Hanya
sebuah pesan singkat. Tanpa penjelasan. Yang mengantarku pada ujung penantian.
Malam ini, Tuhan menjawab do’a. Memberiku kejutan. Membuka mata, otak, dan
hatiku untuk pria yang berada di ujung sana. Yang namanya pernah kuselipkan
dalam do’a setiap hari kepadaNya. Dan kali ini, melalui pemuda ini, aku tahu
bagaimana “Pahitnya memperjuangkan cinta sendirian.”.
Aku
pernah menertawakan kata-kata itu. Atau hanya mengeluarkan kata ‘kasihan’
kepada si pembuat kalimat itu. Tapi sayangnya, malam ini, aku yang membuat
tulisan itu. Hanya karena kamu, Mas. Ujung do’a dan penantianku, kaujabarkan
malam ini. Ketika aku sedang disibukkan dengan tugas akhir. Dibingungkan oleh
program aplikasi edit film.
Lalu,
kamu datang. Dari sepucuk surat bermedia elektronik. Entah, bagaimana caramu,
mampu meredakan kebingunganku. Mampu melegakan otakku yang ruwet karena tugas
akhir ini. Dan juga, melancarkan kinerja komputerku yang sempat kudiamkan
karena aku tak tahu harus bagaimana. Kenapa harus kamu, Mas yang seolah jadi
pahlawan? Masih banyak temanku yang lain, yang secara logis, lebih mungkin
menolongku daripada sosok pemuda seperti kamu!
Sudah
berapa kali kamu bilang padaku agar menjauh darimu? Sudah berapa kali pula
kaumendekatiku dengan alasan hanya ingin berteman? Sepuluh kali? Berpuluh kali?
Ah. Selalu saja kaumengelak. Kaubilang jika aku yang terlalu keras kepala. Jika
aku yang berusaha menghindari itikad baikmu. Pokoknya, aku yang kausalahkan.
Lantas, untuk apa kaumemintaku menjauh jika pada akhirnya kaumendekatiku lagi?
Untuk apa kaumendekatiku jika pada ujungnya kauhanya memintaku untuk jadi ‘tong
sampah’mu? Salahkah aku, jika mengatakan bahwa kaudatang hanya saat kaubutuh?
Kaumemang
tak pernah memintaku untuk mencintaimu. Aku juga tak pernah mau rasa ini melingkupi
hidupku, Mas. Aih, Cinta? Padamu? Jika aku bisa, aku pasti menolaknya, Mas.
Jangan dikira, setiap tulisanku, statusku, tweetku, hanya untukmu. Jangan
dikira, aku masih berkutat dalam pikiran tentangmu. Jangan dikira, aku tak
berusaha menghilangkan rasa yang kurasa absurd ini.
Mungkin,
kamu, pria di ujung sana, yang malam ini sempat mengirimkan pesan singkat,
berperan sebagai pahlawan, tanpa berpikir bagaimana dampak kehadiran
tiba-tibamu padaku. Dan tulisan ini, hanya secuil dari bagian kenangan yang
kembali kautoreh dalam hidupku. Yang mungkin, setelah kaubuat tawaku tergerai
malam ini, kaujuga akan membuat tangis entah kapan. Dalam nyata ataupun mimpi.
Ketika
ujung penantian ini, berakhir pada kisah dejavu dalam cerita sambungku. “Ujung
dari penantianku, kautak mencintaiku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar