Pacitan, beberapa bulan yang lalu, dari tempat tidur paling sudut.
Ini
masih jam setengah sebelas. Masih terlalu sore bagiku untuk meletakkan kepala
di atas bantal. Pikiranku belum ingin diistirahatkan. Masih melayang-layang,
tak tentu arah.
Aku
melirik foto-foto di atas meja. Fotoku yang sedang gila, fotoku dengan sepupuku,
fotoku sendiri yang berpose KTP, fotoku dengan saudaraku, fotoku dengan Bayu
Gatra, dan fotoku.... dengan orang itu. Foto yang sama dengan yang ada di dalam
dompet. Yang masih ingin terus kusimpan. Jangan sampai hilang. Itu kenangan
satu-satunya dengan dia.
Memori
tentang dia langsung merebak. Meruak. Berkelebat dengan cepat. Seiring detak
jantungku yang meningkat. Air mata tak kalah cepat segera keluar. Saling susul.
Semakin deras sampai kebas. Turun dengan bebas. Tak mampu tertahankan.
Jam
sebelas.
Air
mataku sudah agak menyusut. Linangan air mata sudah keluar dengan teratur,
satu-satu. Tak saling menyalip. Tak saling susul. Aku masih tergugu.
Tak
seharusnya aku menangisinya seperti ini. Tak seharusnya aku terjaga selama
beberapa malam akhir-akhir ini. Hanya karena aku tidak siap untuk mengucap
salam pisah dengannya. Ya. Untuk sebuah alasan yang tak akan kusebut di sini,
aku harus berpisah dengan dia. Membawa serta kenangan-kenangan tentang dia yang
akhirnya hanya membuatku menangis kencang. Seperti malam ini.
Aku
ada di dekatnya, dia diam saja. Aku tidak ada di hidupnya, dia biasa saja. Tak
berusaha mencari, tak berusaha melenyapkan.
Pernah
suatu kali dia menyapa sekaligus bertanya. Dengan suara yang masih kuingat
sampai detik ini; dengan derai tawa, ketika aku menjawab pertanyaannya dengan
nada bingung. Dengan ekspresi khasnya yang terus kuingat sampai malam ini.
Waktu itu, ketika aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan denyut jantungku
jika bertemu dengannya. Ketika aku merasa terbang ke angkasa setelah kalimat
sapa dan tanya, meluncur dari mulutnya. Saat aku merasa senang-sesenang-senangnya
jika dia ada di hadapan.
Yang
kutahu, pertanyaan darinya itu, hanya untukku. Bukan untuk manusia lain. Bukan
untuk temanku yang saat itu memang berkeliaran di dekatku, tapi... untukku. Just
for me. Ya, setidaknya saat itu. Aku tak tahu, dia sudah menanyakan apa
saja dengan orang lain. Semenjak aku harus pergi, dan dia harus tetap tinggal.
Semenjak, orang-orang baru datang ke kehidupannya. Semenjak orang-orang jadi
tahu, bahwa dia pantas untuk dicintai.
Kukira,
waktu itu, aku adalah orang istimewa dalam hidupnya. Karena waktu itu dia
bertanya, hanya padaku. Bukan untuk orang lain. Membuatku melambung tinggi,
tersenyum tanpa henti, dan berujung pada tangis yang tak kunjung berakhir
seperti malam ini. Aku menangis, karena aku tahu, kenangan itu tak akan
terulang. Hanya terus menggores hati, hingga jadi luka.
Hanya
kalimat tanya dan sapa itu yang membuatku merasa dia istimewakan. Tapi
ternyata, aku salah. Kalimat tanya dan sapa itu, adalah kalimat standardnya
untuk bersay-hello dengan kawan barunya (dulu aku adalah orang baru di
hidupnya). Tak ada yang spesial dari kalimat tanya itu. Sungguh, tak seharusnya
aku terus mengenang itu hingga kini. Hingga dia sendiri lupa telah melontarkan
kalimat tanya apa padaku.
Aku
bukan orang istimewa di hidupnya.
Pahit.
Dia tak pernah menanyakan kemana pergiku selama ini. Dia tak pernah meminta
penjelasan mengapa aku pergi. Seolah-olah aku ini tak berarti. Masuk di hidupnya
tanpa ucapan selamat datang, dan pergi dari hidupnya tanpa ucapan selamat
tinggal. Dia tak bertanya, otomatis aku tak menjawab. Jadi, bisa dipastikan
bahwa aku ini bukan orang yang membuatnya tertawa. Bukan orang yang mampu
membuatnya menangis sampai menyaruk-nyaruk tanah karena aku tak bisa tetap
tinggal. Bukan orang yang membuatnya mengucapkan serentetan alasan agar aku
tetap bisa bersamanya. Bukan.
Apakah
aku sampah di hidupnya?
Menurutku,
bukan. Nyatanya, dia tak pernah menyuruhku pergi jika aku tiba-tiba datang
kembali. Dia tak pernah memandangku jijik. Hanya menatap sekilas, lalu larut
kembali dalam kesibukannya (dia adalah manusia super sibuk). Dia hanya melihat
sekilas. Tak pernah memandang berlama-lama. Tak pernah sekalipun (setidaknya
itu yang kutahu—meski berharap lebih dari itu—bisa saja dia melihatku
diam-diam).
Jam
duabelas.
Air
mata sudah benar-benar kering. Kantung mata sudah benar-benar seperti sarang
marsupilami. Dan aku menemukan sebuah perumpaan untuk diriku sendiri. Di hidup
orang itu.
Rumput
Taman.
Dia
ditanam, hanya untuk mempercantik sebuah taman. Jikapun dia tak ada, taman itu
tetap cantik dengan berbagai bunga warna-warni yang sedang mekar dan menebarkan
harum, mengundang berbagai serangga cantik untuk menambah kesan indah pada sebuah
tempat yang disebut taman.
Rumput
taman, tak pernah dicari orang. Hanya sekali-dua dipuji orang. Tak seperti
tanaman hias lainnya yang penuh warna, memikat setiap hati orang untuk datang.
Tak juga seperti bangku taman yang dicari orang untuk sekedar mengistirahatkan
badan.
Rumput
taman tak pernah dicari orang.
Sama
seperti diriku yang tak pernah dicari olehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar