Sabtu, 14 Juli 2018

Another Wor(l)ds


        Kamu datang seperti biasa. Memakai kemeja yang tidak kamu kancingkan, kaos warna biru yang senada dengan kemejamu, sepasang sepatu yang sepertinya usai kamu cuci, jam tangan hitam dengan merk yang sama meskipun sudah berganti-ganti model, juga aroma parfum yang spontan menyambut hidungku ketika kamu menginjakkan kaki di teras rumah.

            Penampilanmu memang seperti biasa.

            Tapi kamu terlambat lima menit.

            Sebagai manusia yang selalu tepat waktu, sekalipun hanya untuk mengunjungi rumahku, aku tahu bahwa di luar kebiasaanmu ini, ada sesuatu yang patut menderingkan alarm di kepalaku.

            “Hai,” aku berusaha senyum. Kamu balas senyum, tapi tidak membalas sapaku. Kamu juga berjalan begitu saja melewatiku, mengucap salam kemudian menemukan kedua orang tuaku yang sedang bersantai di depan televisi, mencium tangan mereka, baru kemudian kembali ke depan, ke arahku.

            Kebiasaanmu. Selalu izin dulu pada mama papa, padahal mereka sudah tahu kalau kamulah yang akan membawaku hampir di setiap malam minggu. Dan aku pikir, sesuatu yang membuatku sempat memicingkan mata karena curiga ini, hanya akibat dari rindu yang bertumpuk, yang ingin keluar sekaligus. Maka dari itu aku pilih diam. Langsung berada di belakangmu setelah kamu menyalakan mesin motor, lantas kita melaju. Melintasi jalanan kota yang selalu ramai tiap akhir pekan, membuat kamu sering memilih jalan memutar, memasuki gang-gang kecil, atau menyusuri jalan bergelombang yang aspalnya telah rusak demi menghindari kemacetan di jantung kota. Padahal sama saja, bahkan kadang lebih lama untuk sampai di tempat tujuan. Tapi tidak apa-apa. Kalau jalannya sepi, kita bisa ngobrol lebih leluasa. Tidak perlu terganggu bising kendaraan, atau menutup hidung karena asap kendaraan bermotor di malam minggu bisa membuat paru-paru hampir sekarat.

            Aku sepakat.

            Berlama-lama bersama kamu itu lebih penting.

            Tapi malam ini tidak. Kamu memaksa motormu menambah sesak jalur protokol. Aku berkali-kali mencengkeram kemejamu kalau ada motor yang menyalip sembarangan atau kamu yang memutar tuas gas lebih dalam, padahal jalan masih penuh-penuhnya. Sementara sebelah tanganku terus membekap hidung dan mulut karena mobil bermesin diesel yang sedari tadi belum berhasil kamu dahului, membuang asap knalpotnya tanpa peduli.

            Kamu juga tidak peduli pada alarm yang ada di kepalaku sedang mendeking tajam, kan?

            Setelah berjuang hampir setengah jam, kamu menepikan motor di salah satu tempat makan yang hanya menyisakan satu meja. Entah karena kebetulan atau kamu yang sengaja memesan lebih dulu.

            “Mau pesan apa?” kamu bertanya, tapi belum duduk dan belum membuka buku menu. Sesaat aku mendongak, mengamatimu yang sepertinya agak berantakan juga sedikit tergesa.

            “Kamu mau ke toilet?” aku balik bertanya dan raut keteganganmu berganti seulas senyum. Mungkin menyeringai lebih tepat untuk ekspresi macam itu. “Ya sudah, kamu pipis dulu,” kataku.

            “Aku ikut kamu aja deh,” kamu menyorongkan buku menu ke arahku, bermaksud mengikuti apa saja yang aku pesan, kamu pasti makan.

            Seandainya kamu tidak lupa, aku dan kamu tidak pernah memesan makanan yang sama. Aku selalu ingin mencicipi lebih dari satu makanan maupun minuman dalam sekali kunjungan ke tempat makan. Memesan menu yang berbeda adalah sebuah keharusan. Aku tidak tahu apakah ketergesaanmu adalah akibat dari frustasi karena baru saja menghadapi macet parah, atau karena benar-benar ingin buang air kecil, atau kamu yang memang tidak pernah hafal kebiasaanku seperti aku yang selalu tahu apa yang sering kamu lakukan.

            Aku tidak merasa perlu menyalakan alarm soal ini, tapi entah kenapa instingku mengatakan sebaliknya.

            Sekembalinya dari toilet, kamu langsung duduk di depanku. Bertanya apakah aku sudah pesan, aku pesan apa, kemudian manggut-manggut, lantas diam. Sesuatu di luar kebiasaan, lagi-lagi mengganggu pikiranku. Biasanya kita selalu mencomot segala topik perbincangan, bahkan dari semenjak motor meninggalkan halaman rumah sampai ke tempat tujuan—entah tempat makan maupun nonton pertunjukan di alun-alun kota—pembicaraan itu terus berlanjut. Kadang aku merasa kalau setiap pertemuan itu selalu butuh extra time. Tapi tidak untuk sekarang. Kamu sepertinya enggan untuk buka suara.

            Aku pun berdeham, berusaha meraih fokusmu.

            “Eh, aku kemarin sempat berburu Lorien Legacies,” kataku berhasil membuatmu menatap kedua mataku. Sesaat.

            “Oh ya? Di mana?”

            “Tanya-tanya ke teman gitu. Beberapa dari online, sih. Masih baru. Tapi edisi keduanya susah, kayaknya sih nanti bakal dapat walaupun bekas,” beberku yang sangat aku yakini bahwa kedua mataku berbinar saat menceritakan ini.

            “Wah, bagus dong,” tanggapmu membuatku bahuku meluruh, kehilangan selera untuk melanjutkannya. Aku pun diam, dan sepertinya kamu paham kalau nada datarmu terlalu kentara. “Nggak papa kalau bekas. Yang penting masih bisa dibaca,” lanjutmu, tapi aku tahu bahwa itu tidak lebih dari sekadar basa-basi demi menghargaiku.

            Tidakkah kamu ingat bahwa kamulah yang membagi dunia itu? Bercerita panjang lebar, berbusa-busa mengenai isi ceritanya lantas membuatku tertarik? Dan sekarang justru akulah yang benar-benar mengikuti alur penulisnya sampai merelakan sebagian waktuku demi berburu serial lengkapnya sementara kamu yang membuatku jatuh cinta lebih dulu, hanya menanggapinya selintas lalu?

            Kamu sehat?

            “Permisi, pesanannya ya, Mbak, Mas,” seorang pramusaji menghentikan tatapan menyelidikku padamu. Beruntung karena kamu sekarang jadi punya alasan untuk menghindari tatapanku. Ada sesuatu yang bisa kamu main-mainkan daripada meladeni pembicaraanku.

            “Kamu kenapa?” tanyaku akhirnya.

            “Aku nggak papa,” jawabmu singkat.

            “Bohong,” sahutku cepat. Kamu mengalihkan pandangan sebentar dari makanan di meja, menatapku.

            “Aku...”

            “Hm?”

            “Banyak pikiran,”

            “Kamu bisa cerita ke aku,” kataku lagi masih dengan kedua mata yang menancap pada kamu. Kamu sama sekali tidak melihatku, tanganmu justru menggerak-gerakkan sedotan di gelas, memain-mainkan es berbentuk tabung di dalamnya, juga gerak-gerik tubuh kamu yang sepertinya serba salah, membuatku menyimpulkan dengan pasti bahwa kamu gelisah. Aku tahu itu. Tapi aku belum punya petunjuk apapun mengenai sesuatu yang membuatmu sebegitu resah.

“Soal sekolah?” tanyaku setelah beberapa saat terdiam, memikirkan beberapa kemungkinan yang paling mungkin terjadi dalam hidup kamu. Namun kamu menggeleng. “Bapak ibu kamu?” tanyaku lagi, dan kamu tetap menggeleng. Aku berdeham sebentar, menimbang-nimbang. “Nilai ujian sekolah yang jeblok?” tanyaku karena kehabisan ide, lantas kamu tertawa. Seketika itu pula aku tahu kalau bukan itu yang memenuhi pikiranmu. Aku sendiri sadar bahwa pertanyaanku terlalu tolol. Kamu tidak pernah mempermasalahkan nilai sekolah, apalagi sudah lulus begini. “Huuu.. katanya banyak pikiran,” ujarku sambil memberengut, berusaha menutupi keputusasaanku menganalisis pikiran kamu.

            “Iya, tapi bukan itu,” kamu senyum, sekadarnya. Menyesap minum, menyendok makanan, kemudian membuang pandangan jauh ke depan. Aku menelan ludah, menghela napas panjang. Aku tahu kalau kamu tidak berselera makan. Nafsu makanku sendiri sudah melesat pergi sejak tadi.

            “Samurai..”

            “Enggak ada apa-apa Alya,” kamu senyum lagi, kali ini sedikit lebih lama menatapku. Hanya sedikit, cuma memberitahuku bahwa kamu baik-baik saja dengan kosakata “banyak pikiran”, padahal belum cukup membuatku yakin soal itu. Kamu sedang ada masalah, tapi entah kenapa malam ini sepertinya kamu ingin menelan semuanya sendirian. Padahal ada aku yang mau mendengar ceritamu, keluh kesahmu, apa saja yang mengganggu pikiran kamu, karena semenjak kamu datang di hidupku, aku tahu bahwa aku tercipta untuk itu.

            “Samurai?” sebuah suara datang dari belakang punggungku, membuatmu sontak membulatkan mata, kemudian berdiri. Tersenyum lebar, dan aku pun akhirnya ikut bangkit, menoleh ke arah sumber suara. Baya. Segera dia menghampiri meja ini, bersalaman denganmu, sama-sama tersenyum lebar, bagai dua sahabat yang baru bertemu setelah lama terpisah.

            “Bagaimana seleksinya?” kamu bertanya basa-basi, karena aku yakin benar kamu sudah tahu kabar Baya sampai di tes tahap keberapa.

            “Doakan saja,” Baya menjawab diplomatis, kemudian beralih menatapku, siap meledekku yang kepergok sedang makan sama kamu, sambil bersalaman. Aku pun tertawa, berusaha terdengar renyah dan tidak terganggu dengan kedatangan dia yang terlalu tiba-tiba dalam situasi yang sama sekali tidak tepat ini. Satu yang membuatku sangat terganggu di sini adalah: tatapan kamu terhadap seseorang yang ingin aku depak jauh-jauh dari muka bumi.

            “Ke sana yuk, Ya?” kamu bertanya padaku, dengan kedua mata berbinar yang terlihat butuh persetujuan seraya mengarahkan dagu ke kasir. Seseorang berdiri di sana, berbicara sesuatu dengan pelayan.

            “Aku ke toilet dulu deh. Nanti nyusul,” jawabku akhirnya sambil pura-pura meringis. Entah di mata kamu, aku ini kelihatan ingin buang air kecil atau mau diare. Tapi aku tidak peduli. Ada sudut hatiku yang jauh lebih remuk dibanding rasa mual yang menguasai perutku saat ini.

            I hate you, Katana!

            Kenapa kamu selalu datang di antara aku dan Samurai? Dari cerita-cerita Samurai. Kemampuan fotografimu. Cita-citamu. Senyum kamu. Kebiasaan kamu. Juteknya kamu. Keseruan kamu. Lelucon kamu. Lagu favorit kamu. Parfum Samurai yang selalu kamu puji. Segalanya tentang kamu, yang berkali-kali dikisahkan Samurai sampai aku hafal di luar kepala—sampai aku merasa bahwa aku mengenal kamu padahal kita jarang sekali bertukar sapa. Kamu selalu ada di antara kami. Saat aku dan Samurai melintasi jalanan lengang kota tiap malam minggu, ketika kami makan berdua, waktu Samurai mengobrol lima menit setelah menurunkan aku di halaman rumah seolah hal-hal tentang kamu tidak pernah habis di hidup Samurai. Tapi apa yang kamu lakukan pada Samurai, Katana? Apa yang ada di pikiran kamu sampai kamu merasa bahwa Samurai adalah makhluk yang tidak berhak disayangi sedemikian rupa? Kamu tahu kenapa aku begitu benci sama kamu?

            Karena kamu mengubah Samurai.

            Kamu mengubah tatanan hidup Samurai.

            Dari jauh sebelum kamu berani datang menentangku siang itu—saat para panitia angkatan mengadakan rapat untuk acara Prom Night (baca novel SWORDS dulu biar paham), dan kamu justru menggagalkan acara itu—aku tahu bahwa Samurai menyukai kamu. Aku pun mulai memberi “tanda” pada kamu. Sosial media kamu. Kehadiran kamu yang bagiku hilang-timbul dalam hidup Samurai, karena aku tahu kalau saat itu Samurai lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku. Bahkan hingga kini. Tapi kenapa kamu seolah selalu menyusup di antara kami?

            Kenapa kamu selalu ada di depan mata Samurai?

            Aku ingin menangis, melepaskan sesak yang bergemuruh dalam dada, sayangnya logikaku memberitahu bahwa aku masih berada di toilet tempat makan yang sedang penuh-penuhnya. Aku tidak yakin Samurai tidak curiga kenapa aku berlama-lama di sini. Aku tidak ingin dia curiga jika aku tidak ingin bertemu Katana, meskipun memang begitu kenyataannya.

            Aku menarik napas panjang, mencuci muka di wastafel, berkaca sebentar, memastikan bahwa aku terlihat baik-baik saja, kemudian keluar.

            Perkiraanku tidak meleset. Baya, Katana, sekaligus kelompoknya itu sudah pergi. Kini Samurai—kamu, kulihat menyesap minuman, menyendok makanan. Duduk memunggungiku hingga aku ingin berada di sini saja, yang bisa memandangmu lama-lama, daripada berada tepat di depan muka kamu tapi tidak pernah kamu lihat. Sama saja kedua matamu tidak mengarah padaku, kan?

            “Permisi,” seseorang menyuruhku minggir dari depan pintu toilet, membuatku mau tak mau berjalan kembali ke meja. Menemukan kamu dengan muka berseri-seri.

            “Eh, Baya udah balik?” aku bertanya basa-basi setelah sampai di meja. Kamu mengangguk, kembali berkonsentrasi dengan makanan. Aku duduk, mengamati kamu yang makan tanpa keengganan seperti tadi.

            “Habisin punyaku ya,” kataku kemudian sambil mendorong piringku ke arahmu. Kamu bengong, berhenti mengunyah. “Perutku nggak enak,”

            “Kamu sakit?”

            “Mules aja,”

            “Berarti pulang?”

            “Kamu makan dulu nggak papa,”

            “Pulang aja. Daripada kamu lebih sakit, nanti makin repot,”

            “Samurai..”

            “Beli obat dulu?”

            “Ehm, nggak, nggak perlu,”

“Oke, pulang sekarang,” tandasmu lantas minum sampai habis, lalu menuju meja kasir. Aku mengemasi beberapa barangku—ponsel, powerbank—yang sempat tercecer di meja. Namun ketika aku membalikkan badan sambil mengalungkan tas, aku mendapati kamu terbengong-bengong di depan kasir. Dompetmu menggantung di udara sedangkan wajahmu terfokus pada pelayan di balik kasir yang tersenyum dan mengangguk. Setelah mendekat, aku baru tahu kalau semua makanan yang kita pesan sudah dibayar oleh seseorang yang sejak tadi menggayuti pikiranmu.

Aku hampir tidak dapat merasakan kedua kakiku yang masih berdiri.

            “Katana baik ya?” kamu membuka pembicaraan di tengah lalu lintas padat. Aku tertawa di belakangmu, pura-pura “ngeh”. “Aku pikir dia marah sama aku,” lanjutmu lagi, dan aku tahu benar bahwa kamu berbelok, mengarahkan motor menuju jalan kecil, melewati gang, menjauhi jalan utama. Yang aku tidak tahu adalah kamu yang tidak ingin terjebak kemacetan seperti saat kita berangkat tadi, atau karena kamu sudah punya topik obrolan yang tidak akan pernah bosan kamu bahas berulang kali?

            Tidakkah kamu lihat bahwa aku menyayangimu berjuta-juta kali lebih banyak dibanding perempuan itu, wahai temanku, Samurai Sastranagara? Hm?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini