Jumat, 20 Maret 2015

Tak Sama


Sebelum membaca tulisan ini, anggap dulu bahwa pemuda yang kumaksud di sini adalah:

 

Untukmu,
Pemuda taat beragama, dari pulau seberang.

            Belum genap jam dua belas malam waktu Indonesia bagian barat. Kurang sepuluh menit dari pergantian hari. Dan aku masih terjaga di sudut kamar, memikirkanmu—pemuda pulau seberang yang merenggut perhatianku.
            
 Perkenalan kita sungguh sederhana. Kamu mengulurkan tangan, dan aku menerimanya. Kita berjabat tangan, saling menyebutkan nama, dan berlanjut pada percakapan ringan seolah kita adalah teman lama. Aku penyuka sepak bola, dan kamu pemain bola. Sudah lengkap, bukan? Jika kamu sedang berada di medan laga, kuteriakkan namamu dan nama timmu sekencang-kencangnya dari pinggir lapangan. Jika latihan usai, kubawakan minuman yang biasanya langsung kamu minum padahal air mineral sudah disediakan official timmu. Dan jika aku merindu, kamu juga akan merasakan hal yang sama, dan ternyata kamu sudah ada di depan rumah.

            Dalam setiap pertemuan, kita hanya saling bicara, saling cerita, tukar-menukar tema, lalu tertawa bersama. Sangat jarang kita bertatap muka, bergenggaman tangan, apalagi bertukar kalimat cinta. Kita hanya menghabiskan waktu dengan nonton pertandingan di lapangan A atau di lapangan B. Jika tidak, jadwal kita adalah berolahraga bersama. Kamu selalu membangunkanku tiap pagi, mengingatkanku sholat dua rekaat, kemudian menyuruhku bersiap untuk jogging atau cycling. Sederhana, bukan? Selebihnya, kegiatanmu terkuras dengan jadwal latihan sebagai pemain bola. Di luar itu, jika timmu sedang libur, kamu memilih pulang ke pulaumu, ke rumahmu.
            
 Jika sudah begitu, ingin aku berteriak lantang bahwa aku begitu merindukanmu. Ingin aku berkata di depanmu bahwa: gadis yang selama ini bersamamu, menjatuhkan hati padamu. Dan gravitasi bumi, bukanlah alasan untuk itu. Tapi aku tahu, dan sudah sangat tahu bahwa aku tak boleh berharap lebih jika tak ingin hati terbarut luka. Aku tak boleh menginginkan ‘kita’, jika tak ingin menangis darah. Jika tak ingin tubuhku terhempas ke batuan cadas. Cukup aku temanmu, dan kamu temanku.

            Perjalanan kita sudah sangat jauh. Dari kamu main di tim kecil, sampai sekarang namamu terkenal di se-antero tanah air. Tapi nyatanya, hubungan kita berhenti di sini. Jalan di tempat, yang kuketahui dengan sangat jelas alasannya. Aku dan kamu tak berani melangkah lebih jauh. Sempat dulu kamu bilang bahwa lebih baik kita seperti ini. Bagaimanapun juga, aku dan kamu adalah dua insan yang sedang berjalan beriringan, namun terpisah tembok tak kasat mata yang tak mampu kita tembus. Sesuatu yang begitu sakral, abadi, tak tergoyahkan. Dan ‘sesuatu’ itu berhubungan dengan Tuhan.

            Sekarang sudah lewat jam dua belas waktu Indonesia barat. Di sana, sudah tentu lebih awal satu jam daripada di sini. Baiklah, akhiri saja tulisan ini. Aku tak mau air mata ini menetes lebih deras.

Empat jam yang lalu, kamu sudah bilang bahwa hari ini, ponselmu akan off satu hari penuh. Tanpa kubertanya ada apa, aku sudah paham benar apa yang kamu lakukan di sana. Lusa, boleh kamu tengok tulisan ini, dan coba hitung, sudah berapa kali tanggal merah dalam rangka hari raya agamamu yang kulalui bersamamu? Aku harap, kamu tersenyum setelah menghitungnya. Dan lagi, aku harap, masih ada tanggal merah di tahun depan yang membuat ponselmu off satu hari penuh.

Dariku,
Gadis yang terlalu berani mencintaimu.
  

.........Aku untuk kamu, kamu untuk aku 
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama 
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini