Apakah
aku salah mencintainya? Bukankah, yang aku rasakan ini sama dengan orang-orang
mencinta lainnya? Apa ada yang salah dengan caraku mencinta? Atau, dia adalah
orang yang salah?
Pertemuan
yang tidak sengaja di Rabu pagi menjelang siang, usai istirahat pertama. Sampai
sekarang terus kuingat, bahkan mungkin sampai nanti, sebelum aku terserang
pikun atau amnesia. Melihat senyumnya bagai matahari yang mampu menembus kutub
utara dan mencairkan esnya. Dia memberi kehangatan ketika hatiku sedang dingin
karena tak tersentuh oleh yang namanya cinta. Di sinikah yang salah? Karena aku
menganggap dia sebagai pangeran tanpa kuda yang memberiku kenyamanan ketika
bersamanya? Tak perlu kereta kencana atau mobil baru keluaran kemarin sore. Aku
bersamanya, cukup buatku bahagia.
Sapaannya,
tawanya, candaannya, cukup ampuh meluluhkanku yang sedang terobsesi dengan
nilai bagus di ujian akhir sekolah. Dia mampu mengendurkan urat-uratku yang
menegang akibat setiap hari melahap buku pelajaran. Padahal dia hanya menulis
kalimat, “Sudah malam, belajarnya istirahat dulu. Besok di sekolah belajar
lagi, kan?” tapi dengan bodohnya aku segera menutup buku lalu tidur. Atau di
sini yang salah, karena aku selalu menurutinya? Tapi, apakah salah jika aku
mengistirahatkan badan dan otakku barang sejenak?
Seperti tadi malam ketika aku sedang
menangis sesenggukan karena drama Korea, tiba-tiba dia mengirimiku pesan
singkat yang membuatku langsung tergelak. Semudah itu dia membuatku tertawa. Dan
pesan singkat itu berakhir ketika dia menyuruhku untuk tidur supaya besok bisa
bangun pagi dan belajar lagi. Baiklah, aku menuruti, meski besok adalah Minggu
dan rencanaku adalah bangun siang. Sayangnya, malam ini aku langsung tidur,
meninggalkan drama Korea yang tinggal satu episode.
Tuhan, apakah cinta ini salah? Atau
aku yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa apa yang kurasa ini adalah cinta?
Lantas, jantung berdegup cepat bila bertemu dengannya, itu tandanya apa? Bukan
cinta?
Sejak pertemuan pertama, aku jadi
sering membuka facebook mencari namanya yang ternyata banyak nama yang sama.
Memelototi satu per satu foto profil setiap user demi menemukannya di
dunia maya. Dan setelah kuyakin salah satu akun dari sekian ratus itu adalah
miliknya, kukirim permintaan pertemanan yang akhirnya menghabiskan hariku yang
harap-harap cemas apakah dia mengkonfirmasi akunku. Apa yang kulakukan ini juga
bukan karena cinta? Lagi-lagi aku salah?
Aku merasa aku salah mencinta jika
dia mengabaikanku. Aku merasa salah mencinta jika dia tidak pernah
mengingatkanku untuk belajar tapi jangan sampai badan lelah, terus belajar tapi
jangan lupa makan, sholat, berdo’a, bantu orang tua, rajin masuk les, jangan
tidur larut malam. Jika bukan cinta, yang dia lakukan itu apa? Untuk apa dia
repot-repot mengetik pesan singkat hanya untuk mengingatkanku tentang itu semua?
Aku bukan anak kecil yang lupa belajar karena sibuk main, aku bukan pelajar
malas yang belajar dengan sistem kebut semalam sampai harus begadang. Bukankah
yang dia lakukan itu semacam memberi perhatian? Memberi harapan kepadaku bahwa
aku boleh masuk lebih dalam ke dalam alur cerita hidupnya. Bukankah begitu?
Atau aku yang salah bahwa perhatian
itu ia tujukan untuk siapa saja?
Baiklah, mungkin aku memang salah
mengharap perhatian lebih darinya. Bisa saja, ia sebenarnya hanya anggap aku
teman. Bisa saja ada perempuan lain yang ia anggap lebih dari teman. Yang tak
banyak menuntut perhatian, harapan, dan kepastian. Perempuan lain yang lebih
beruntung, yang mungkin mampu membuat pemuda itu patuh seperti yang aku lakukan
karenanya. Menurut begitu saja tanpa banyak tanya. Hanya senyum tanpa sadar,
dan itu cukup buatku bahagia. Sesederhana itu.
Kalaupun aku memang salah, yang jelas,
hatiku enggan beranjak darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar