Sabtu, 11 Juli 2015

Dia.... Siapa?



            Aku siapa? Hanya penggemar
            Dia siapa? Entah
            Aku dengan kamu? Ekspresi datar dan senyum seadanya
            Dia dengan kamu? Senyum lebar, selfie bersama

Cemburu? Tentu saja
Punya hak? Tidak
Sakit? Sangat. Seperti ada yang mengganjal
Harus bagaimana? Entahlah

            Aku tak tahu dia siapa
            Kurasa, dia bukan penggemar
            Dan kupikir, kamu yang lebih tahu dia siapa

Apakah ada hubungan darah denganmu? Mengapa aku baru tahu?
Mengapa tweetmu tak mengisyaratkan sesuatu? Setidaknya bilang bahwa dia sepupumu
Setidaknya ada petunjuk bahwa dia saudaramu

            Rupa tak persis
            Senyum tak sama
            Lalu, bagaimana caraku menyimpulkan bahwa dia adalah adik 
            atau kakakmu?
            Jika hanya teman, mengapa sedekat itu?

Oke, baiklah. Bagimu ini tak penting. Bagiku juga tak mendesak. Tapi nyatanya, hatiku ingin meledak dan menangis. Padahal dia, perempuan itu, hanya menekan tombol favorite pada tweetku. Dan jelas, bukan karena salah pencet seperti Mas David dulu. 

Asal kamu tahu, setiap ada orang yang merespon tweetku, sedangkan aku tak mengenal nama usernya, segera kubuka profilnya. Dan kali ini, dia memberi bintang pada tweetku yang menyebut namamu. Boleh, kan, aku penasaran? Boleh, kan, aku ingin tahu? Dan setelah aku tahu salah satu unggahan gambar dalam akun perempuan itu adalah foto bersama kamu, hatiku patah dan berserakan. Terlebih, karena aku tidak tahu siapa dia, dan jika divisualisasi, dia adalah pembunuh berdarah dingin. Langsung menusuk pisau, tanpa bilang-bilang, lalu pergi begitu saja. Bagaimana aku tidak waspada? Padahal, ya, benar, aku hanya penggemar. Tak lebih, tak kurang. Pengagum setelah tak sengaja bertemu.

Jumat, 10 Juli 2015

Salahkah Aku?



Apakah aku salah mencintainya? Bukankah, yang aku rasakan ini sama dengan orang-orang mencinta lainnya? Apa ada yang salah dengan caraku mencinta? Atau, dia adalah orang yang salah?

Pertemuan yang tidak sengaja di Rabu pagi menjelang siang, usai istirahat pertama. Sampai sekarang terus kuingat, bahkan mungkin sampai nanti, sebelum aku terserang pikun atau amnesia. Melihat senyumnya bagai matahari yang mampu menembus kutub utara dan mencairkan esnya. Dia memberi kehangatan ketika hatiku sedang dingin karena tak tersentuh oleh yang namanya cinta. Di sinikah yang salah? Karena aku menganggap dia sebagai pangeran tanpa kuda yang memberiku kenyamanan ketika bersamanya? Tak perlu kereta kencana atau mobil baru keluaran kemarin sore. Aku bersamanya, cukup buatku bahagia.

Rabu, 01 Juli 2015

Sepenggal Cerita Tentangmu



Ini tentang kamu, yang meninggalkan pesona, tak ingin kutinggalkan, dan sempat kuperjuangkan mati-matian. Menulis, menumpahkan perasaan, sambil bersembunyi, agar kamu tak kunjung tahu, jika ada gadis yang menyukaimu diam-diam. Jika kamu tak tahu, aku bisa bebas memposisikan diriku sebagai pemuja rahasia, serta tak canggung jadi teman biasa. Tapi ternyata, kamu sudah tahu, dan mengisyaratkan bahwa aku harus mundur.
            
 Kemunduran ini sempat memukulku telak. Membarut hati sampai luka. Nafsu makan hilang, keceriaan sirna. Aku berubah jadi gadis pendiam, dan selalu canggung jika tiba-tiba bertemu denganmu. Yang belum berubah hanya satu: aku masih jadi pemuja rahasia. Tulisanku lebih banyak, dan bisa saja kamu jadi semakin tahu. Tapi aku tak peduli, selama kita akhirnya tak bertemu lagi.

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini