Pacitan, 16
April 2015. 16:56.
Hai,
selamat siang menjelang sore, kamu. Boleh, kan, aku mengingat lalu merindukanmu
lagi? Ya, memang, cukup sering aku melakukan ini. Dan aku tak akan mohon izin
untuk sekali ini, karena sepertinya, mengingat dirimu tak hanya sekali dua
kali. Bisa dalam ratusan kali.
Ngomong-ngomong, masih ingatkah kamu
kepada gadis yang mampu menebak hobimu tanpa dia bertanya atau kamu beritahu
lebih dulu? Masih ingatkah kamu kepada gadis yang suka sekali menonton sepak
bola sampai-sampai kautanyai jadwal pertandingan klub favoritmu? Aku tahu
kesibukanmu kala itu, sampai aku rela mencatat jadwal tanding salah satu klub
yang bukan jagoanku. Iya, Chelsea. Waktu itu kamu tak sempat nonton tv, karena
sibuk luar biasa dengan pekerjaanmu yang menguras tenaga. Nonton bola pun harus
rela kamu kesampingkan. Dan waktu itu pula, kamu mengucap banyak-banyak terima
kasih padaku karena telah memberi info yang tepat dan akurat, meski aku tahu,
tentu dari banyak pertandingan yang aku kirim untukmu itu, hanya satu-dua yang
kamu tonton.
Sejauh ini, jika ada gadis yang
seperti itu atau bahkan lebih dari itu, beritahu aku. Aku tak kan marah, hanya
sedikit kecewa karena aku tak mampu berbuat lebih dari itu. Aku gadis yang hanya
mampu mengungkap perasaan lewat rangkaian kata yang biasanya aku sandi
banyak-banyak agar hanya kamu yang mengerti. Hanya gadis pemalu yang pernah
memujamu dan sempat mendapatkan hatimu. Tak lebih dari itu.
Sedangkan kamu, pemuda pujaan banyak
wanita. Tetap ramah meskipun banyak penggemar. Pekerja keras yang aku tahu sudah
berbuah tabungan di bank. Dulu, jerih payahmu belum sempat kamu sisihkan karena
untuk menebus motor barumu yang bahkan sekarang sudah ganti lagi keluaran
terbaru. Ponselmu yang dulu sering aku bajak untuk bermain Bounce pun sudah
ganti beberapa kali. Ehm, ponselmu yang sekarang ini apa ya? Aku belum
merasakan layar sentuhnya. Belum tahu fitur canggih apa di dalamnya. Ah, tapi tak
apa. Aku bukan gadis penggila ponsel baru milik orang. Kamu tahu itu, kan?
Kamu tersenyum ketika aku mengatakan
itu, dulu. Entah sekarang, masih tersenyum atau biasa saja ketika membaca ini.
Sore ini mendung. Tadi sempat
gerimis lalu hujan, gerimis lagi, lalu berhenti tak ada air dari langit sama
sekali. Tapi masih menyisakan mendung di langit.
Apakah kamu masih ingat, kita pernah
menerobos gerimis di sore hari? Berteduh di teras minimarket dengan rambut
setengah basah, kemudian kita tertawa sampai beberapa pegawai minimarket
geleng-geleng kepala. Ingat tidak? Jika tidak, aku ingatkan sekarang, bahwa
kita pernah menembus hujan rintik karena saat itu kamu berjanji untuk membawaku
jalan-jalan kemanapun aku mau karena sibukmu sudah berkurang. Sayangnya, cuaca
tidak begitu mendukung. Langit mendung sejak pagi.
Tapi kamu bersikeras. Ehm, sebelum
kulanjutkan cerita, apa kamu tahu, ketika itu aku begitu bahagia? Aku bahagia
melihatmu berupaya memenuhi janji itu. Aku bahagia melihatmu yang nekad
menjemputku di rumah padahal rumah kita bisa dibilang jauh meski masih satu
kota. Aku bahagia melihatmu yang waktu itu mengetuk pintu sambil tersenyum.
Senyum yang mengatakan, “Maafkan, aku baru memenuhi janji itu sekarang. Tak apa
sore ini hujan, nanti kita bisa berteduh di emperan toko atau di bawah pohon.
Tenang saja, ada aku,”
Wanita mana yang tidak bahagia jika
lelakinya seperti itu?
Dan berangkatlah kita sore itu.
Diiringi rintik gerimis, dan aku makin bahagia.
Sayangnya itu dulu. Jauh sebelum
hari ini. Sebelum kamu berkata ingin rehat dari hubungan ini. Kamu takut
berjanji tapi tak mampu menepati. Aku bilang tak apa, kamu tak perlu berjanji
jika tak dapat menepati. Tapi kamu bilang, hubungan ini lebih baik ditidurkan
ibarat hibernasi. Kamu bilang baik-baik saja, karena suatu saat nanti, hubungan
ini akan kamu bangunkan kembali. Seperti beruang yang terbangun ketika
musim semi.
Apa kamu tahu, semenjak kamu
mengatakan itu, aku selalu menunggu musim semi? Aku selalu berharap musim hujan
segera habis. Setiap kemarau tiba, kemudian aku berharap musim kering itu
segera berakhir. Tapi setelah musim kemarau, apakah musim semi tiba? Tidak,
Sayang. Musim kembali ke penghujan, kembali lagi ke kemarau, dan kembali ke
penghujan, begitu seterusnya. Dan aku baru sadar, tak pernah sekalipun negara
kita bersenang ria karena musim semi. Negara khatulistiwa hanya punya dua
musim: hujan dan kemarau. Kamu sudah tahu itu sejak dulu, kan?
Baiklah, entah musim semi yang kamu
katakan itu adalah kiasan atau benar-benar musim yang banyak bunga bermekaran,
sampai sekarang aku terus menunggu kamu membangunkan kembali hubungan kita yang
katamu sedang tidur panjang.
Sore, kamu, pemuda yang menikmati
hari tanpaku. Ini dariku, gadis yang tengah berjuang melewati hari tanpamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar