Minggu, 16 Agustus 2015

Untuk Temanku, yang Selalu Menganggapku Teman



Maafkan aku yang membuat percakapan ringan kita berubah serius. Maafkan aku yang tak bisa lebih lama memendam perasaan yang sekian lama terkubur dalam. Maafkan aku yang mengubah senyummu malam ini, menjadi berlipat-lipat kerutan di kening. Sungguh, aku tak bermaksud membuatmu berpikir keras. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaaanku selama ini. Aku hanya ingin memberitahu bahwa sudah lama aku menyiapkan satu tempat di hatiku, khusus untukmu.
             
Kamu pikir, setelah aku mengatakan itu, aku akan tertawa kencang. Tapi nyatanya, aku diam, menatapmu dalam, berharap kamu segera paham bahwa apa yang aku katakan bukan gurauan.
            
 Hei, yang aku katakan ini serius. Aku menyukaimu, lebih dari kamu menyukainya. Aku mengenalmu lebih lama dari dia mengenalmu. Aku mengenalmu sejak kita masih bocah. Bukankah kamu masih ingat,  dulu, kita setiap hari bermain bersama? Menghabiskan siang di poskamling samping rumahmu, mengisi malam dengan belajar mengaji di masjid dekat rumahku, dan ya, tentu saja bersama teman sebaya pula. Tak hanya kita berdua. Bagaimana mau berdua, aku melihatmu saja, membuat jantungku berdegup tak karuan. Bahkan sampai sekarang, tak berani aku mengajakmu keluar rumah hanya berdua.
            
Aku tak seperti dia yang sering mengajakmu makan di luar atau membelikanmu boneka dan cokelat. Aku bukan dia yang dapat membuatmu tersenyum lebar, hanya dengan berada di beranda rumah. Aku bukan dia yang sering kamu ceritakan di mana saja, dan kamu bangga-banggakan bagaimanapun keadaannya.
             
Tahukah kamu, aku begitu bahagia ketika kamu mengirim pesan singkat di ponsel pertamaku? Yah, meskipun akhirnya kamu memilih berkirim pesan singkat dengan yang lain.
             
Semakin kita besar, semakin besar perbedaan di antara kita. Kamu, masih dengan senyum semanis dulu, dapat dengan mudah mendapat teman dimana saja. Termasuk dia yang sekarang mengisi hatimu. Sedangkan aku, bukan siswa paling pintar dan tampan yang dapat menggaet dirimu. Hanya siswa penggenap absensi di kelas, bagaimana mungkin mendapatkan gadis sebaik kamu?
            
Kita pernah berada dalam satu kelas. Kamu, seperti yang aku ceritakan, bersenyum manis, baik, dan kamu semakin pintar. Sedangkan aku, seperti yang aku katakan, hanya siswa penggenap absensi. Aku tak seperti dirimu yang dapat beradaptasi dengan mudah terhadap suasana baru. Aku hanya dapat tersenyum malu dan menunduk jika ada yang bertanya sesuatu. Aku yang akhirnya jadi bahan ejekan teman satu kelas, bagaimana mungkin mendapatkan gadis seramah kamu?
            
Entah, aku tak tahu siapa yang memulai, di tahun kedua kita satu kelas, teman satu kelas mencocok-cocokkan kita. Apakah kamu tahu, dalam hatiku aku sangat bahagia? Dibalik aku menunduk, jantungku berdegup. Dibalik aku tersenyum malu, aku mau. Tapi bagaimana reaksimu? Kamu malu luar biasa. Kamu jengkel luar biasa, dan ingin membekap satu-satu mulut teman-teman agar tak berani lagi menjodohkan kita. Hingga kamu sendiri lelah, dan entah bagaimana caranya, kamu mengubah emosimu menjadi senyuman. Bahkan di akhir tahun kita satu kelas, kamu justru sering meladeni ejekan teman-teman sebagai gurauan. Dan tanpa kamu tahu, diam-diam aku merapal do’a, semoga, teriakan teman-teman tentang kita, terjadi di masa depan.
            
Aku hanya siswa pemalu, bukan si pintar, atau si tampan. Maafkan aku yang telah berani jatuh hati padamu. Padahal, sudah kubilang kepada hatiku, aku tak pantas memilikimu.

Ini dariku, teman kecilmu, yang jatuh hati padamu.

 Gambar diambil via teman kecil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini