Jumat, 22 Mei 2015

Setelah Aku Memilih Pergi



Merindukanmu di malam-malam seperti ini, sebenarnya sudah biasa kulakukan. Lalu, tanganku tergerak untuk kembali menekunimu melalui dunia maya. Kadang-kadang tersenyum melihat fotomu yang terlihat kocak dengan kaos warna favoritmu yang belum berubah dari dulu: biru. Yang berubah adalah, kamu sekarang sibuk dengan group musikmu yang karirnya semakin menanjak, dan aku yang sekarang sibuk belajar, pengayaan, dan les. Selain itu, semuanya masih sama. Kamu yang di sana, dan aku yang di sini. Tak pernah satu, meskipun tak pernah terlibat pertengkaran satu pun.
            
 Tak pernah aku menanyakan kabarmu. Apakah kamu baik-baik saja setelah aku memilih pergi dari hidupmu karena aku pikir, kamu tak akan menangis hanya karena aku sudah tak berada di sampingmu. Bukankah, selama ini aku tak berarti bagimu? Untuk apa kamu mencariku, jika saat aku masih berada di depanmu, kamu tak menampakkan hal spesial satu pun? Bukankah itu tandanya aku sama sekali tak istimewa di hidupmu? Tak perlu, kan, aku berharap tinggi-tinggi?
            
 Dulu, aku sering berharap, bahwa pertemuan pertama kita diikuti pertemuan-pertemuan selanjutnya. Lalu, kita mengambil hubungan yang lebih serius, macam pacaran. Tanpa hambatan jarak, satu minggu sekali bisa bertemu, saling mendukung, saling mengingatkan untuk sholat dan makan, jangan lupa belajar, jangan lupa istirahat, dan upload foto dengan pose kocak hanya berdua. Tapi kenyataannya berbeda. Semakin aku dan kamu beranjak dewasa, kupikir, harapanku itu lebih baik dibakar, jadi abu, lalu ditertawakan kencang-kencang.
            
 Pertemuan demi pertemuan yang berakhir pada pertemuan kesembilanbelas. Aku memilih sibuk dengan sekolah, dan kamu semakin sibuk dengan bandmu. Aku sibuk dengan organisasi sekolahku, dan kamu sibuk dengan komunitas musik ternama di kota. Aku dan kamu akhirnya benar-benar sibuk, hingga tak pernah memikirkan satu sama lain. Asal kamu tahu, aku masih sering merindukan kamu, seperti malam ini. Padahal, aku sudah sering berkata kepada diriku sendiri bahwa kamu tak lebih dari seorang pemuda yang dulu kucintai ketika usiamu menginjak remaja. Ketika aku yang sok-sok an jadi penulis melankolis, menuliskan dirimu sebagai pemuda yang sudah kuliah, lalu jatuh cinta pada gadis berseragam SMA.
             
Tapi cerita itu tinggalah cerita yang mengendap dalam memori laptopku. Berkapasitas 17,9 KB, yang mungkin, jika aku sudah merasa cerita itu tak perlu berlanjut, kiranya sudah usang, biarlah file itu terhapus. Tak perlu ditampung dalam tempat sampah. Pokoknya langsung lenyap, tak berbekas. Agar kamu tidak sering hinggap. Agar pertemuan-pertemuan kita semakin mudah dilupakan. Agar aku tak lagi merindukanmu di malam-malam begini, padahal aku besok harus ke sekolah jam enam pagi. Agar aku tak seperti perempuan bodoh yang begitu mengharapkan pemuda yang sama sekali tak mengistimewakan aku di hidupnya. 

Iya, iya, aku mengaku. Aku sangat merindukan kamu. Bukankah sudah kusebut di awal tulisan ini?
            
 Ingin aku membekukan perjumpaan pertama kita. Ingin aku mengabadikan pertama kali kita saling tatap. Ingin aku kembali ke masa-masa aku yang setiap hari tersenyum lebar, karena aku tahu, setiap hari itulah aku bisa memandangmu. Setiap hari aku bisa melihatmu lekat-lekat, menertawakan tawamu, ikut tersenyum saat kamu tersenyum, sedikit mengumpat saat ada yang pura-pura minta bantuanmu dalam rangka modus, sampai pertemuan kita yang terakhir, satu senyum milikku, dan satu senyum milikmu, benar-benar dihentikan oleh fotografi. Yang kini kupajang berukuran 10 R di ruang tamu rumah.
            
 Jika ada yang bertanya, “Itu siapa?” maka, aku akan menjawab dengan bangga, “Itu teman baikku,” lalu menambahkan dalam hati, ‘tapi juga jahat karena telah buatku jatuh cinta’.

Sekarang, aku sibuk memperjuangkan hatiku yang rasanya terus hancur saat menyadari bahwa  pertemuan kita harus terhenti. Saat kamu harus sendiri, dan aku harus sendiri. Saat aku dan kamu tak lagi dapat bertemu. Dan kamu biasa-biasa saja dengan itu, sedangkan aku perlu waktu untuk menormalkan hati dan pikiranku bahwa kamu bukan milikku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini