berhak marah-marah karena kamu hanya sebentar
membaca pesan dariku, membalas sekadarnya, untuk kemudian lenyap yang tidak aku
tahu kamu ke mana. Aku tahu bahwa kamu tidak punya kewajiban melapor kepadaku
akan melakukan apa, ke mana, dan sedang bersama siapa dalam kurun waktu 24 jam.
Aku tahu kamu punya sibuk
yang tidak perlu diberitahu kepadaku. Tapi aku juga tidak memungkiri bahwa
otakku bertanya-tanya ke mana saja kamu hari itu. Mengecek jam berapa terakhir
kamu online, kemudian membaca lagi pesan-pesan kamu sebelumnya—siapa tahu kamu
sudah bilang mau ke mana, tapi akunya yang lupa. Lantas aku kecewa karena
memang kamu sebelumnya tidak mengisyaratkan apa-apa.
Aku tahu ini tergolong
khawatir berlebihan. Apalagi kamu sudah punya seseorang yang lebih berhak
merecoki kotak masuk ponselmu supaya kamu tidak sering begadang, menyuruhmu
makan teratur, mengingatkan lima waktumu, hingga menuntutmu untuk memberi kabar
lebih dulu seandainya kamu mau pergi dan tidak memungkinkan memegang ponsel
terus-menerus. Ada seseorang yang lebih berhak ngambek karena kamu sepanjang
hari menghilang dari peredaran, dan baru muncul malam-malam ketika orang-orang
mulai memetik bunga tidur mereka.
Aku tahu aku tidak masuk
dalam daftar orang penting di hidupmu, yang otomatis aku juga tidak punya hak
untuk memasuki dunia kamu lebih jauh. Aku bahkan tidak perlu susah-susah
memahami jalan pikiranmu yang kadang berbelit-belit. Aku juga sebaiknya tidak
meragukan seseorang yang lebih berhak itu—tentang bagaimana dia mampu mengikuti
logikamu yang butuh berputar-putar untuk sekadar mengerti itu.
Aku tahu aku hanya figuran di
sini. Menikmati senyum kamu, menyaksikan ekspresi panik kamu, sesekali
menimpali komentar sadis kamu. Beruntung aku masih boleh tertawa lepas, juga
masih diperbolehkan berimprovisasi dengan mengirimimu pesan singkat berisi
permintaan lagu-lagu yang ingin aku dengarkan detik itu juga. Walaupun sekali
lagi aku harus menyadari bahwa aku hanya figuran—tidak mungkin mendapat porsi
melebihi pemeran utama—dalam hidup kamu.
Aku tahu aku ini hanya
pemanis dalam adegan kamu yang sedang menunggu balasan pesan dari dia yang
mungkin sudah terkantuk-kantuk saking setianya menunggu kamu yang seharian menghilang
tanpa kabar, dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan melepas rindu selagi
kamu online meskipun ia juga harus merelakan waktu tidurnya tertunda.
Aku tahu.
Tapi hatiku tidak mau tahu.
Bahwa (aku perlu membiasakan diri) sebagai ‘hanya teman’-mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar