Ujian telah
selesai. Aku dan kamu juga telah selesai. Tak ada lagi pesan darurat dalam
kotak masukku. Tak ada lagi kiriman gambar, dan kiriman link soal latihan. Tak
ada lagi denting tanda pesan masuk. Tak ada lagi kamu, yang selama empat hari
mengisi malam-malamku, mengisi sela-sela belajarku. Terima kasih kamu,
mengingatkanku beberapa pelajaran yang sudah kulupa. Berkatmu, buku-buku yang
sudah kutumpuk rapi, harus kubuka lagi demi menjawab pertanyaanmu. Demi kamu,
Tuan, yang pernah kuharap sekadar ber-Hai padaku.
Aku pernah melihatmu, sebelum kita
berada dalam lembaga pendidikan yang sama. Aku tahu kamu, ketika tanganmu
mengangkat piala bertumpuk, dan guru pembimbingmu yang berada di belakangku,
tersenyum haru kepadamu sebagai juara olimpiade matematika. Berapa tahun yang
lalu? Bahkan aku yakin, kamu belum tahu diriku waktu itu. Aku pun tak begitu
peduli padamu, sebelum akhirnya, aku dan
kamu berada dalam sekolah yang sama, dan berada dalam organisasi yang sama.
Tanpa kamu tahu, jantungku pernah
berdegup cepat ketika kamu berada di dekatku. Tanpa kamu tahu, aku pernah
menulis tentang kamu. Tanpa kamu tahu, aku pernah menandai kalender setiap kita
membahas kegiatan dalam organisasi, mengingat-ingat setiap pertemuan kita yang
menurutku adalah momen spesial. Tanpa kamu tahu, dan semoga kamu masih tidak
tahu, karena aku yakin, rasa ini juga cepat pergi. Mungkin, suatu saat memang
kembali, tapi pasti juga akan pergi. Karena perasaan ini hanya kuanggap:
sesaat. (read: sesat).
Aku masih ingat betul, jantungku
berdesir halus ketika kamu meraih tangan kiriku untuk melihat siang itu jam
berapa. Aku tahu kamu tak bermaksud apa-apa, jadi aku tak begitu memikirkan
jantungku yang berdenyut tak karuan. Aku yang waktu itu masih belajar menulis,
dengan begitu berantakannya menulis tentangmu, dan dengan sangat berani
mengunggah tulisan itu di blog pribadi. Beserta sandi-sandi, yang kuharap
sandi-sandi itu sampai sekarang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Waktu itu pula,
aku dengan ‘sok’-nya menulis akan melupakanmu mati-matian, dengan begini dan
begitu, tapi nyatanya tak bisa, dan sebagainya. Padahal, dalam dunia nyata,
rasa absurd saat itu, secara perlahan pergi dariku, tergantikan yang baru.
Beberapa tahun setelah ‘ketertarikan’
sesaat itu, aku terkejut dengan kotak masukku yang sudah berdebu, tiba-tiba ada
yang memasuki. Aku membukanya cepat-cepat, dan lebih terkejut lagi, itu pesan
darimu. Memanggil namaku. Ada perlu apa? Tanyaku. Dan secara kebetulan sekali,
data selular ponselku menunjukkan tanda-tanda kemacetan, memaksaku menunggu
sampai pertanyaan itu sampai ke kotak masukmu. Setelah membalas dengan
pertanyaan, aku meletakkan ponsel, sembari berharap pesan balasanku sampai
kepadamu.
30
menit berlalu, ternyata nihil. Pesan itu gagal terkirim. Aku mendesah napas
kecewa. Sumpah, detik itu, aku sangat penasaran. Kira-kira ada apa? Tak
biasa-biasanya kamu mengirim pesan untukku. Ada sesuatukah? Pikiranku bahkan
meracau ke masa silam, tentang perasaanku yang tak terbalas, sampai kukubur
dalam-dalam. Tentang aku dan kamu yang tak pernah menjadi ‘kita’. Tentang
tulisan berantakanku untukmu, tentang mimpiku yang mengganti foto profil akun
facebook dengan fotoku denganmu yang tengah tersenyum lebar ke kamera,
tentang....
Denting pesan masuk kembali
terdengar. Darimu. Lagi aku tersentak, lamunanku buyar, dan aku segera mencari
modem, menancapkan di laptop, dengan jantung yang berdegup kencang.
Beberapa detik hening setelah kamu
mengatakan keperluanmu mengirim pesan untukku. Jauh meleset dari dugaanku.
Benar-benar di luar pikiranku.
Pelan
aku tersenyum, menghibur hatiku yang sedikit...... terluka. Dengan
perasaan getir, aku menggumam, “Maafkan aku hatiku, aku terlalu berharap
banyak.”
Kamu ternyata menanyakan soal
latihan ujian. Dan sejak malam itu, kamu bertanya banyak hal. Dari buku ini,
buku itu, gambar ini gambar itu, soal dari link ini dan link itu, lalu kita
memperdebatkan banyak hal pula. Tentang soal ini yang menjebak, tentang gambar
yang tak jelas, dan link yang mengatakan soal itu adalah bocoran soal ujian
nasional. Aku tahu kamu cerdas, jadi kamu tak akan cepat berkata “Iya.” jika
aku tak menjelaskan dengan gamblang bagaimana aku memperolah jawaban dari soal
tersebut. Lagi aku menghibur hatiku, “Saat ini, Tuhan memberiku kesempatan untuk
berdebat dengannya. Bukankah dulu, aku berharap hanya sapaan ‘Hai’ darinya?”
Ah,
tapi, tenanglah, Tuan. Degup jantung yang kencang ini, desir halus ini, akan
cepat hilang. Usai ujian nasional, selesai perdebatan panjang kita, aku yakin,
perasaan ini juga akan hilang. Karena apa? Karena hanya sesaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar