Baiklah,
ini salah saya. Saya yang mengharapmu kembali, tapi setelah kamu datang lagi,
saya membiarkanmu pergi. Ya, ini salah saya. Sama sekali kamu tak perlu merasa
resah atau bersalah karena ini. Kamu tak ada sangkut pautnya dengan kesalahan
ini. Bukan kamu yang salah, tapi aku. Aku yang patut disalahkan.
Selama ini, aku selalu mencarimu, kabarmu,
ceritamu, kisahmu, semua tentang kamu. Bukan sekedar kamu baik-baik saja, tapi
juga sedang bersama siapakah kamu sekarang. Aku tak mau munafik dengan mengatakan
aku akan baik-baik saja asal kamu bahagia walaupun bersama orang lain entah
siapa. Aku sakit, sangat sakit, mengetahui kamu telah menjalin hubungan entah
dengan wanita mana. Aku mengaku bahagia ketika kabar terbaru darimu, bahwa kamu
sudah tak lagi menjalin hubungan dengan wanita itu, kamu lebih memilih fokus
dengan karirmu. Aku tak bisa bohong; aku sangat bahagia dengan hal itu.
Tapi bukan itu yang jadi poin
tulisanku. Ehm, aku.... aku... kecewa. Kecewa terhadap diriku sendiri yang ketika
kamu kembali, aku hanya mampu menatapmu, melihat senyummu dari jauh, dan
menjadi pengagummu dalam diam. Ini sedikit menyakitkan, meski juga
mengasyikkan. Mengasyikkan karena aku bebas menulis apapun tentang kamu tanpa
kamu tahu, tapi menyakitkan ketika aku tak bisa apa-apa ketika melihatmu.
Harusnya aku tak perlu canggung, toh kamu tak tahu perasaan ini. Harusnya aku
tak perlu malu-malu berjalan ke arahmu, menepuk pundakmu lalu menyapamu,
mengucap sepotong “Hai” padamu, dan bertingkah seolah rasa itu sama sekali tak
ada. Sayangnya aku bodoh. Aku hanya diam, melihatmu sekilas jika kita dalam
jarak dekat, dan akan menatapmu sepuas-puasnya jika jarak kita berjauhan.
Aku salah, memang. Entah mengapa
sifatku terlalu diam, pemalu, dan penutup. Tak sepertimu yang begitu ramah
kepada semua orang, termasuk padaku, di awal perkenalan kita. Awal perkenalan
kita? Tentu saja aku masih ingat. Sudah berkali-kali aku menuliskannya, tapi
tidak pernah aku unggah ke blog pribadi. Aku takut kamu masih ingat, dan
akhirnya kamu tahu siapa penggemarmu yang memilih bersembunyi ini. Aku juga
masih ingat, ketika kamu bergurau dengan menceritakan awal perkenalan kita via
BBM. Jujur, saat kamu bercerita hal itu, jantungku berdegup cepat. Apakah
ingatanmu setajam itu? Kalau memang ingatanmu kuat, baiklah, tak apa. Aku takut
jika ingatanmu tidak setajam yang kukira. Itu berarti, kamu sengaja mengingat,
dan jika sengaja mengingat berarti aku istimewa...... bagimu?
Jika aku percaya opsi kedua, sama
saja aku menciptakan harapan kosong untuk diriku sendiri. Bukan darimu. Jadi,
kamu tak layak menyandang gelar ‘Pemberi Harapan Palsu’. Aku sendiri yang
menyakiti diriku sendiri dengan harapan kosong itu. Ya, aku salah. Memang aku
yang salah.
Pikiran rasionalku bilang, aku harus
percaya pada pilihan pertama bahwa ingatanmu memang tajam. Kamu mampu mengingat
dengan baik wajah juga nama orang, serta kejadian bersama orang-orang di
sekitarmu. Jadi, wajar-wajar saja kalau kamu ingat awal perkenalan kita. Itu
bukan sesuatu yang spesial. Karena tentu kamu tak hanya mengingat tentangku, tapi
juga tentang teman-temanmu.
Membicarakan awal perkenalan kita,
sungguh, mungkin itu tak seperti awal perkenalan orang kebanyakan. Sebelum kamu
mengulurkan tangan dan aku menerimanya, terlebih dulu aku mengagumimu. Apalagi
setelah perkenalan singkat itu, rasa kagumku kepadamu kian bertambah. Semakin
hari semakin banyak, dan kuharapkan segera meledak, agar aku tak perlu
repot-repot menyimpan rasa itu. Sayangnya, sampai sekarang, kagum itu tak
kunjung meledak. Hanya terkadang menyusut karena kita tak lagi bertemu karena
aku fokus ujian akhirku, dan kamu fokus karirmu. Aku percaya kamu fokus pada
karirmu ketika kamu memutuskan hubungan dengan wanita itu, dan itu membuatku
begitu bahagia.
Sekian lama kita tak berjumpa,
kupikir rasa itu benar-benar pergi. History chat kita terhitung paling
akhir adalah dua bulan yang lalu. PM darimu tak pernah ada, DP-mu juga belum
kamu ganti. Status facebook maupun di twitter juga tak pernah muncul di beranda
dan timeline. Dan semua itu cukup membantuku untuk menyusutkan perasaan itu.
Sayangnya aku salah sangka. Sangat
salah. Perasaan itu hanya menyusut, bukan menghilang. Jadi, begini, ibaratkan
perasaanku padamu adalah balon. Saat aku bertemu denganmu, adalah udara yang
dipompa ke dalam balon. Ditambah percakapan ringan kita secara langsung maupun
hanya via BBM, itu sama saja memompa udara ke dalam balon. Tentu saja
balon itu semakin besar, bukan? Ya, semakin menggelembung besar. Kemudian,
setelah kita memilih fokus pada jalan masing-masing, itu seperti, balon yang
dibiarkan. Lama-lama dia akan menyusut, mengecil. Tapi, menjadi kecil, bukan
berarti dia hilang, kan? Dia masih bisa dipompa, pun juga bisa menjadi besar.
Jadi, tolong, bantu aku meledakkan
balon itu. Meledakkan rasa itu. Agar balon itu hilang—rasa itu turut lenyap.
Dan entahlah, bagaimana Tuhan
merancang pertemuan untuk kita setelah sekian lama. Tanpa sengaja aku
melihatmu, dan kamu menatapku. Tanpa kata. Diam. Kamu bersama teman-temanmu,
dan aku bersama teman-temanku. Sampai tanganmu ditarik temanmu, lalu
pandanganmu teralihkan, aku tak kunjung melambai ke arahmu, apalagi berjalan ke
arahmu. Tersenyumpun tidak. Hingga temanmu mengajak pulang, dan aku masih di
sini bersama teman-temanku, tak ada satupun kata yang keluar dari mulutku pun
bibirmu. Kita diam, seolah tak saling kenal. Padahal, jauh di dalam hatiku,
rasa itu kembali. Membumbung, bahkan kali ini lebih hebat. Balon itu
menggelembung lebih besar.
Mungkin karena aku terlalu sering
membaca novel dan cerita, yang sebagian besar, cinta dari dua pemeran utama
tidak bertepuk sebelah tangan, meskipun mereka hanya saling diam, toh di akhir
cerita, mereka disatukan. Terus dan terus saja otakku berpikir seperti itu. Pun
dalam drama yang akhir-akhir ini kugemari, walaupun pemeran utama saling diam,
keduanya akan disatukan. Jadi, aku terus berharap bahwa, meskipun saat ini aku
fokus dengan sekolahku dan kamu fokus pada karirmu, akhirnya kita disatukan.
Tapi kita? Bukan dalam novel maupun
drama. Aku dan kamu berada dalam dunia nyata. Aku tak mampu membaca pikiranmu,
pun kamu tak tahu apa mauku. Aku dan kamu juga tak tahu, apakah kita
benar-benar pemeran utama dalam satu cerita atau berbeda kisah. Dan harus
kuakui bahwa aku tengah berharap, semoga aku dan kamu adalah tokoh utama dalam
satu cerita yang telah Tuhan rancang.
Untukmu yang kuharapkan kembali,
tapi setelah datang justru kubiarkan pergi, maafkan aku yang terlalu pengecut
untuk memulai percakapan ringan denganmu. Maafkan aku yang seolah menganggapmu
tak ada. Maafkan aku yang tak sebaik kamu, ramah kepada semua orang. Maafkan
aku. Sungguh, aku menyesal. Sangat.
Dan untuk hatiku, maafkan aku yang
akhirnya menciptakan pisau kecil yang runcing, dan akhirnya menusuk. Sakit,
tentu. Aku juga merasakannya. Maafkan aku.
Eaaa -_-
BalasHapusHehe. Kenapa dek?
BalasHapus