Rabu, 08 April 2015

Tertanda, Satu Tahun yang Lalu




Hanya sebuah pesan singkat. Tanpa penjelasan. Yang mengantarku pada ujung penantian. Malam ini, Tuhan menjawab do’a. Memberiku kejutan. Membuka mata, otak, dan hatiku untuk pria yang berada di ujung sana. Yang namanya pernah kuselipkan dalam do’a setiap hari kepadaNya. Dan kali ini, melalui pemuda ini, aku tahu bagaimana “Pahitnya memperjuangkan cinta sendirian.”.

Aku pernah menertawakan kata-kata itu. Atau hanya mengeluarkan kata ‘kasihan’ kepada si pembuat kalimat itu. Tapi sayangnya, malam ini, aku yang membuat tulisan itu. Hanya karena kamu, Mas. Ujung do’a dan penantianku, kaujabarkan malam ini. Ketika aku sedang disibukkan dengan tugas akhir. Dibingungkan oleh program aplikasi edit film.

Lalu, kamu datang. Dari sepucuk surat bermedia elektronik. Entah, bagaimana caramu, mampu meredakan kebingunganku. Mampu melegakan otakku yang ruwet karena tugas akhir ini. Dan juga, melancarkan kinerja komputerku yang sempat kudiamkan karena aku tak tahu harus bagaimana. Kenapa harus kamu, Mas yang seolah jadi pahlawan? Masih banyak temanku yang lain, yang secara logis, lebih mungkin menolongku daripada sosok pemuda seperti kamu!

Sudah berapa kali kamu bilang padaku agar menjauh darimu? Sudah berapa kali pula kaumendekatiku dengan alasan hanya ingin berteman? Sepuluh kali? Berpuluh kali? Ah. Selalu saja kaumengelak. Kaubilang jika aku yang terlalu keras kepala. Jika aku yang berusaha menghindari itikad baikmu. Pokoknya, aku yang kausalahkan. Lantas, untuk apa kaumemintaku menjauh jika pada akhirnya kaumendekatiku lagi? Untuk apa kaumendekatiku jika pada ujungnya kauhanya memintaku untuk jadi ‘tong sampah’mu? Salahkah aku, jika mengatakan bahwa kaudatang hanya saat kaubutuh?

Kaumemang tak pernah memintaku untuk mencintaimu. Aku juga tak pernah mau rasa ini melingkupi hidupku, Mas. Aih, Cinta? Padamu? Jika aku bisa, aku pasti menolaknya, Mas. Jangan dikira, setiap tulisanku, statusku, tweetku, hanya untukmu. Jangan dikira, aku masih berkutat dalam pikiran tentangmu. Jangan dikira, aku tak berusaha menghilangkan rasa yang kurasa absurd ini.

Mungkin, kamu, pria di ujung sana, yang malam ini sempat mengirimkan pesan singkat, berperan sebagai pahlawan, tanpa berpikir bagaimana dampak kehadiran tiba-tibamu padaku. Dan tulisan ini, hanya secuil dari bagian kenangan yang kembali kautoreh dalam hidupku. Yang mungkin, setelah kaubuat tawaku tergerai malam ini, kaujuga akan membuat tangis entah kapan. Dalam nyata ataupun mimpi.

Ketika ujung penantian ini, berakhir pada kisah dejavu dalam cerita sambungku. “Ujung dari penantianku, kautak mencintaiku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini