Iya,
tidak ada alasan untuk tidak menjawab “Aku baik.” ketika kamu bertanya “Apa
kabar?” padaku.
Aku tahu kamu tidak sekadar berbasa-basi demi membuka obrolan. Aku tahu kamu mungkin sempat berpikir kalau aku pernah porak-poranda selepas aku dan kamu meletakkan hubungan ini di tengah jalan. Aku tahu kamu peduli dan aku sebenarnya tidak bermaksud mengabaikan itu. Karena jujur, aku sudah merasa baik-baik saja, setidaknya sebelum bertemu kamu lagi hari ini, setelah sekian lama tak pernah bertatap muka.
Dulu,
dulu sekali, aku pernah dengan tololnya memiliki hobi mencari dan menemukan
kamu di antara lautan orang-orang. Rasanya menyenangkan saat berhasil mengunci pandangan
pada postur tubuh tinggi kamu, mengamati kamu dari jauh, memotret kamu
diam-diam, lalu senyum-senyum sendiri saat senyum kamu berhasil aku abadikan.
Foto diambil dari link ini |
Lantas semesta mendorongku lebih jauh hingga kamu akhirnya menemukanku. Kita berkenalan, saling sebut nama, mengobrol, hingga aku dan kamu menyadari bahwa isi kepala kita bisa terus berada dalam satu frekuensi. Percakapan ataupun pesan random yang aku kirim selalu kamu tanggapi dengan baik. Pun kalau kamu meminta pendapatku tentang model rambut apa yang cocok pas cukur nanti—padahal ujung-ujungnya ya cuma dirapikan oleh mas-mas barbershop langganan kamu.
Lama-lama
aku jadi tahu rasanya dicari oleh seseorang. Aku tahu rasanya dibutuhkan oleh
seseorang. Kamu tahu tidak, betapa bahagianya aku saat melihat kamu mengitarkan
pandangan ke tribun timur—tempat biasa aku bercokol untuk menonton kamu—memindai
satu per satu wajah manusia yang ada di situ, lalu pandangan kita bertemu di
setiap menjelang pertandingan? Saat wajah bingung kamu tergantikan oleh senyum
lega yang biasanya aku balas dengan senyum lebar dan lambaian tangan memberi
semangat.
Aku
suka saat melihat kamu berjalan menujuku setelah pertandingan berakhir. Tidak
peduli tim kamu menang atau kalah, bagus atau tidaknya permainan kamu kali itu,
aku tahu kalau kamu tahu aku akan tetap mendukung kamu apapun keadaannya. Tapi
jujur ya, aku senang saat tim kamu menang, kamu menjadi man of the match, orang-orang berlomba meminta foto bersama kamu,
sementara aku tahu kalau hanya aku yang ada di kepala kamu saat itu.
Aku
suka saat kamu tahu aku lebih suka cireng daripada cilor, lebih suka bakso daripada
mie ayam, batagor daripada siomay, brownies
lumer daripada kue balok, selalu memesan coffe latte di kedai Thai
tea, suka roti maryam topping oreo,
roti bakar susu, susu cokelat UHT, dan permen chup a chup.
Kamu
tidak pernah menemuiku tanpa membawa salah satu dari hal-hal yang aku sebutkan
di atas.
Kamu
bahkan tahu alasanku kenapa aku lebih suka membeli delapan kotak susu cokelat
UHT kemasan 125 ml daripada satu kotak kemasan satu liter. Kamu tahu detail
kebiasaanku yang mungkin tidak pernah diperhatikan oleh lingkaran terdekat
pertemananku. Dan aku makin suka karena kamu mengetahuinya tanpa bertanya lebih
dulu.
Hebat
ya kamu?
Yang
anehnya baru aku sadari setelah aku berjuang melewati hari-hari tanpa kamu.
Saat aku dibilang tidak cinta lingkungan karena pilih kemasan kecil-kecil susu
kotak (re: jadi salah satu kontributor sampah), dikata aneh karena justru pesan
kopi di tempat teh susu, dan pelit karena dari sekian pilihan isi roti bakar,
aku cuma pilih yang isi susu—yang berarti bayarnya juga tidak full.
Apakah
aku menyesal karena aku melepas kamu?
Bisa
iya, bisa tidak.
Iya,
karena ternyata baru kamu yang bisa sangat memahami aku.
Sekaligus
juga tidak, karena kemarin aku kelelahan meladeni egoismu. Menghadapi marahmu
kalau aku melewatkan satu saja pertandingan kamu, merasa gelisah karena pernah
tidak kamu beri kabar berhari-hari dengan dalih fokus latihan, menerima omelan-omelan
kamu setiap kamu tahu kalau aku mengerjakan tugas sampai larut, bahkan kadang
sampai subuh. Kamu bisa lama berceramah tentang tidak baiknya begadang,
keharusan makan buah dan sayur, minum air putih yang cukup, dan jangan lupa
berolahraga.
Aku
tahu kamu atlet, tapi bukan berarti kamu bisa sewenang-wenang mengatur pola
hidupku. Aku tahu kamu perhatian, tapi di hadapanku kamu sudah melewati batas.
Aku
jadi malas bertemu kamu, mengabaikan pesan-pesan kamu, menghindari kamu, tidak
lagi duduk di tribun dan meneriakkan nama kamu paling kencang, karena yang ada
di kepalaku saat melihat wajah kamu saat itu adalah meledakkan kekesalanku yang
makin hari makin bertumpuk.
Sampai
aku memutuskan untuk berhenti, dan kamu menyetujui.
Sekali
lagi, apakah aku menyesal?
Tidak,
seharusnya tidak. Karena ya buat apa? Kembali padamu pun tidak mungkin. Sudah
ada perempuan lain yang kebiasaan-kebiasaan kecilnya memenuhi hari-hari dan
rongga kepalamu, kan? Aku bisa apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar