Kamis, 23 Juni 2016

Jogja Tak Lagi Sama



Aku tahu, Jogja tak lagi sama.

Mungkin pedagang di warung tenda itu sudah pindah. Mungkin mahasiswa yang dulu masih suka tongkrongan di pinggir jalan, sudah pada wisuda. Mungkin rumput yang ada di lapangan itu sudah dipangkas lalu tumbuh lagi. Mungkin pagar pembatas sudah ada pertambahan karat di beberapa sisi. Mungkin beberapa bangunan telah dicat ulang.

Jogja tak lagi sama. Awan mendung yang dulu menaungi pertemuan pertama, telah turun sebagai hujan beberapa hari kemudian. Lantas menguap lagi, membentuk awan, hujan, menguap, awan, hujan, begitu seterusnya dua tahun terakhir.

Minggu, 19 Juni 2016

Terima Kasih Telah Pergi



Tempat ini ramai seperti pertama kali aku menjejakkan kaki ke sini. Pelayan-pelayan yang seketika menyambutku, juga sapaan hangat dari balik kasir. Kalau aku tidak menahan salah satu pelayan yang hafal seleraku, mungkin secangkir cappucino sudah tersaji di meja. Tapi, tidak. Aku ke sini bukan untuk menikmati minuman favoritku. Pelayan itu mengerutkan kening samar, namun tidak bertanya lebih lanjut. Aku hanya bilang jika sedang menunggu teman, dan akan memesan nanti-nanti.
             
Setengah jam duduk tanpa pesanan apapun, pemuda itu akhirnya datang. Tersenyum lebar, menarik kursi di depanku, kemudian duduk. Ia memanggil pelayan yang kemudian tersenyum-senyum melihat kami. Aku tahu, dia tahu mengenai hubungan kami dalam bagian baik-baik saja. Dan pelayan itu tak perlu tahu jika hubungan kami yang baik-baik saja itu telah berakhir begitu saja.

Senin, 13 Juni 2016

Cinta Cappucino



Kafe ini masih ramai seperti saat pertama kali aku menjejakkan kaki di sini. Meja berbentuk lingkaran berwarna putih, satu paket dengan sepasang kursi hijau diletakkan berhadapan. Pelayan-pelayannya juga masih ramah seperti dulu. Bahkan, beberapa dari mereka—terutama yang sudah senior, selalu menyapaku jika aku berkunjung ke sini. Mereka sudah hafal denganku, sama hafalnya dengan minuman favoritku: secangkir cappucino.

Sekarang, aku duduk di sudut kafe—salah satu tempat favoritku di sini, sambil mengamati orang-orang yang datang dan pergi di kafe ini. Mulai dari segerombolan remaja yang pulang sekolah, lalu dengan santainya mereka memblokade beberapa meja dan kursi, sambil tertawa-tawa—entah apa yang mereka tertawakan.

Suara lonceng khas tanda pintu terbuka, berdentang di telinga. Otomatis pandanganku mengarah pada pintu masuk.

Cerita Ramadhan #1



Puasa satu minggu pertama. Aku menghela napas panjang. Ponselku bergetar tanpa henti. Terus saja menerima pesan dari beberapa grup, yang kesemuanya adalah membahas rencana buka bersama. Memilih tempat, menyesuaikan hari. Si pembuat rencana, biasanya mengutuk teman-teman yang tidak kunjung muncul di obrolan grup. Si aktif, biasanya memberikan sederet usul. Soal hari, tempat, menu makanan, sampai budget yang harus dikeluarkan. Si pasif, biasanya menanggapi dengan “Terserah”. Dan ketika si pembuat rencana memilih hari sesuai daftar milik si aktif, si pasif muncul kembali, dan bilang “Tidak bisa”. Si pembuat rencana kembali memutar kepala, lagi-lagi harus memilih hari.
             
Begitu saja terus. Selama satu minggu pertama bulan ramadhan.

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini