Tidak ada yang menyenangkan dari memiliki kekasih yang jadi kakak
tingkat. Apalagi ketika dia menjadi panitia ospek, dan tidak semua manusia tahu
hubungan itu.
Atau mungkin justru yang lebih berat
adalah ketika dia berakting sama sekali tidak ada apa-apa. Seolah-olah kamu
hanya mahasiswa baru sedangkan dia adalah senior yang harus kamu segani. Dia
memang lewat di sampingmu hampir setiap saat ketika berbaris. Namun sejauh ini,
bahkan mungkin sampai acara ini selesai, dia tidak pernah menyapamu atau
menyebut namamu. Dia memang selalu melihatmu—bertemu pandang denganmu, tapi
hanya sebatas itu. Dia tidak beranjak dari “kedudukan” dia, sekadar bertanya
apakah kamu baik-baik saja setelah dipanggang lama-lama di bawah sinar matahari
dalam posisi berdiri seperti tentara yang akan berperang.
“Everything’s
gonna be okay,” ucapnya berkali-kali. Tapi kamu sadar betul bahwa yang kamu
permasalahkan bukan soal kegiatan ospek. Namun tentang bagaimana dia bisa
menahan keinginan untuk bersikap tidak saling tahu selama pengenalan kehidupan
kampus.
Kabar baiknya, kamu sekarang jadi
benar-benar tahu dunia yang kemarin-kemarin hanya kamu tahu lewat ceritanya.
Kamu jadi tahu kenapa dia begitu gigih ingin berada di sini, “meracunimu” agar
memiliki mimpi yang sama. Dan berhasil. Nyatanya kamu ada di sini, detik ini,
mengamati sosoknya yang semenjak tadi mondar-mandir di depan barisan,
mengevaluasi para mahasiswa baru yang melanggar peraturan.
Kamu sendiri hampir semaput di
lapangan—gerah menunggu kapan selesainya evaluasi hari ini.
“Are
you okay?” sebuah suara tahu-tahu seperti digaungkan tepat di belakang
kepala. Kamu menoleh cepat, setengah melotot karena tidak biasanya dia berdiri
sedekat ini denganmu selama ospek berlangsung. “Kamu pucat,” katanya setelah
menatapmu sesaat, khawatir. Dia ingin kamu istirahat di bagian P3K, setidaknya
memberimu kesempatan untuk meneguk air minum karena sepertinya kondisimu payah
akibat dehidrasi.
“Masih kuat, Kak,” jawabmu sambil
mengetatkan rahang. Tidak ada yang bisa baik-baik saja ketika berpura-pura
tidak ada apa-apa di depan satu-satunya manusia yang kamu kasihi.
Iya, aku paham.
“Boleh istirahat kok,” dia
bersikeras. Kamu senyum tipis, menggeleng. “PKKMB penting, tapi kesehatan kamu
lebih penting,” dia berkata sambil menatap lurus kedua matamu. Dan bisa kutebak,
kamu luluh begitu saja, langsung keluar dari barisan. Dituntun oleh dia, menuju
tempat P3K, kemudian dia pergi setelah memastikan kamu sudah mendapat air minum
dan beristirahat di tempat teduh.
Dan kamu masih berani bilang bahwa
memiliki kekasih yang jadi kakak tingkat—bahkan panitia ospek itu tidak
menyenangkan?
Pantas saja, sekarang dia sedang
menuju kemari—menemuiku, mengeluhkan sikap kekanak-kanakanmu.
Hati-hati saja, kalau pada akhirnya
kamu menyesal, karena kekasihmu kini sudah datang, melambai ke arahku dan
tersenyum dengan senyum mautnya yang dapat membuat kaum hawa manapun mau
melakukan apa saja demi menjadi alasan atas senyum itu.
Aku hanya mengingatkan.
Selebihnya terserah kamu.
Photo by Banter Snaps on Unsplash |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar