Jumat, 11 Desember 2015

Sebaiknya, Kamu Tetap Tak Peduli



Bukankah selama ini baik-baik saja?
             
Duduk di sampingku. Menulis satu meja denganku. Memandang papan tulis dari sudut yang sama. Tertiup angin sepoi dari jendela yang sama. Terkadang tangan kita bersaling-silang karena mengambil sesuatu yang letaknya di sebelahku atau sebelahmu. Sering sekali kamu meminjam entah bolpoin, entah pensil, hanya untuk berpura-pura mencatat penjelasan guru. Lebih sering lagi aku yang mengamatimu diam-diam ketika kamu meletakkan kepala di meja sambil mencoret-coret tidak jelas di buku catatanmu. Dan ketika bel istirahat berdering, sontak kepalamu terangkat, tubuhmu langsung tegak. Matamu berbinar-binar.
             
“Bu, sudah bel!” teriakmu mengingatkan. Biasanya penjelasan guru terhenti sejenak. Sang guru menajamkan pendengaran. Kemudian teman-teman lain mengikuti, “Iya Bu. Bel sekolah kita,” serempak, mirip paduan suara. Guru itu mengangguk-angguk lalu menutup penjelasannya. Meninggalkan kelas yang seperempat detik kemudian, kamu juga meninggalkan kelas. Melesat menuju kantin. Tak lupa menyobek kertas yang berisi coretan tidak jelasmu. Kamu remas, dan kamu buang.
            
 Bel tanda usai istirahat berdering. Kamu masuk kelas dengan keringat bercucuran. Sambil tersenyum-senyum tanda bahagia. Dan biasanya itu hanya karena dua alasan: kamu ditraktir  semangkok sambal tambah soto (kamu lebih suka sambalnya daripada sotonya, aku tahu), atau  habis main bola di halaman. Atau mungkin ada alasan baru lagi: (mantan) gebetanmu melintas di depanmu tanpa sengaja.
             
Tapi aku tak pernah bertanya. Memilih (berpura-pura) tak peduli. Karena aku pikir, selama ini kita memang baik-baik saja, dan aku selalu berharap semoga tetap baik-baik saja.
             
Berbagi meja. Berbagi angin dari jendela. Sesuatu yang amat menyenangkan. Bersama makhluk paling cuek yang belum pernah kutemui sebelumnya. Yang sering menyerobot ponsel karena ingin browsing serial kartun favorit. Yang punya senyum dan tawa paling manis, tapi karena jarang tersenyum, berarti juga jarang terlihat manis. Paling rajin mengingatkan bel istirahat kepada pengajar. Paling suka menggambar di buku catatan, lalu menyobeknya. Dan hampir setiap hari malas mengeluarkan alat tulis dari tas. Memilih pinjam dariku, padahal hanya untuk menyalin tugas teman.
             
Aku sudah terbiasa dengan sikap tak pedulimu dan egoismu. Aku mencintaimu dalam watak seperti itu. Jadi, wajar jika aku merasa aneh denganmu yang diam sepanjang pelajaran. Dan masih tetap di tempat walaupun bel istirahat telah berseru lantang.
             
“Nggak ke kantin?” tanyaku sambil membereskan alat tulis dan buku di meja.
             
“Jel,” tak menjawab, justru kamu memanggil namaku. Aku menghentikan gerakanku. Menatapmu yang menyandarkan punggung ke dinding dan memandang kosong lantai kelas.    
           
 Kamu terdiam, membuat hening lebih terasa karena bel istirahat barusan hanya menyisakan kita. Aku masih menunggu kalimatmu selanjutnya, sementara mulutmu masih tertutup rapat. Tatapan kosongmu berubah tajam pelan-pelan, tapi itu masih mengarah pada lantai kelas. Aku mengernyit heran dan memutuskan bertanya karena kamu tak kunjung melanjutkan pembicaraan.

“Apa?” tanyaku.

Kamu mengalihkan pandangan dari lantai kelas, jadi sempurna memandangku. Menatapku sedikit lama, sebelum akhirnya, kamu bertanya, jauh di luar dugaanku.

“Kamu menyukaiku?” tanyamu dengan wajah tanpa ekspresi. Datar seperti biasa, padahal untuk ukuran pertanyaan seperti ini. Terkejut, adalah yang pertama kurasakan. Tak percaya, adalah perasaan kedua. Dan yang ketiga, yang menguasaiku, adalah gugup. Bagaimana kamu tahu?

Tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Kamu justru buru-buru melanjutkan, “Sebaiknya jangan,” dingin kamu berkata. Kemudian kamu bangkit dari duduk tanpa mampu kucegah. Meletakkan tas di salah satu meja yang sedikit jauh dari tempat duduk kita, lalu keluar kelas. Bisa kupastikan, setelah bel usai istirahat nanti, rekan semejaku sudah ganti. Bukan lagi kamu, pemuda yang (diam-diam) buatku jatuh hati. Yang meskipun tak peduli, kamu tahu perasaan ini. Ternyata, orang yang tak peduli, bukan berarti tak punya hati.

Dan ternyata pula, baik-baik saja di antara kita, hanyalah ilusi dalam pikiranku sendiri.




........ dan sebaiknya, kamu tetap tak peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini