Sudah sejak tadi pagi aku tak sabar
ingin segera malam. Karena kemarin, abangku bilang, dia akan pulang, dan
membawa banyak buah tangan, juga sejuta cerita. Abangku yang menempuh
pendidikan kemiliteran akan pulang. Dan aku ingin mempercepat hari agar dia
lekas datang. Aku ingin segera melepas rindu yang berusaha kusimpan dengan rapi
namun tetap saja menumpuk di sudut ruang. Abangku juga bilang, jika perjalanan
lancar, dia sampai rumah pukul delapan malam. Ah, tak sabar aku menunggunya di
beranda dan membukakan pagar untuknya. Aku juga tak sabar ingin menertawakan
kepalanya yang dicukur habis ala tentara.
Pagi ini, aku berangkat sekolah
dengan semangat 45. Ingin kuhabisi hari, agar siang segera berganti. Jam pelajaran
pertama adalah olahraga. Hanya diisi pemanasan,
kemudian olahraga bebas, karena Pak Guru sedang ada kepentingan, dan hanya
dapat mengajar sampai pukul delapan. Ah, pukul delapan? Dua belas jam lagi
kakakku akan pulang. Aku semakin tak sabar.
Usai olahraga, satu jam pelajaran
bahasa Arab adalah kosong. Gurunya ada kepentingan, dan tak diberi tugas.
Semakin membuatku ingin pulang karena di sekolah tak ada kesibukan. Barulah di
jam pelajaran berikutnya adalah bahasa Inggris. Yang lagi-lagi, sang guru ada
kepentingan, dan kami hanya diberi
tugas, yang langsung kuselesaikan secara kilat. Dan pelajaran berikutnya adalah
Bimbingan Konseling, yang hanya membahas naskah drama yang telah kubuat tadi
malam. Sama sekali tak ada kesibukan yang berarti. Karena ada satu hal yang
lebih penting hari ini: menyambut abang pulang.
Sebelum dering bel, kuberesi
barang-barangku dari meja, lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku mengantisipasi
jika bel pulang sudah terdengar, aku akan ambil langkah seribu. Aku ingin
segera ke rumah, dan menyiapkan kejutan kecil untuk abangku. Abang yang selalu
membuatku rindu.
Bel pulang yang mirip klakson mobil
memenuhi gendang telinga. Jika aku sedang lomba lari, saat ini adalah aku
berjongkok untuk bersiap di garis start. Menunggu teman-teman memberesi
alat tulisnya, kemudian ketua kelas baru memimpin doa. Di garis start aku
sudah mengangkat lutut, mengambil ancang-ancang. Do’a selesai, memberi salam
pada guru, dan aku langsung melesat. Meninggalkan jauh teman-teman—atau—jika ini
lomba lari, adalah musuh-musuhku yang pontang-panting di garis start.
Sampai di rumah, aku belum merasa
berada di garis finish. Cepat-cepat aku berganti baju, lalu makan. Garis
finish bagiku hari ini adalah: pukul delapan nanti.
Aku membuka kamar kakakku. Sedikit
pengap, karena semenjak kakakku menempuh pendidikan, kamarnya jarang dimasuki.
Aku segera membuka jendela agar udara berganti, dan sinar matahari dapat menyinari.
Setelah aku membuka jendela, dengan
penerangan cahaya matahari, tampaklah kamar kakakku yang terlihat rapi, namun
berdebu. Aku langsung mengganti sprei kakakku. Sarung bantal dan guling, tak
lupa aku lucuti. Setelah beres, aku beralih ke meja belajar kakakku. Kugerakkan
kemoceng untuk mengusir debu, yang langsung membuatku bersin beberapa kali. Aku
juga mengelap kaca dan bingkai pigura foto-foto kami yang terpasang di dinding
maupun yang diletakkan di meja belajar. Sesekali aku tersenyum menatap
foto-foto itu. Kenangan masa kanak-kanak kami, tiba-tiba saja berkelebat, dan
seperti baru terjadi kemarin.
Aku memberi sentuhan terakhir di
kamar kakakku. WELCOME TO THE WAR, tertulis besar-besar di tembok. Aku terkikik menduga
ekpresi kakakku nanti. Jika dia masih SMA, aku yakin dia akan marah karena
dinding kamarnya ternoda. Tapi nanti? Aku membayangkan tatapan matanya adalah tak
percaya, kagum, heran, rindu, haru, yang bercampur-campur.
Usai membuat kejutan, aku mandi, lalu
menunggu abangku dengan nonton tv.
Pukul 6. Baru saja jarum panjang
menyentuh angka dua belas dan jarum pendek tepat di angka enam. Tiba-tiba saja
perasaanku tak enak. Tapi kuenyahkan. Mungkin ini hanya feeling kakakku nanti
bakal marah-marah karena aku mencoret-coret temboknya. Tak apa kakakku marah,
pasti tak akan lama. Atau bahkan tak kan marah sama sekali, karena tertutupi
rindu yang memuncak tinggi.
Pukul 7, ponselku bergetar. Kakakku menelepon.
Aku tersentak, dan perasaan tak enakku langsung menyergap. Kuangkat cepat-cepat
panggilan itu.
“Mas?” suara keramaian menjawab
panggilanku. Aku langsung merasa tak enak. Kuulang lagi, panggilanku, “Halo?
Mas?”
“Eh, Dik,” kakakku akhirnya
menjawab. Aku mendesah lega.
“Sudah sampai mana, Mas?” tanyaku
langsung. Tak dapat kusembunyikan nada riangku.
“Ehm....” sahut kakakku yang
langsung memunculkan perasaan gelisah.
“Mas? Baik-baik saja, kan?” tanyaku
cemas.
Keramaian kembali menyambutku. Tanpa
kusadari, ototku menegang menunggu jawaban kakakku. Agak lama, terdengar
kakakku berdeham. “Sori, Dik. Mas nggak bisa pulang. Ada sedikit insiden di
asrama,” katanya. Tubuhku langsung lemas. Melorot di sofa, bagai tak bertulang.
“Pulangku di bulan berikutnya. Sori, ya,” kakakku mendesah kecewa, sementara
aku tak sanggup menjawab. Kerongkonganku tercekat. “Bilangin sama Mama Papa,
ya, Dik,”
“Oke, Mas. Hati-hati ya, di sana,”
jawabku cepat-cepat, dan langsung aku putus. Air mataku meleleh. Harapanku menguapkan
rindu, pupus. Malam mingguku, kelabu. Kakakku tak jadi pulang. Tak ada
oleh-oleh, tak ada cerita. Harus tertunda bulan depan, dan itupun kalau
benar-benar bulan depan. Bagaimana kalau gagal seperti malam ini? Tiba-tiba
saja, garis finish itu terasa sangat jauh. Aku masih berada di tengah
lintasan, namun rasanya lelah luar biasa. Aku menyerah. Tangisku tumpah tak
terkendali, di malam minggu.
Kurang lebih pukul delapan, aku mendengar
suara bocah. Terkikik, tertawa, bersahut-sahutan. Aku yang semenjak memutuskan
sambungan telepon dari kakakku, langsung mengurung diri di kamar, merasa
sedikit terusik. Tak lama, mama memanggilku untuk keluar. Ternyata, suara bocah
itu adalah suara sepupuku yang baru datang. Masih dengan sedikit kesal, aku
membuka pintu. Sebelum menemui mereka, aku ke kamar mandi, cuci muka, menghapus
jejak air mata. Tak ingin aku ditanyai macam-macam oleh para sepupu. Aku sedang
malas menjelaskan kekecewaanku malam ini.
“Ih, baru bangun tidur ya?” cuitan
sepupu paling kecil yang ternyata menungguiku di depan kamar mandi. Aku hanya
tersenyum tipis.
“Main, yuk!” ajak sepupu yang paling
besar. Aku tak mengangguk, juga tak menggeleng. Hanya menurut ketika mereka
menggiringku ke kamarku sendiri.
Kami melakukan banyak permainan,
sampai tak terasa pukul sembilan lewat. Para sepupuku sebenarnya masih ingin
bermain, meskipun mereka berkali-kali kedapatan menguap tapi tetap keukeuh mengatakan
mereka belum mengantuk. Permainan terakhir adalah menebak dengan mata tertutup.
Sangat seru dilakukan di kamarku yang tak begitu luas, karena gampang menangkap
dan menebaknya. Jadi, si penebak dapat berganti-ganti.
Akhirnya, sepupuku paling kecil tak
kuat menahan kantuk. Sambil kelelahan, ia berjalan ke arah mamanya yang sedang
membicarakan hal seru dengan mamaku di ruang tengah. Si kecil mengantuk,
disusul kakaknya. Dan merekapun pulang.
Usai melepas kepulangan mereka dari
teras rumah, aku masuk kembali ke kamar. Membereskan kamarku yang teracak-acak
karena permainan tebak-tebakan mata tertutup tadi. Senyumku terukir.
Malam ini aku belajar, Tuhan adalah
Maha Baik. Aku sudah sibuk menyiapkan ini-itu demi kakakku, yang ternyata gagal
pulang. Jika Tuhan tidak baik, Tuhan pasti membiarkan aku diliputi rasa kecewa,
kesal, dan marah. Tapi tidak. Tuhan sangat baik. Maha Baik. Dia justru
mengirimiku para sepupu yang dapat meramaikan malam mingguku. Tanpa perlu persiapan
apapun, tanpa harus membersihkan kamar lebih dulu, aku bisa tertawa. Mendengar
celoteh mereka, menjawab pertanyaan konyol mereka, dan melihat ekspresi polos
mereka. Dan yang jelas, tanpa abangku, Tuhan tak menginginkan aku dilanda
kesepian dan kesedihan.
Jadi, Tuhan baik, kan?
Dan untuk bahagia, sederhana, kan?
Gambar diambil via mealwayssmile.files.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar