Hai, Tuan, bagaimana kabarmu? Aku
harap kamu baik-baik saja. Tersenyum ramah seperti biasa, seolah tak pernah
terjadi apa-apa terhadapmu sebelumnya. Ah, ya, tentu saja kamu dapat bertingkah
tak terjadi apa-apa. Karena guncangan paling hebat terjadi padaku, bukan kamu.
Kamu tentu tak menangis berhari-hari dan menyesal berbulan-bulan perihal kisah
kita. Aku tahu, bukan maksudmu untuk tidak peduli. Aku juga tahu, bukan karena
kamu dapat dengan mudah berpindah ke lain hati.
Ah, maafkan. Baru pembukaan dari
tulisan ini, aku seolah menyudutkanmu. Bukan, bukan. Bukan tentang kamu yang
sukses move on. Bukan pula tentang kemalanganku yang gagal move on.
Asal kamu tahu, ternyata banyak yang
menanyakan kelanjutan kisah kita. Sungguh, aku tak menyangka ternyata ada yang
mengikuti perjalanan kita. Yah, jika bisa disebut perjalanan, berarti jalan
yang kita lalui bercabang, atau memang buntu, dan susah seharusnya kita
berhenti, kembali, atau meneruskan perjalanan. Sayangnya, kita punya dua
pendapat berbeda. Memang sama-sama ingin berjalan, tapi kamu ingin melangkah ke
kiri, sedangkan aku memilih ke kanan. Kita sama-sama keras kepala, menguatkan
ego.
Sampai
kita memutuskan meletakkan hubungan kita di persimpangan jalan, lalu berjalan
menuju jalan yang aku dan kamu ingini. Aku ke kanan, dan kamu ke kiri. Dan
entah kamu tahu apa tidak, di tengah perjalanan, aku menyesal mengapa tak
meredam keinginanku. Karena melalui hari yang biasanya ada yang mendampingi,
tapi sekarang harus sendiri, adalah sesuatu hal yang baru sekarang aku sadari,
terasa pincang dan sepi. Biasanya jika aku merasa lelah, ada kamu yang memberi
sandaran saat aku beristirahat. Dan aku harap kamu masih ingat ketika kamu
putus asa, ada aku yang memberi semangat. Bukankah waktu itu kita saling
melengkapi? Tapi mengapa semudah itu kita memutuskan untuk sendiri-sendiri?
Gambar diambil via jojomarkojo.files.wordpress.com |
Baiklah,
baiklah. Hal itu sudah lalu. Maafkan, aku menulis ini karena masih ada
sisa-sisa penyesalan dalam diri. Masih ada sedih yang menggayuti, walaupun
perlahan dan pasti, sedih itu akan terusir pergi.
Aku tak menduga sebelumnya, jika banyak
yang menanyakan kabarmu. Menanyakan kelanjutan kisah kita, yang seolah berhenti
begitu saja di sosial media. Dan aku baru sadar, kisah-kisah bahagia kita
terekspos di sana. Sedangkan, ratapan-ratapanku selama ini hanya menggunung di
laptop. Mungkin hanya aku ambil satu kisah dua kisah untuk mempercantik tulisan
fiksi yang akan aku unggah.
Jujur, aku sekarang merindukan kamu.
Bagaimana keadaan kamu di sana? Di sini, aku telah menemukan banyak kawan baru.
Teman-teman terbaik, dan sahabat yang menemaniku menjalani hari setelah jatuh
dan terpuruk. Mereka membuatku tak ingin sekadar bangkit, tapi mereka mampu
mendorongku untuk melangkah, berjalan, bahkan berlari. Di sini, ternyata aku
bisa bahagia, meskipun tanpa kamu. Persis sama dengan yang kamu katakan padaku
kala itu.
“Sebelum bertemu denganku,
bukankah kamu bisa bahagia? Jadi, sekarang, meskipun tanpaku, aku yakin, kamu
juga bisa bahagia, Jel. Percayalah,”
Ya, aku percaya, karena selama
ini, kamu adalah pemuda yang dapat
dipercaya. Sayangnya, waktu itu, aku menangis sesenggukan, dan kamu bingung
caranya menenangkan. Aku pikir, yang kamu katakan hanyalah sebagai hiburan,
agar tangisku tak semakin hebat. Yah, meskipun faktanya, setelah kamu
mengatakan itu, air mataku makin deras. Kamu benar-benar ingin berpisah.
Sedangkan aku sangat ingin bertahan, dan
sedikit memaksakan kehendak agar kamu menuruti keinginanku.
Dan tulisan ini, khusus aku
persembahkan kepada penanya-penanya yang tampak penasaran dengan kelanjutan
kisahku bersamamu. Aku harap, kamu tidak marah saat membaca tulisan ini. Ya?
Aku mohon. Memang, ujung kisah kita tidak terlalu menyenangkan. Karena itu, baru malam ini aku mengunggahnya, saat keadaanku sudah bisa disebut 'baik-baik saja'.
Dan hingga sejauh ini, tak ada yang
lebih menyenangkan, selain bertanya kepada langit petang Jogja, apakah masih
menyimpan kisah pertemuan antara dua manusia yang akhirnya jatuh cinta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar