Sebelum membaca tulisan ini, anggap dulu bahwa pemuda yang kumaksud di sini adalah:
Untukmu,
Pemuda taat beragama, dari pulau seberang.
Belum genap jam dua belas malam
waktu Indonesia bagian barat. Kurang sepuluh menit dari pergantian hari. Dan
aku masih terjaga di sudut kamar, memikirkanmu—pemuda pulau seberang yang
merenggut perhatianku.
Perkenalan kita sungguh sederhana.
Kamu mengulurkan tangan, dan aku menerimanya. Kita berjabat tangan, saling
menyebutkan nama, dan berlanjut pada percakapan ringan seolah kita adalah teman
lama. Aku penyuka sepak bola, dan kamu pemain bola. Sudah lengkap, bukan? Jika
kamu sedang berada di medan laga, kuteriakkan namamu dan nama timmu
sekencang-kencangnya dari pinggir lapangan. Jika latihan usai, kubawakan
minuman yang biasanya langsung kamu minum padahal air mineral sudah disediakan official
timmu. Dan jika aku merindu, kamu juga akan merasakan hal yang sama, dan
ternyata kamu sudah ada di depan rumah.
Dalam setiap pertemuan, kita hanya
saling bicara, saling cerita, tukar-menukar tema, lalu tertawa bersama. Sangat
jarang kita bertatap muka, bergenggaman tangan, apalagi bertukar kalimat cinta.
Kita hanya menghabiskan waktu dengan nonton pertandingan di lapangan A atau di
lapangan B. Jika tidak, jadwal kita adalah berolahraga bersama. Kamu selalu
membangunkanku tiap pagi, mengingatkanku sholat dua rekaat, kemudian menyuruhku
bersiap untuk jogging atau cycling. Sederhana, bukan? Selebihnya,
kegiatanmu terkuras dengan jadwal latihan sebagai pemain bola. Di luar itu,
jika timmu sedang libur, kamu memilih pulang ke pulaumu, ke rumahmu.
Jika sudah begitu, ingin aku
berteriak lantang bahwa aku begitu merindukanmu. Ingin aku berkata di depanmu
bahwa: gadis yang selama ini bersamamu, menjatuhkan hati padamu. Dan gravitasi
bumi, bukanlah alasan untuk itu. Tapi aku tahu, dan sudah sangat tahu bahwa aku
tak boleh berharap lebih jika tak ingin hati terbarut luka. Aku tak boleh
menginginkan ‘kita’, jika tak ingin menangis darah. Jika tak ingin tubuhku
terhempas ke batuan cadas. Cukup aku temanmu, dan kamu temanku.
Perjalanan kita sudah sangat jauh.
Dari kamu main di tim kecil, sampai sekarang namamu terkenal di se-antero tanah
air. Tapi nyatanya, hubungan kita berhenti di sini. Jalan di tempat, yang
kuketahui dengan sangat jelas alasannya. Aku dan kamu tak berani melangkah
lebih jauh. Sempat dulu kamu bilang bahwa lebih baik kita seperti ini.
Bagaimanapun juga, aku dan kamu adalah dua insan yang sedang berjalan
beriringan, namun terpisah tembok tak kasat mata yang tak mampu kita tembus.
Sesuatu yang begitu sakral, abadi, tak tergoyahkan. Dan ‘sesuatu’ itu
berhubungan dengan Tuhan.
Sekarang sudah lewat jam dua belas
waktu Indonesia barat. Di sana, sudah tentu lebih awal satu jam daripada di
sini. Baiklah, akhiri saja tulisan ini. Aku tak mau air mata ini menetes lebih
deras.
Empat
jam yang lalu, kamu sudah bilang bahwa hari ini, ponselmu akan off satu
hari penuh. Tanpa kubertanya ada apa, aku sudah paham benar apa yang kamu
lakukan di sana. Lusa, boleh kamu tengok tulisan ini, dan coba hitung, sudah
berapa kali tanggal merah dalam rangka hari raya agamamu yang kulalui bersamamu?
Aku harap, kamu tersenyum setelah menghitungnya. Dan lagi, aku harap, masih ada
tanggal merah di tahun depan yang membuat ponselmu off satu hari penuh.
Dariku,
Gadis yang terlalu berani mencintaimu.
.........Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar