Merindukanmu di
malam-malam seperti ini, sebenarnya sudah biasa kulakukan. Lalu, tanganku
tergerak untuk kembali menekunimu melalui dunia maya. Kadang-kadang tersenyum
melihat fotomu yang terlihat kocak dengan kaos warna favoritmu yang belum
berubah dari dulu: biru. Yang berubah adalah, kamu sekarang sibuk dengan
group musikmu yang karirnya semakin menanjak, dan aku yang sekarang sibuk
belajar, pengayaan, dan les. Selain itu, semuanya masih sama. Kamu yang di
sana, dan aku yang di sini. Tak pernah satu, meskipun tak pernah terlibat
pertengkaran satu pun.
Tak pernah aku menanyakan kabarmu.
Apakah kamu baik-baik saja setelah aku memilih pergi dari hidupmu karena aku
pikir, kamu tak akan menangis hanya karena aku sudah tak berada di sampingmu.
Bukankah, selama ini aku tak berarti bagimu? Untuk apa kamu mencariku, jika
saat aku masih berada di depanmu, kamu tak menampakkan hal spesial satu pun?
Bukankah itu tandanya aku sama sekali tak istimewa di hidupmu? Tak perlu, kan,
aku berharap tinggi-tinggi?
Dulu, aku sering berharap, bahwa
pertemuan pertama kita diikuti pertemuan-pertemuan selanjutnya. Lalu, kita
mengambil hubungan yang lebih serius, macam pacaran. Tanpa hambatan jarak, satu
minggu sekali bisa bertemu, saling mendukung, saling mengingatkan untuk sholat
dan makan, jangan lupa belajar, jangan lupa istirahat, dan upload foto dengan
pose kocak hanya berdua. Tapi kenyataannya berbeda. Semakin aku dan kamu
beranjak dewasa, kupikir, harapanku itu lebih baik dibakar, jadi abu, lalu
ditertawakan kencang-kencang.
Pertemuan demi pertemuan yang berakhir pada pertemuan kesembilanbelas. Aku memilih sibuk dengan
sekolah, dan kamu semakin sibuk dengan bandmu. Aku sibuk dengan organisasi
sekolahku, dan kamu sibuk dengan komunitas musik ternama di kota. Aku dan kamu
akhirnya benar-benar sibuk, hingga tak pernah memikirkan satu sama lain. Asal
kamu tahu, aku masih sering merindukan kamu, seperti malam ini. Padahal, aku
sudah sering berkata kepada diriku sendiri bahwa kamu tak lebih dari seorang
pemuda yang dulu kucintai ketika usiamu menginjak remaja. Ketika aku yang
sok-sok an jadi penulis melankolis, menuliskan dirimu sebagai pemuda yang sudah
kuliah, lalu jatuh cinta pada gadis berseragam SMA.
Tapi cerita itu tinggalah cerita
yang mengendap dalam memori laptopku. Berkapasitas 17,9 KB, yang mungkin, jika
aku sudah merasa cerita itu tak perlu berlanjut, kiranya sudah usang, biarlah
file itu terhapus. Tak perlu ditampung dalam tempat sampah. Pokoknya langsung
lenyap, tak berbekas. Agar kamu tidak sering hinggap. Agar pertemuan-pertemuan
kita semakin mudah dilupakan. Agar aku tak lagi merindukanmu di malam-malam
begini, padahal aku besok harus ke sekolah jam enam pagi. Agar aku tak seperti
perempuan bodoh yang begitu mengharapkan pemuda yang sama sekali tak
mengistimewakan aku di hidupnya.
Iya, iya, aku mengaku. Aku sangat
merindukan kamu. Bukankah sudah kusebut di awal tulisan ini?
Ingin aku membekukan perjumpaan
pertama kita. Ingin aku mengabadikan pertama kali kita saling tatap. Ingin aku
kembali ke masa-masa aku yang setiap hari tersenyum lebar, karena aku tahu, setiap
hari itulah aku bisa memandangmu. Setiap hari aku bisa melihatmu lekat-lekat,
menertawakan tawamu, ikut tersenyum saat kamu tersenyum, sedikit mengumpat saat
ada yang pura-pura minta bantuanmu dalam rangka modus, sampai pertemuan kita
yang terakhir, satu senyum milikku, dan satu senyum milikmu, benar-benar
dihentikan oleh fotografi. Yang kini kupajang berukuran 10 R di ruang tamu
rumah.
Jika ada yang bertanya, “Itu siapa?”
maka, aku akan menjawab dengan bangga, “Itu teman baikku,” lalu menambahkan dalam
hati, ‘tapi juga jahat karena telah buatku jatuh cinta’.
Sekarang,
aku sibuk memperjuangkan hatiku yang rasanya terus hancur saat menyadari bahwa pertemuan kita harus terhenti. Saat kamu harus
sendiri, dan aku harus sendiri. Saat aku dan kamu tak lagi dapat bertemu. Dan
kamu biasa-biasa saja dengan itu, sedangkan aku perlu waktu untuk menormalkan
hati dan pikiranku bahwa kamu bukan milikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar