Selasa, 22 Desember 2015

Abnormal



Sahabatku baru saja bercerita tiga menit tanpa jeda. Tentang salah seorang pemuda yang buatnya melayang-layang tak berdaya. Pemuda yang tampan dan baik hati dari esktrakurikuler voli. Satu-satunya pemuda yang memperhatikannya. Tidak seperti pemuda lain yang memilih tak acuh padanya. Sesekali menyapa, atau tersenyum padanya. Sering membagi-bagikan camilan buatan ibunya kepada manusia seluruh ekstra. Kata sahabatku, camilan berbahan dasar tepung terigu, telur, mentega, dan susu itu, enak bukan main.

Sayangnya, akhir-akhir ini, pemuda baik hati itu semakin baik. Dan itu membuat sahabatku terbang makin tinggi. Kuperingatkan agar tak jauh-jauh ke langit, tapi sahabatku berkeras. Pemuda baik hati itu bukan sekadar baik. Mungkin saja telah jatuh hati padanya—sama seperti yang dirasakan sahabatku. Aku pun hanya tersenyum menanggapi ocehan sahabatku. Pilih tak berkomentar.

Aku menanggapi ceritanya dengan tertawa kecil, lalu menanyakan kelanjutan kisah seru mereka. Sahabatku menjawab dengan mengisahkan kembali cerita yang dulu, masih dengan semangat yang sama, nada menggebu-gebu yang sama, hanya kata-katanya yang sedikit berubah. Aku kembali tersenyum. Pemuda itu benar-benar terlihat baik di mata sahabatku. Hampir tanpa cela. Menyaingi malaikat.

Sahabat baikku, yang aku pikir sepenuhnya mengerti diriku, sedang jatuh cinta. Mengabaikan seluruh nasehat. Memfokuskan diri pada satu titik: pemuda yang tampan dan baik hati. Menyuguhiku tentang cerita-cerita bahagianya. Pertemuan mereka. Canda dan tawa yang tercipta, diceritakan dengan begitu detail. Sementara efek setelah mereka bertemu dan bercanda, adalah bahagia berlebihan. Seperti malam ini, sahabatku bercerita tanpa titik koma. Menggebu-gebu dan bersemangat. Dan juga masih sama, aku tak berkomentar apa-apa. Hanya tertawa. Menanyakan cerita selanjutnya.

Aku menghela napas. Dugaanku selama ini salah. Sahabatku yang kupikir benar-benar memahamiku, bagaimanapun keadaannya, mengabaikan satu hal yang fatal. Aku tak tahu, apakah ini dampak jatuh cinta, atau dia benar-benar tidak mengerti.

Tidak menanyakan, mengapa aku tak pernah mengomentari ceritanya. Dia tak merasa aneh. Sempat aku berpikir, apakah jatuh cinta, membuat seluruhnya terlihat baik-baik saja?

Dering ponsel mengagetkanku. Layar ponsel menampilkan siapa yang menelepon.

“Hai!” sapaku setelah mengangkat telepon. Sambil tersenyum, berharap manusia di seberang sana tahu, jika aku mengangkat panggilannya secara ‘baik-baik saja’.

“Mau sampai kapan?” tanya orang di ujung telepon dengan nada seperti ingin menodong. Aku langsung terdiam. “Jel! Sumpah! Aku bingung harus bagaimana lagi. Tanpa aku cerita pun, kamu pasti tahu. Makhluk yang katamu sahabat baikmu itu, dia tergila-gila berlebihan. Please, peringatkan dia, Jel! Aku tidak tahan!”

Aku mendesah, “Sudah kuperingatkan....”

“Tidak mempan!” potong si penelepon. “Mungkin, lebih baik, aku akhiri saja.... malam ini!”

“Eh, jangan!” seruku langsung. “Aku mohon, jangan sakiti hatinya...”

Si penelepon tertawa kecil, “Dia bahkan tak punya hati.”

Aku menelan ludah, “Tapi...”

“Sudah, Jel. Aku tidak tahan dalam permainan ini. Yakinlah, hubungan kita akan baik-baik saja. Sebaiknya, kita bertiga bertemu. Kasih dia penjelasan, bahwa aku dan dia tak mungkin bersama. Dia pasti mengerti,” suara pemuda di seberang sana, merendah. “Kita akan baik-baik saja. Tak perlu khawatir,”

Aku menggigit bibir. Bimbang.

“Jel, aku tidak tahan dengan dia yang tiba-tiba datang. Sengaja menjatuhkan tasku ketika aku sedang pemanasan di lapangan. Tidak ada angin, tidak ada hujan,” pemuda di ujung telepon mendesah, “Jika teman-temanku sama dengan kita, mereka tidak mungkin heran, bagaimana tasku bisa jatuh tanpa ada yang menyentuh. Sayangnya kita dengan mereka tidak sama, Jel. Mereka tidak bisa ‘melihat’. Dan peristiwa benda ‘bergerak sendiri’, tidak hanya terjadi satu kali dua kali. Aku lelah, Jel. Aku tidak tahan dengan ulahnya,” kata pemuda ini, kekasihku ini, dengan suara yang terdengar capai.

“Baiklah,” sahutku setelah beberapa lama, “Kita akan bicara dengannya....” aku sedikit ragu, menghela napas, dan menelan ludah, sebelum akhirnya menyambung, “...malam ini.”

Pemuda di ujung sana terdengar mengambil napas panjang, “Oke. Beritahu aku jika dia datang kepadamu. Aku akan memberitahumu jika dia datang kepadaku. Kita tidak boleh tidur malam ini, sebelum dia mengerti tentang hubungan kita, dan juga tentang aku dan dia yang tidak mungkin bersama,” tandas kekasihku. Aku kembali menggigit bibir.

“Ehm, tapi, Bay....”

“Ya, Jel?” terdengar sahutan di ponselku. Aku menelan ludah. Ingin aku memanggil kekasihku, tapi suaraku tertelan di tenggorokan. “Apa lagi, hm?” sekali lagi, suara kekasihku bergaung.

Kemudian, tiba-tiba...

“YA! AKU SUDAH MENGERTI HUBUNGAN KALIAAANNN!” sontak aku melempar ponsel, segera menutup telinga. Lengkingan itu memenuhi kamarku. Lalu, sosok berambut panjang dan kusut, yang sedari tadi menceritakan pemuda tampan dan baik hati, pergi menembus jendela, entah kemana. Kupejamkan mata rapat-rapat. Aku takut luar biasa. Bulu kudukku berdiri seluruhnya. Beberapa saat, aku membuka mata. Terengah-engah.

Aku meraih ponsel. Panggilan masih tersambung, namun hening di ujung sana. Aku masih tersengal.

“Jel?” kekasihku memanggil. Membuatku sedikit lega, walaupun tak mengurangi kesulitanku bernapas.

“Hmm....” aku menyahut, lemah.

“Dia tadi di sana?” tanya kekasihku terdengar takut-takut. Aku mengangguk.

“Hmmm...” kemudian hening. Aku mengatur napas, melanjutkan, “Hmm.. tapi sekarang sudah pergi....”

Pemuda di sana menghela napas berat. “Mungkin, dia akan ke sini...”

“Hati-hati....”

“Ya. Tutup saja teleponnya. Jika ada apa-apa, besok aku cerita,” diam beberapa detik, “Nah, itu dia datang. Do’akan aku baik-baik ya. Hubungan kita juga baik-baik. Selalu ingat, bahwa ‘penglihatan’ kita ini adalah anugerah, bukan kesalahan. Selamat malam,” lalu telepon tertutup. Aku meringkuk. Keringat dingin membanjir. Tubuhku masih lemas. Aku menangis.

Hubunganku dengan kekasihku tak pernah biasa. Terhitung, ini adalah kali ketiga, aku dan kekasihku diganggu oleh mahluk tak kasat mata. Mendadak aku lelah. Mengutuk ‘penglihatan’ ini. Tapi, tanpa ‘penglihatan’ ini, mungkin aku dengan kekasihku tak pernah bertemu. Sayangnya, karena‘penglihatan’ ini pula, mungkin kami menjalani hubungan aneh, semacam pihak ketiga dari dunia yang berbeda.

Gambar diambil via gladis.beritagar.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini