Sabtu, 14 Maret 2015

Rumput Taman


Pacitan, beberapa bulan yang lalu, dari tempat tidur paling sudut.



Ini masih jam setengah sebelas. Masih terlalu sore bagiku untuk meletakkan kepala di atas bantal. Pikiranku belum ingin diistirahatkan. Masih melayang-layang, tak tentu arah.

Aku melirik foto-foto di atas meja. Fotoku yang sedang gila, fotoku dengan sepupuku, fotoku sendiri yang berpose KTP, fotoku dengan saudaraku, fotoku dengan Bayu Gatra, dan fotoku.... dengan orang itu. Foto yang sama dengan yang ada di dalam dompet. Yang masih ingin terus kusimpan. Jangan sampai hilang. Itu kenangan satu-satunya dengan dia.

Memori tentang dia langsung merebak. Meruak. Berkelebat dengan cepat. Seiring detak jantungku yang meningkat. Air mata tak kalah cepat segera keluar. Saling susul. Semakin deras sampai kebas. Turun dengan bebas. Tak mampu tertahankan.

Jam sebelas.

Air mataku sudah agak menyusut. Linangan air mata sudah keluar dengan teratur, satu-satu. Tak saling menyalip. Tak saling susul. Aku masih tergugu.

Tak seharusnya aku menangisinya seperti ini. Tak seharusnya aku terjaga selama beberapa malam akhir-akhir ini. Hanya karena aku tidak siap untuk mengucap salam pisah dengannya. Ya. Untuk sebuah alasan yang tak akan kusebut di sini, aku harus berpisah dengan dia. Membawa serta kenangan-kenangan tentang dia yang akhirnya hanya membuatku menangis kencang. Seperti malam ini.

Aku ada di dekatnya, dia diam saja. Aku tidak ada di hidupnya, dia biasa saja. Tak berusaha mencari, tak berusaha melenyapkan.

Pernah suatu kali dia menyapa sekaligus bertanya. Dengan suara yang masih kuingat sampai detik ini; dengan derai tawa, ketika aku menjawab pertanyaannya dengan nada bingung. Dengan ekspresi khasnya yang terus kuingat sampai malam ini. Waktu itu, ketika aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan denyut jantungku jika bertemu dengannya. Ketika aku merasa terbang ke angkasa setelah kalimat sapa dan tanya, meluncur dari mulutnya. Saat aku merasa senang-sesenang-senangnya jika dia ada di hadapan.

Yang kutahu, pertanyaan darinya itu, hanya untukku. Bukan untuk manusia lain. Bukan untuk temanku yang saat itu memang berkeliaran di dekatku, tapi... untukku. Just for me. Ya, setidaknya saat itu. Aku tak tahu, dia sudah menanyakan apa saja dengan orang lain. Semenjak aku harus pergi, dan dia harus tetap tinggal. Semenjak, orang-orang baru datang ke kehidupannya. Semenjak orang-orang jadi tahu, bahwa dia pantas untuk dicintai.

Kukira, waktu itu, aku adalah orang istimewa dalam hidupnya. Karena waktu itu dia bertanya, hanya padaku. Bukan untuk orang lain. Membuatku melambung tinggi, tersenyum tanpa henti, dan berujung pada tangis yang tak kunjung berakhir seperti malam ini. Aku menangis, karena aku tahu, kenangan itu tak akan terulang. Hanya terus menggores hati, hingga jadi luka.

Hanya kalimat tanya dan sapa itu yang membuatku merasa dia istimewakan. Tapi ternyata, aku salah. Kalimat tanya dan sapa itu, adalah kalimat standardnya untuk bersay-hello dengan kawan barunya (dulu aku adalah orang baru di hidupnya). Tak ada yang spesial dari kalimat tanya itu. Sungguh, tak seharusnya aku terus mengenang itu hingga kini. Hingga dia sendiri lupa telah melontarkan kalimat tanya apa padaku.

Aku bukan orang istimewa di hidupnya.

Pahit. Dia tak pernah menanyakan kemana pergiku selama ini. Dia tak pernah meminta penjelasan mengapa aku pergi. Seolah-olah aku ini tak berarti. Masuk di hidupnya tanpa ucapan selamat datang, dan pergi dari hidupnya tanpa ucapan selamat tinggal. Dia tak bertanya, otomatis aku tak menjawab. Jadi, bisa dipastikan bahwa aku ini bukan orang yang membuatnya tertawa. Bukan orang yang mampu membuatnya menangis sampai menyaruk-nyaruk tanah karena aku tak bisa tetap tinggal. Bukan orang yang membuatnya mengucapkan serentetan alasan agar aku tetap bisa bersamanya. Bukan.

Apakah aku sampah di hidupnya?

Menurutku, bukan. Nyatanya, dia tak pernah menyuruhku pergi jika aku tiba-tiba datang kembali. Dia tak pernah memandangku jijik. Hanya menatap sekilas, lalu larut kembali dalam kesibukannya (dia adalah manusia super sibuk). Dia hanya melihat sekilas. Tak pernah memandang berlama-lama. Tak pernah sekalipun (setidaknya itu yang kutahu—meski berharap lebih dari itu—bisa saja dia melihatku diam-diam).

Jam duabelas.

Air mata sudah benar-benar kering. Kantung mata sudah benar-benar seperti sarang marsupilami. Dan aku menemukan sebuah perumpaan untuk diriku sendiri. Di hidup orang itu.

Rumput Taman.

Dia ditanam, hanya untuk mempercantik sebuah taman. Jikapun dia tak ada, taman itu tetap cantik dengan berbagai bunga warna-warni yang sedang mekar dan menebarkan harum, mengundang berbagai serangga cantik untuk menambah kesan indah pada sebuah tempat yang disebut taman.

Rumput taman, tak pernah dicari orang. Hanya sekali-dua dipuji orang. Tak seperti tanaman hias lainnya yang penuh warna, memikat setiap hati orang untuk datang. Tak juga seperti bangku taman yang dicari orang untuk sekedar mengistirahatkan badan.

Rumput taman tak pernah dicari orang.


 Sama seperti diriku yang tak pernah dicari olehnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini