Sahabatku
baru saja bercerita tiga menit tanpa jeda. Tentang salah seorang pemuda yang
buatnya melayang-layang tak berdaya. Pemuda yang tampan dan baik hati dari
esktrakurikuler voli. Satu-satunya pemuda yang memperhatikannya. Tidak seperti
pemuda lain yang memilih tak acuh padanya. Sesekali menyapa, atau tersenyum
padanya. Sering membagi-bagikan camilan buatan ibunya kepada manusia seluruh
ekstra. Kata sahabatku, camilan berbahan dasar tepung terigu, telur, mentega,
dan susu itu, enak bukan main.
Sayangnya,
akhir-akhir ini, pemuda baik hati itu semakin baik. Dan itu membuat sahabatku
terbang makin tinggi. Kuperingatkan agar tak jauh-jauh ke langit, tapi
sahabatku berkeras. Pemuda baik hati itu bukan sekadar baik. Mungkin saja telah
jatuh hati padanya—sama seperti yang dirasakan sahabatku. Aku pun hanya
tersenyum menanggapi ocehan sahabatku. Pilih tak berkomentar.
Aku menanggapi
ceritanya dengan tertawa kecil, lalu menanyakan kelanjutan kisah seru mereka. Sahabatku
menjawab dengan mengisahkan kembali cerita yang dulu, masih dengan semangat
yang sama, nada menggebu-gebu yang sama, hanya kata-katanya yang sedikit
berubah. Aku kembali tersenyum. Pemuda itu benar-benar terlihat baik di mata
sahabatku. Hampir tanpa cela. Menyaingi malaikat.
Sahabat
baikku, yang aku pikir sepenuhnya mengerti diriku, sedang jatuh cinta.
Mengabaikan seluruh nasehat. Memfokuskan diri pada satu titik: pemuda yang
tampan dan baik hati. Menyuguhiku tentang cerita-cerita bahagianya. Pertemuan
mereka. Canda dan tawa yang tercipta, diceritakan dengan begitu detail. Sementara
efek setelah mereka bertemu dan bercanda, adalah bahagia berlebihan. Seperti
malam ini, sahabatku bercerita tanpa titik koma. Menggebu-gebu dan bersemangat.
Dan juga masih sama, aku tak berkomentar apa-apa. Hanya tertawa. Menanyakan
cerita selanjutnya.
Aku
menghela napas. Dugaanku selama ini salah. Sahabatku yang kupikir benar-benar
memahamiku, bagaimanapun keadaannya, mengabaikan satu hal yang fatal. Aku tak
tahu, apakah ini dampak jatuh cinta, atau dia benar-benar tidak mengerti.
Tidak
menanyakan, mengapa aku tak pernah mengomentari ceritanya. Dia tak merasa aneh.
Sempat aku berpikir, apakah jatuh cinta, membuat seluruhnya terlihat baik-baik
saja?
Dering
ponsel mengagetkanku. Layar ponsel menampilkan siapa yang menelepon.
“Hai!”
sapaku setelah mengangkat telepon. Sambil tersenyum, berharap manusia di
seberang sana tahu, jika aku mengangkat panggilannya secara ‘baik-baik saja’.
“Mau
sampai kapan?” tanya orang di ujung telepon dengan nada seperti ingin menodong.
Aku langsung terdiam. “Jel! Sumpah! Aku bingung harus bagaimana lagi. Tanpa aku
cerita pun, kamu pasti tahu. Makhluk yang katamu sahabat baikmu itu, dia
tergila-gila berlebihan. Please, peringatkan dia, Jel! Aku tidak tahan!”
Aku
mendesah, “Sudah kuperingatkan....”
“Tidak
mempan!” potong si penelepon. “Mungkin, lebih baik, aku akhiri saja.... malam
ini!”
“Eh,
jangan!” seruku langsung. “Aku mohon, jangan sakiti hatinya...”
Si
penelepon tertawa kecil, “Dia bahkan tak punya hati.”
Aku
menelan ludah, “Tapi...”
“Sudah,
Jel. Aku tidak tahan dalam permainan ini. Yakinlah, hubungan kita akan
baik-baik saja. Sebaiknya, kita bertiga bertemu. Kasih dia penjelasan, bahwa
aku dan dia tak mungkin bersama. Dia pasti mengerti,” suara pemuda di seberang
sana, merendah. “Kita akan baik-baik saja. Tak perlu khawatir,”
Aku
menggigit bibir. Bimbang.
“Jel,
aku tidak tahan dengan dia yang tiba-tiba datang. Sengaja menjatuhkan tasku
ketika aku sedang pemanasan di lapangan. Tidak ada angin, tidak ada hujan,”
pemuda di ujung telepon mendesah, “Jika teman-temanku sama dengan kita, mereka
tidak mungkin heran, bagaimana tasku bisa jatuh tanpa ada yang menyentuh. Sayangnya
kita dengan mereka tidak sama, Jel. Mereka tidak bisa ‘melihat’. Dan peristiwa benda
‘bergerak sendiri’, tidak hanya terjadi satu kali dua kali. Aku lelah, Jel. Aku
tidak tahan dengan ulahnya,” kata pemuda ini, kekasihku ini, dengan suara yang
terdengar capai.
“Baiklah,”
sahutku setelah beberapa lama, “Kita akan bicara dengannya....” aku sedikit
ragu, menghela napas, dan menelan ludah, sebelum akhirnya menyambung, “...malam
ini.”
Pemuda
di ujung sana terdengar mengambil napas panjang, “Oke. Beritahu aku jika dia
datang kepadamu. Aku akan memberitahumu jika dia datang kepadaku. Kita tidak
boleh tidur malam ini, sebelum dia mengerti tentang hubungan kita, dan juga
tentang aku dan dia yang tidak mungkin bersama,” tandas kekasihku. Aku kembali
menggigit bibir.
“Ehm,
tapi, Bay....”
“Ya,
Jel?” terdengar sahutan di ponselku. Aku menelan ludah. Ingin aku memanggil
kekasihku, tapi suaraku tertelan di tenggorokan. “Apa lagi, hm?” sekali lagi,
suara kekasihku bergaung.
Kemudian,
tiba-tiba...
“YA!
AKU SUDAH MENGERTI HUBUNGAN KALIAAANNN!” sontak aku melempar ponsel, segera menutup
telinga. Lengkingan itu memenuhi kamarku. Lalu, sosok berambut panjang dan
kusut, yang sedari tadi menceritakan pemuda tampan dan baik hati, pergi
menembus jendela, entah kemana. Kupejamkan mata rapat-rapat. Aku takut luar
biasa. Bulu kudukku berdiri seluruhnya. Beberapa saat, aku membuka mata.
Terengah-engah.
Aku
meraih ponsel. Panggilan masih tersambung, namun hening di ujung sana. Aku
masih tersengal.
“Jel?”
kekasihku memanggil. Membuatku sedikit lega, walaupun tak mengurangi
kesulitanku bernapas.
“Hmm....”
aku menyahut, lemah.
“Dia
tadi di sana?” tanya kekasihku terdengar takut-takut. Aku mengangguk.
“Hmmm...”
kemudian hening. Aku mengatur napas, melanjutkan, “Hmm.. tapi sekarang sudah
pergi....”
Pemuda
di sana menghela napas berat. “Mungkin, dia akan ke sini...”
“Hati-hati....”
“Ya.
Tutup saja teleponnya. Jika ada apa-apa, besok aku cerita,” diam beberapa
detik, “Nah, itu dia datang. Do’akan aku baik-baik ya. Hubungan kita juga
baik-baik. Selalu ingat, bahwa ‘penglihatan’ kita ini adalah anugerah, bukan
kesalahan. Selamat malam,” lalu telepon tertutup. Aku meringkuk. Keringat
dingin membanjir. Tubuhku masih lemas. Aku menangis.
Hubunganku
dengan kekasihku tak pernah biasa. Terhitung, ini adalah kali ketiga, aku dan
kekasihku diganggu oleh mahluk tak kasat mata. Mendadak aku lelah. Mengutuk ‘penglihatan’
ini. Tapi, tanpa ‘penglihatan’ ini, mungkin aku dengan kekasihku tak pernah
bertemu. Sayangnya, karena‘penglihatan’ ini pula, mungkin kami menjalani
hubungan aneh, semacam pihak ketiga dari dunia yang berbeda.
Gambar diambil via gladis.beritagar.id |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar