Sabtu, 24 Oktober 2015

Hanya Sesaat



Ujian telah selesai. Aku dan kamu juga telah selesai. Tak ada lagi pesan darurat dalam kotak masukku. Tak ada lagi kiriman gambar, dan kiriman link soal latihan. Tak ada lagi denting tanda pesan masuk. Tak ada lagi kamu, yang selama empat hari mengisi malam-malamku, mengisi sela-sela belajarku. Terima kasih kamu, mengingatkanku beberapa pelajaran yang sudah kulupa. Berkatmu, buku-buku yang sudah kutumpuk rapi, harus kubuka lagi demi menjawab pertanyaanmu. Demi kamu, Tuan, yang pernah kuharap sekadar ber-Hai padaku.
             
Aku pernah melihatmu, sebelum kita berada dalam lembaga pendidikan yang sama. Aku tahu kamu, ketika tanganmu mengangkat piala bertumpuk, dan guru pembimbingmu yang berada di belakangku, tersenyum haru kepadamu sebagai juara olimpiade matematika. Berapa tahun yang lalu? Bahkan aku yakin, kamu belum tahu diriku waktu itu. Aku pun tak begitu peduli padamu, sebelum akhirnya,  aku dan kamu berada dalam sekolah yang sama, dan berada dalam organisasi yang sama.
             
Tanpa kamu tahu, jantungku pernah berdegup cepat ketika kamu berada di dekatku. Tanpa kamu tahu, aku pernah menulis tentang kamu. Tanpa kamu tahu, aku pernah menandai kalender setiap kita membahas kegiatan dalam organisasi, mengingat-ingat setiap pertemuan kita yang menurutku adalah momen spesial. Tanpa kamu tahu, dan semoga kamu masih tidak tahu, karena aku yakin, rasa ini juga cepat pergi. Mungkin, suatu saat memang kembali, tapi pasti juga akan pergi. Karena perasaan ini hanya kuanggap: sesaat. (read: sesat).
            
 Aku masih ingat betul, jantungku berdesir halus ketika kamu meraih tangan kiriku untuk melihat siang itu jam berapa. Aku tahu kamu tak bermaksud apa-apa, jadi aku tak begitu memikirkan jantungku yang berdenyut tak karuan. Aku yang waktu itu masih belajar menulis, dengan begitu berantakannya menulis tentangmu, dan dengan sangat berani mengunggah tulisan itu di blog pribadi. Beserta sandi-sandi, yang kuharap sandi-sandi itu sampai sekarang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Waktu itu pula, aku dengan ‘sok’-nya menulis akan melupakanmu mati-matian, dengan begini dan begitu, tapi nyatanya tak bisa, dan sebagainya. Padahal, dalam dunia nyata, rasa absurd saat itu, secara perlahan pergi dariku, tergantikan yang baru.
            
 Beberapa tahun setelah ‘ketertarikan’ sesaat itu, aku terkejut dengan kotak masukku yang sudah berdebu, tiba-tiba ada yang memasuki. Aku membukanya cepat-cepat, dan lebih terkejut lagi, itu pesan darimu. Memanggil namaku. Ada perlu apa? Tanyaku. Dan secara kebetulan sekali, data selular ponselku menunjukkan tanda-tanda kemacetan, memaksaku menunggu sampai pertanyaan itu sampai ke kotak masukmu. Setelah membalas dengan pertanyaan, aku meletakkan ponsel, sembari berharap pesan balasanku sampai kepadamu.

30 menit berlalu, ternyata nihil. Pesan itu gagal terkirim. Aku mendesah napas kecewa. Sumpah, detik itu, aku sangat penasaran. Kira-kira ada apa? Tak biasa-biasanya kamu mengirim pesan untukku. Ada sesuatukah? Pikiranku bahkan meracau ke masa silam, tentang perasaanku yang tak terbalas, sampai kukubur dalam-dalam. Tentang aku dan kamu yang tak pernah menjadi ‘kita’. Tentang tulisan berantakanku untukmu, tentang mimpiku yang mengganti foto profil akun facebook dengan fotoku denganmu yang tengah tersenyum lebar ke kamera, tentang....
             
Denting pesan masuk kembali terdengar. Darimu. Lagi aku tersentak, lamunanku buyar, dan aku segera mencari modem, menancapkan di laptop, dengan jantung yang berdegup kencang.
             
Beberapa detik hening setelah kamu mengatakan keperluanmu mengirim pesan untukku. Jauh meleset dari dugaanku. Benar-benar di luar pikiranku.

Pelan aku tersenyum, menghibur hatiku yang sedikit...... terluka. Dengan perasaan getir, aku menggumam, “Maafkan aku hatiku, aku terlalu berharap banyak.”
            
Kamu ternyata menanyakan soal latihan ujian. Dan sejak malam itu, kamu bertanya banyak hal. Dari buku ini, buku itu, gambar ini gambar itu, soal dari link ini dan link itu, lalu kita memperdebatkan banyak hal pula. Tentang soal ini yang menjebak, tentang gambar yang tak jelas, dan link yang mengatakan soal itu adalah bocoran soal ujian nasional. Aku tahu kamu cerdas, jadi kamu tak akan cepat berkata “Iya.” jika aku tak menjelaskan dengan gamblang bagaimana aku memperolah jawaban dari soal tersebut. Lagi aku menghibur hatiku, “Saat ini, Tuhan memberiku kesempatan untuk berdebat dengannya. Bukankah dulu, aku berharap hanya sapaan ‘Hai’ darinya?”

Ah, tapi, tenanglah, Tuan. Degup jantung yang kencang ini, desir halus ini, akan cepat hilang. Usai ujian nasional, selesai perdebatan panjang kita, aku yakin, perasaan ini juga akan hilang. Karena apa? Karena hanya sesaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini