Senin, 29 Juli 2019

Cari atau Lari

Iya, tidak ada alasan untuk tidak menjawab “Aku baik.” ketika kamu bertanya “Apa kabar?” padaku.

Aku tahu kamu tidak sekadar berbasa-basi demi membuka obrolan. Aku tahu kamu mungkin sempat berpikir kalau aku pernah porak-poranda selepas aku dan kamu meletakkan hubungan ini di tengah jalan. Aku tahu kamu peduli dan aku sebenarnya tidak bermaksud mengabaikan itu. Karena jujur, aku sudah merasa baik-baik saja, setidaknya sebelum bertemu kamu lagi hari ini, setelah sekian lama tak pernah bertatap muka.

Dulu, dulu sekali, aku pernah dengan tololnya memiliki hobi mencari dan menemukan kamu di antara lautan orang-orang. Rasanya menyenangkan saat berhasil mengunci pandangan pada postur tubuh tinggi kamu, mengamati kamu dari jauh, memotret kamu diam-diam, lalu senyum-senyum sendiri saat senyum kamu berhasil aku abadikan.

Foto diambil dari link ini

Lantas semesta mendorongku lebih jauh hingga kamu akhirnya menemukanku. Kita berkenalan, saling sebut nama, mengobrol, hingga aku dan kamu menyadari bahwa isi kepala kita bisa terus berada dalam satu frekuensi. Percakapan ataupun pesan random yang aku kirim selalu kamu tanggapi dengan baik. Pun kalau kamu meminta pendapatku tentang model rambut apa yang cocok pas cukur nanti—padahal ujung-ujungnya ya cuma dirapikan oleh mas-mas barbershop langganan kamu.

Lama-lama aku jadi tahu rasanya dicari oleh seseorang. Aku tahu rasanya dibutuhkan oleh seseorang. Kamu tahu tidak, betapa bahagianya aku saat melihat kamu mengitarkan pandangan ke tribun timur—tempat biasa aku bercokol untuk menonton kamu—memindai satu per satu wajah manusia yang ada di situ, lalu pandangan kita bertemu di setiap menjelang pertandingan? Saat wajah bingung kamu tergantikan oleh senyum lega yang biasanya aku balas dengan senyum lebar dan lambaian tangan memberi semangat.

Aku suka saat melihat kamu berjalan menujuku setelah pertandingan berakhir. Tidak peduli tim kamu menang atau kalah, bagus atau tidaknya permainan kamu kali itu, aku tahu kalau kamu tahu aku akan tetap mendukung kamu apapun keadaannya. Tapi jujur ya, aku senang saat tim kamu menang, kamu menjadi man of the match, orang-orang berlomba meminta foto bersama kamu, sementara aku tahu kalau hanya aku yang ada di kepala kamu saat itu.

Aku suka saat kamu tahu aku lebih suka cireng daripada cilor, lebih suka bakso daripada mie ayam, batagor daripada siomay, brownies lumer daripada kue balok, selalu memesan coffe latte di kedai Thai tea, suka roti maryam topping oreo, roti bakar susu, susu cokelat UHT, dan permen chup a chup.
Kamu tidak pernah menemuiku tanpa membawa salah satu dari hal-hal yang aku sebutkan di atas.

Kamu bahkan tahu alasanku kenapa aku lebih suka membeli delapan kotak susu cokelat UHT kemasan 125 ml daripada satu kotak kemasan satu liter. Kamu tahu detail kebiasaanku yang mungkin tidak pernah diperhatikan oleh lingkaran terdekat pertemananku. Dan aku makin suka karena kamu mengetahuinya tanpa bertanya lebih dulu.

Hebat ya kamu?

Yang anehnya baru aku sadari setelah aku berjuang melewati hari-hari tanpa kamu. Saat aku dibilang tidak cinta lingkungan karena pilih kemasan kecil-kecil susu kotak (re: jadi salah satu kontributor sampah), dikata aneh karena justru pesan kopi di tempat teh susu, dan pelit karena dari sekian pilihan isi roti bakar, aku cuma pilih yang isi susu—yang berarti bayarnya juga tidak full.

Apakah aku menyesal karena aku melepas kamu?

Bisa iya, bisa tidak.

Iya, karena ternyata baru kamu yang bisa sangat memahami aku.

Sekaligus juga tidak, karena kemarin aku kelelahan meladeni egoismu. Menghadapi marahmu kalau aku melewatkan satu saja pertandingan kamu, merasa gelisah karena pernah tidak kamu beri kabar berhari-hari dengan dalih fokus latihan, menerima omelan-omelan kamu setiap kamu tahu kalau aku mengerjakan tugas sampai larut, bahkan kadang sampai subuh. Kamu bisa lama berceramah tentang tidak baiknya begadang, keharusan makan buah dan sayur, minum air putih yang cukup, dan jangan lupa berolahraga.

Aku tahu kamu atlet, tapi bukan berarti kamu bisa sewenang-wenang mengatur pola hidupku. Aku tahu kamu perhatian, tapi di hadapanku kamu sudah melewati batas.

Aku jadi malas bertemu kamu, mengabaikan pesan-pesan kamu, menghindari kamu, tidak lagi duduk di tribun dan meneriakkan nama kamu paling kencang, karena yang ada di kepalaku saat melihat wajah kamu saat itu adalah meledakkan kekesalanku yang makin hari makin bertumpuk.

Sampai aku memutuskan untuk berhenti, dan kamu menyetujui.

Sekali lagi, apakah aku menyesal?


Tidak, seharusnya tidak. Karena ya buat apa? Kembali padamu pun tidak mungkin. Sudah ada perempuan lain yang kebiasaan-kebiasaan kecilnya memenuhi hari-hari dan rongga kepalamu, kan? Aku bisa apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini