Sahabatku
baru saja bercerita tiga menit tanpa jeda. Tentang salah seorang pemuda yang
buatnya melayang-layang tak berdaya. Pemuda yang tampan dan baik hati dari
esktrakurikuler voli. Satu-satunya pemuda yang memperhatikannya. Tidak seperti
pemuda lain yang memilih tak acuh padanya. Sesekali menyapa, atau tersenyum
padanya. Sering membagi-bagikan camilan buatan ibunya kepada manusia seluruh
ekstra. Kata sahabatku, camilan berbahan dasar tepung terigu, telur, mentega,
dan susu itu, enak bukan main.
Sayangnya,
akhir-akhir ini, pemuda baik hati itu semakin baik. Dan itu membuat sahabatku
terbang makin tinggi. Kuperingatkan agar tak jauh-jauh ke langit, tapi
sahabatku berkeras. Pemuda baik hati itu bukan sekadar baik. Mungkin saja telah
jatuh hati padanya—sama seperti yang dirasakan sahabatku. Aku pun hanya
tersenyum menanggapi ocehan sahabatku. Pilih tak berkomentar.
Aku menanggapi
ceritanya dengan tertawa kecil, lalu menanyakan kelanjutan kisah seru mereka. Sahabatku
menjawab dengan mengisahkan kembali cerita yang dulu, masih dengan semangat
yang sama, nada menggebu-gebu yang sama, hanya kata-katanya yang sedikit
berubah. Aku kembali tersenyum. Pemuda itu benar-benar terlihat baik di mata
sahabatku. Hampir tanpa cela. Menyaingi malaikat.