Sabtu, 31 Oktober 2015

Sederhana, kan?



            Sudah sejak tadi pagi aku tak sabar ingin segera malam. Karena kemarin, abangku bilang, dia akan pulang, dan membawa banyak buah tangan, juga sejuta cerita. Abangku yang menempuh pendidikan kemiliteran akan pulang. Dan aku ingin mempercepat hari agar dia lekas datang. Aku ingin segera melepas rindu yang berusaha kusimpan dengan rapi namun tetap saja menumpuk di sudut ruang. Abangku juga bilang, jika perjalanan lancar, dia sampai rumah pukul delapan malam. Ah, tak sabar aku menunggunya di beranda dan membukakan pagar untuknya. Aku juga tak sabar ingin menertawakan kepalanya yang dicukur habis ala tentara.
             
Pagi ini, aku berangkat sekolah dengan semangat 45. Ingin kuhabisi hari, agar siang segera berganti. Jam pelajaran pertama adalah olahraga.  Hanya diisi pemanasan, kemudian olahraga bebas, karena Pak Guru sedang ada kepentingan, dan hanya dapat mengajar sampai pukul delapan. Ah, pukul delapan? Dua belas jam lagi kakakku akan pulang. Aku semakin tak sabar.
            
 Usai olahraga, satu jam pelajaran bahasa Arab adalah kosong. Gurunya ada kepentingan, dan tak diberi tugas. Semakin membuatku ingin pulang karena di sekolah tak ada kesibukan. Barulah di jam pelajaran berikutnya adalah bahasa Inggris. Yang lagi-lagi, sang guru ada kepentingan, dan kami  hanya diberi tugas, yang langsung kuselesaikan secara kilat. Dan pelajaran berikutnya adalah Bimbingan Konseling, yang hanya membahas naskah drama yang telah kubuat tadi malam. Sama sekali tak ada kesibukan yang berarti. Karena ada satu hal yang lebih penting hari ini: menyambut abang pulang.
            
 Sebelum dering bel, kuberesi barang-barangku dari meja, lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku mengantisipasi jika bel pulang sudah terdengar, aku akan ambil langkah seribu. Aku ingin segera ke rumah, dan menyiapkan kejutan kecil untuk abangku. Abang yang selalu membuatku rindu.
            
 Bel pulang yang mirip klakson mobil memenuhi gendang telinga. Jika aku sedang lomba lari, saat ini adalah aku berjongkok untuk bersiap di garis start. Menunggu teman-teman memberesi alat tulisnya, kemudian ketua kelas baru memimpin doa. Di garis start aku sudah mengangkat lutut, mengambil ancang-ancang. Do’a selesai, memberi salam pada guru, dan aku langsung melesat. Meninggalkan jauh teman-teman—atau—jika ini lomba lari, adalah musuh-musuhku yang pontang-panting di garis start.
            
 Sampai di rumah, aku belum merasa berada di garis finish. Cepat-cepat aku berganti baju, lalu makan. Garis finish bagiku hari ini adalah: pukul delapan nanti.
             
Aku membuka kamar kakakku. Sedikit pengap, karena semenjak kakakku menempuh pendidikan, kamarnya jarang dimasuki. Aku segera membuka jendela agar udara berganti, dan sinar matahari dapat menyinari.
            
 Setelah aku membuka jendela, dengan penerangan cahaya matahari, tampaklah kamar kakakku yang terlihat rapi, namun berdebu. Aku langsung mengganti sprei kakakku. Sarung bantal dan guling, tak lupa aku lucuti. Setelah beres, aku beralih ke meja belajar kakakku. Kugerakkan kemoceng untuk mengusir debu, yang langsung membuatku bersin beberapa kali. Aku juga mengelap kaca dan bingkai pigura foto-foto kami yang terpasang di dinding maupun yang diletakkan di meja belajar. Sesekali aku tersenyum menatap foto-foto itu. Kenangan masa kanak-kanak kami, tiba-tiba saja berkelebat, dan seperti baru terjadi kemarin.
             
Aku memberi sentuhan terakhir di kamar kakakku. WELCOME TO THE WAR, tertulis  besar-besar di tembok. Aku terkikik menduga ekpresi kakakku nanti. Jika dia masih SMA, aku yakin dia akan marah karena dinding kamarnya ternoda. Tapi nanti? Aku membayangkan tatapan matanya adalah tak percaya, kagum, heran, rindu, haru, yang bercampur-campur.
           
 Usai membuat kejutan, aku mandi, lalu menunggu abangku dengan nonton tv.
             
Pukul 6. Baru saja jarum panjang menyentuh angka dua belas dan jarum pendek tepat di angka enam. Tiba-tiba saja perasaanku tak enak. Tapi kuenyahkan. Mungkin ini hanya feeling kakakku nanti bakal marah-marah karena aku mencoret-coret temboknya. Tak apa kakakku marah, pasti tak akan lama. Atau bahkan tak kan marah sama sekali, karena tertutupi rindu yang memuncak tinggi.
             
Pukul 7, ponselku bergetar. Kakakku menelepon. Aku tersentak, dan perasaan tak enakku langsung menyergap. Kuangkat cepat-cepat panggilan itu.
            
 “Mas?” suara keramaian menjawab panggilanku. Aku langsung merasa tak enak. Kuulang lagi, panggilanku, “Halo? Mas?”
            
 “Eh, Dik,” kakakku akhirnya menjawab. Aku mendesah lega.
            
 “Sudah sampai mana, Mas?” tanyaku langsung. Tak dapat kusembunyikan nada riangku.
            
 “Ehm....” sahut kakakku yang langsung memunculkan perasaan gelisah.
             
“Mas? Baik-baik saja, kan?” tanyaku cemas.
            
 Keramaian kembali menyambutku. Tanpa kusadari, ototku menegang menunggu jawaban kakakku. Agak lama, terdengar kakakku berdeham. “Sori, Dik. Mas nggak bisa pulang. Ada sedikit insiden di asrama,” katanya. Tubuhku langsung lemas. Melorot di sofa, bagai tak bertulang. “Pulangku di bulan berikutnya. Sori, ya,” kakakku mendesah kecewa, sementara aku tak sanggup menjawab. Kerongkonganku tercekat. “Bilangin sama Mama Papa, ya, Dik,”
            
 “Oke, Mas. Hati-hati ya, di sana,” jawabku cepat-cepat, dan langsung aku putus. Air mataku meleleh. Harapanku menguapkan rindu, pupus. Malam mingguku, kelabu. Kakakku tak jadi pulang. Tak ada oleh-oleh, tak ada cerita. Harus tertunda bulan depan, dan itupun kalau benar-benar bulan depan. Bagaimana kalau gagal seperti malam ini? Tiba-tiba saja, garis finish itu terasa sangat jauh. Aku masih berada di tengah lintasan, namun rasanya lelah luar biasa. Aku menyerah. Tangisku tumpah tak terkendali, di malam minggu.
              
Kurang lebih pukul delapan, aku mendengar suara bocah. Terkikik, tertawa, bersahut-sahutan. Aku yang semenjak memutuskan sambungan telepon dari kakakku, langsung mengurung diri di kamar, merasa sedikit terusik. Tak lama, mama memanggilku untuk keluar. Ternyata, suara bocah itu adalah suara sepupuku yang baru datang. Masih dengan sedikit kesal, aku membuka pintu. Sebelum menemui mereka, aku ke kamar mandi, cuci muka, menghapus jejak air mata. Tak ingin aku ditanyai macam-macam oleh para sepupu. Aku sedang malas menjelaskan kekecewaanku malam ini.
             
“Ih, baru bangun tidur ya?” cuitan sepupu paling kecil yang ternyata menungguiku di depan kamar mandi. Aku hanya tersenyum tipis.
            
 “Main, yuk!” ajak sepupu yang paling besar. Aku tak mengangguk, juga tak menggeleng. Hanya menurut ketika mereka menggiringku ke kamarku sendiri.
            
 Kami melakukan banyak permainan, sampai tak terasa pukul sembilan lewat. Para sepupuku sebenarnya masih ingin bermain, meskipun mereka berkali-kali kedapatan menguap tapi tetap keukeuh mengatakan mereka belum mengantuk. Permainan terakhir adalah menebak dengan mata tertutup. Sangat seru dilakukan di kamarku yang tak begitu luas, karena gampang menangkap dan menebaknya. Jadi, si penebak dapat berganti-ganti.
            
 Akhirnya, sepupuku paling kecil tak kuat menahan kantuk. Sambil kelelahan, ia berjalan ke arah mamanya yang sedang membicarakan hal seru dengan mamaku di ruang tengah. Si kecil mengantuk, disusul kakaknya. Dan merekapun pulang.
             
Usai melepas kepulangan mereka dari teras rumah, aku masuk kembali ke kamar. Membereskan kamarku yang teracak-acak karena permainan tebak-tebakan mata tertutup tadi. Senyumku terukir.
             
Malam ini aku belajar, Tuhan adalah Maha Baik. Aku sudah sibuk menyiapkan ini-itu demi kakakku, yang ternyata gagal pulang. Jika Tuhan tidak baik, Tuhan pasti membiarkan aku diliputi rasa kecewa, kesal, dan marah. Tapi tidak. Tuhan sangat baik. Maha Baik. Dia justru mengirimiku para sepupu yang dapat meramaikan malam mingguku. Tanpa perlu persiapan apapun, tanpa harus membersihkan kamar lebih dulu, aku bisa tertawa. Mendengar celoteh mereka, menjawab pertanyaan konyol mereka, dan melihat ekspresi polos mereka. Dan yang jelas, tanpa abangku, Tuhan tak menginginkan aku dilanda kesepian dan kesedihan.
             
Jadi, Tuhan baik, kan?
             
Dan untuk bahagia, sederhana, kan?

 Gambar diambil via mealwayssmile.files.wordpress.com

          

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini