Maafkan aku
yang membuat percakapan ringan kita berubah serius. Maafkan aku yang tak bisa
lebih lama memendam perasaan yang sekian lama terkubur dalam. Maafkan aku yang
mengubah senyummu malam ini, menjadi berlipat-lipat kerutan di kening. Sungguh,
aku tak bermaksud membuatmu berpikir keras. Aku hanya ingin mengungkapkan
perasaaanku selama ini. Aku hanya ingin memberitahu bahwa sudah lama aku
menyiapkan satu tempat di hatiku, khusus untukmu.
Kamu pikir, setelah aku mengatakan
itu, aku akan tertawa kencang. Tapi nyatanya, aku diam, menatapmu dalam,
berharap kamu segera paham bahwa apa yang aku katakan bukan gurauan.
Hei, yang aku katakan ini serius.
Aku menyukaimu, lebih dari kamu menyukainya. Aku mengenalmu lebih lama dari dia
mengenalmu. Aku mengenalmu sejak kita masih bocah. Bukankah kamu masih ingat, dulu, kita setiap hari bermain bersama?
Menghabiskan siang di poskamling samping rumahmu, mengisi malam dengan belajar
mengaji di masjid dekat rumahku, dan ya, tentu saja bersama teman sebaya pula.
Tak hanya kita berdua. Bagaimana mau berdua, aku melihatmu saja, membuat
jantungku berdegup tak karuan. Bahkan sampai sekarang, tak berani aku
mengajakmu keluar rumah hanya berdua.
Aku tak seperti dia yang sering
mengajakmu makan di luar atau membelikanmu boneka dan cokelat. Aku bukan dia
yang dapat membuatmu tersenyum lebar, hanya dengan berada di beranda rumah. Aku
bukan dia yang sering kamu ceritakan di mana saja, dan kamu bangga-banggakan
bagaimanapun keadaannya.
Tahukah kamu, aku begitu bahagia
ketika kamu mengirim pesan singkat di ponsel pertamaku? Yah, meskipun akhirnya
kamu memilih berkirim pesan singkat dengan yang lain.
Semakin kita besar, semakin besar
perbedaan di antara kita. Kamu, masih dengan senyum semanis dulu, dapat dengan
mudah mendapat teman dimana saja. Termasuk dia yang sekarang mengisi hatimu.
Sedangkan aku, bukan siswa paling pintar dan tampan yang dapat menggaet dirimu.
Hanya siswa penggenap absensi di kelas, bagaimana mungkin mendapatkan gadis
sebaik kamu?
Kita pernah berada dalam satu kelas.
Kamu, seperti yang aku ceritakan, bersenyum manis, baik, dan kamu semakin
pintar. Sedangkan aku, seperti yang aku katakan, hanya siswa penggenap absensi.
Aku tak seperti dirimu yang dapat beradaptasi dengan mudah terhadap suasana
baru. Aku hanya dapat tersenyum malu dan menunduk jika ada yang bertanya
sesuatu. Aku yang akhirnya jadi bahan ejekan teman satu kelas, bagaimana
mungkin mendapatkan gadis seramah kamu?
Entah, aku tak tahu siapa yang
memulai, di tahun kedua kita satu kelas, teman satu kelas mencocok-cocokkan
kita. Apakah kamu tahu, dalam hatiku aku sangat bahagia? Dibalik aku menunduk,
jantungku berdegup. Dibalik aku tersenyum malu, aku mau. Tapi bagaimana
reaksimu? Kamu malu luar biasa. Kamu jengkel luar biasa, dan ingin membekap satu-satu
mulut teman-teman agar tak berani lagi menjodohkan kita. Hingga kamu sendiri
lelah, dan entah bagaimana caranya, kamu mengubah emosimu menjadi senyuman.
Bahkan di akhir tahun kita satu kelas, kamu justru sering meladeni ejekan
teman-teman sebagai gurauan. Dan tanpa kamu tahu, diam-diam aku merapal do’a,
semoga, teriakan teman-teman tentang kita, terjadi di masa depan.
Aku hanya siswa pemalu, bukan si
pintar, atau si tampan. Maafkan aku yang telah berani jatuh hati padamu.
Padahal, sudah kubilang kepada hatiku, aku tak pantas memilikimu.
Ini dariku,
teman kecilmu, yang jatuh hati padamu.
Gambar diambil via teman kecil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar