Mau sampai kapan kita berlomba
siapa yang paling bahagia?
Sama-sama
berusaha memberikan senyum dan tawa paling lebar, padahal kepala kita masih
menyimpan sakit hati dan kecewa. Apakah kamu baik-baik saja dengan itu?
Photo by Jonathan Pendleton on Unsplash |
Jujur,
aku lelah.
Setiap
hari aku harus bergulat dengan rindu tapi pantang untuk bilang karena ingin
membuktikan bahwa aku masih bisa berdiri tegak walaupun aku dan kamu tidak lagi
berjalan beriringan. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa biasa-biasa saja
ketika kamu pergi. Bahwa aku tidak pernah mempermasalahkan kamu yang tidak ada
di sisi, dan aku masih kuat sendiri.
Karena
kamu juga melakukan itu.
Kamu
mengunggah fotomu dengan senyum paling ceria yang kamu punya. Membanjiri story instagram-mu dengan acara-acara
kampusmu, yang menandakan kalau kamu terlibat di sana. Entah sebagai panitia,
pengisi acara, atau cuma sebagai penonton. Yang jelas, siapapun yang melihat
kiriman gambarmu di sosial media, bisa langsung menyimpulkan kalau kamu lebih
dari baik-baik saja.
Tapi,
Tuan.
Berpura-pura tidak ada
apa-apa padahal ada apa-apa itu melelahkan, bukan? Tidakkah kamu ingin berhenti
saja?
Apa
tidak capek terus-terusan menunjukkan sisi paling baik padahal kondisinya
sedang tidak baik? Atau itu caramu menguatkan diri?
Oh,
atau jangan-jangan, memang hanya aku yang menyedihkan di sini? Ketika
kehilangan kamu adalah kekecewaan paling hebat yang pernah aku rasakan,
ternyata kamu justru sebaliknya. Bagimu, melepasku adalah keputusan paling
benar yang pernah kamu ambil sejauh ini. Jadi, semua suka cita yang kamu bagi
di dunia maya itu bukan pencitraan. Kamu sama sekali tidak berpura-pura.
Begitu?
Oke.
Baiklah.
Aku
harap kamu memang bahagia.
Tidak
seperti perempuan tolol ini yang masih berharap kamu kembali lagi, tapi masih
berusaha mengenakan “topeng” tidak membutuhkan kamu sama sekali.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus