Kamu datang
seperti biasa. Memakai kemeja yang tidak kamu kancingkan, kaos warna biru yang
senada dengan kemejamu, sepasang sepatu yang sepertinya usai kamu cuci, jam
tangan hitam dengan merk yang sama meskipun sudah berganti-ganti model, juga
aroma parfum yang spontan menyambut hidungku ketika kamu menginjakkan kaki di
teras rumah.
Penampilanmu memang seperti biasa.
Tapi kamu terlambat lima menit.
Sebagai manusia yang selalu tepat
waktu, sekalipun hanya untuk mengunjungi rumahku, aku tahu bahwa di luar
kebiasaanmu ini, ada sesuatu yang patut menderingkan alarm di kepalaku.
“Hai,” aku berusaha senyum. Kamu
balas senyum, tapi tidak membalas sapaku. Kamu juga berjalan begitu saja
melewatiku, mengucap salam kemudian menemukan kedua orang tuaku yang sedang
bersantai di depan televisi, mencium tangan mereka, baru kemudian kembali ke
depan, ke arahku.
Kebiasaanmu. Selalu izin dulu pada
mama papa, padahal mereka sudah tahu kalau kamulah yang akan membawaku hampir
di setiap malam minggu. Dan aku pikir, sesuatu yang membuatku sempat
memicingkan mata karena curiga ini, hanya akibat dari rindu yang bertumpuk,
yang ingin keluar sekaligus. Maka dari itu aku pilih diam. Langsung berada di
belakangmu setelah kamu menyalakan mesin motor, lantas kita melaju. Melintasi
jalanan kota yang selalu ramai tiap akhir pekan, membuat kamu sering memilih
jalan memutar, memasuki gang-gang kecil, atau menyusuri jalan bergelombang yang
aspalnya telah rusak demi menghindari kemacetan di jantung kota. Padahal sama
saja, bahkan kadang lebih lama untuk sampai di tempat tujuan. Tapi tidak
apa-apa. Kalau jalannya sepi, kita bisa ngobrol lebih leluasa. Tidak perlu
terganggu bising kendaraan, atau menutup hidung karena asap kendaraan bermotor
di malam minggu bisa membuat paru-paru hampir sekarat.
Aku sepakat.
Berlama-lama bersama kamu itu lebih
penting.
Tapi malam ini tidak. Kamu memaksa
motormu menambah sesak jalur protokol. Aku berkali-kali mencengkeram kemejamu
kalau ada motor yang menyalip sembarangan atau kamu yang memutar tuas gas lebih
dalam, padahal jalan masih penuh-penuhnya. Sementara sebelah tanganku terus
membekap hidung dan mulut karena mobil bermesin diesel yang sedari tadi
belum berhasil kamu dahului, membuang asap knalpotnya tanpa peduli.
Kamu juga tidak peduli pada alarm
yang ada di kepalaku sedang mendeking tajam, kan?
Setelah berjuang hampir setengah
jam, kamu menepikan motor di salah satu tempat makan yang hanya menyisakan satu
meja. Entah karena kebetulan atau kamu yang sengaja memesan lebih dulu.
“Mau pesan apa?” kamu bertanya, tapi
belum duduk dan belum membuka buku menu. Sesaat aku mendongak, mengamatimu yang
sepertinya agak berantakan juga sedikit tergesa.
“Kamu mau ke toilet?” aku balik
bertanya dan raut keteganganmu berganti seulas senyum. Mungkin menyeringai
lebih tepat untuk ekspresi macam itu. “Ya sudah, kamu pipis dulu,” kataku.
“Aku ikut kamu aja deh,” kamu
menyorongkan buku menu ke arahku, bermaksud mengikuti apa saja yang aku pesan,
kamu pasti makan.
Seandainya kamu tidak lupa, aku dan kamu
tidak pernah memesan makanan yang sama. Aku selalu ingin mencicipi lebih dari
satu makanan maupun minuman dalam sekali kunjungan ke tempat makan. Memesan
menu yang berbeda adalah sebuah keharusan. Aku tidak tahu apakah ketergesaanmu
adalah akibat dari frustasi karena baru saja menghadapi macet parah, atau
karena benar-benar ingin buang air kecil, atau kamu yang memang tidak pernah hafal
kebiasaanku seperti aku yang selalu tahu apa yang sering kamu lakukan.
Aku tidak merasa perlu menyalakan
alarm soal ini, tapi entah kenapa instingku mengatakan sebaliknya.
Sekembalinya dari toilet, kamu
langsung duduk di depanku. Bertanya apakah aku sudah pesan, aku pesan apa,
kemudian manggut-manggut, lantas diam. Sesuatu di luar kebiasaan, lagi-lagi
mengganggu pikiranku. Biasanya kita selalu mencomot segala topik perbincangan,
bahkan dari semenjak motor meninggalkan halaman rumah sampai ke tempat
tujuan—entah tempat makan maupun nonton pertunjukan di alun-alun
kota—pembicaraan itu terus berlanjut. Kadang aku merasa kalau setiap pertemuan
itu selalu butuh extra time. Tapi tidak untuk sekarang. Kamu sepertinya
enggan untuk buka suara.
Aku pun berdeham, berusaha meraih fokusmu.
“Eh, aku kemarin sempat berburu Lorien
Legacies,” kataku berhasil membuatmu menatap kedua mataku. Sesaat.
“Oh ya? Di mana?”
“Tanya-tanya ke teman gitu. Beberapa
dari online, sih. Masih baru. Tapi edisi keduanya susah, kayaknya sih
nanti bakal dapat walaupun bekas,” beberku yang sangat aku yakini bahwa kedua
mataku berbinar saat menceritakan ini.
“Wah, bagus dong,” tanggapmu
membuatku bahuku meluruh, kehilangan selera untuk melanjutkannya. Aku pun diam,
dan sepertinya kamu paham kalau nada datarmu terlalu kentara. “Nggak papa kalau
bekas. Yang penting masih bisa dibaca,” lanjutmu, tapi aku tahu bahwa itu tidak
lebih dari sekadar basa-basi demi menghargaiku.
Tidakkah kamu ingat bahwa kamulah yang
membagi dunia itu? Bercerita panjang lebar, berbusa-busa mengenai isi ceritanya
lantas membuatku tertarik? Dan sekarang justru akulah yang benar-benar
mengikuti alur penulisnya sampai merelakan sebagian waktuku demi berburu serial
lengkapnya sementara kamu yang membuatku jatuh cinta lebih dulu, hanya
menanggapinya selintas lalu?
Kamu sehat?
“Permisi, pesanannya ya, Mbak, Mas,”
seorang pramusaji menghentikan tatapan menyelidikku padamu. Beruntung karena
kamu sekarang jadi punya alasan untuk menghindari tatapanku. Ada sesuatu yang
bisa kamu main-mainkan daripada meladeni pembicaraanku.
“Kamu kenapa?” tanyaku akhirnya.
“Aku nggak papa,” jawabmu singkat.
“Bohong,” sahutku cepat. Kamu
mengalihkan pandangan sebentar dari makanan di meja, menatapku.
“Aku...”
“Hm?”
“Banyak pikiran,”
“Kamu bisa cerita ke aku,” kataku
lagi masih dengan kedua mata yang menancap pada kamu. Kamu sama sekali tidak
melihatku, tanganmu justru menggerak-gerakkan sedotan di gelas, memain-mainkan
es berbentuk tabung di dalamnya, juga gerak-gerik tubuh kamu yang sepertinya
serba salah, membuatku menyimpulkan dengan pasti bahwa kamu gelisah. Aku tahu
itu. Tapi aku belum punya petunjuk apapun mengenai sesuatu yang membuatmu
sebegitu resah.
“Soal
sekolah?” tanyaku setelah beberapa saat terdiam, memikirkan beberapa
kemungkinan yang paling mungkin terjadi dalam hidup kamu. Namun kamu
menggeleng. “Bapak ibu kamu?” tanyaku lagi, dan kamu tetap menggeleng. Aku
berdeham sebentar, menimbang-nimbang. “Nilai ujian sekolah yang jeblok?”
tanyaku karena kehabisan ide, lantas kamu tertawa. Seketika itu pula aku tahu kalau
bukan itu yang memenuhi pikiranmu. Aku sendiri sadar bahwa pertanyaanku terlalu
tolol. Kamu tidak pernah mempermasalahkan nilai sekolah, apalagi sudah lulus
begini. “Huuu.. katanya banyak pikiran,” ujarku sambil memberengut, berusaha
menutupi keputusasaanku menganalisis pikiran kamu.
“Iya, tapi bukan itu,” kamu senyum,
sekadarnya. Menyesap minum, menyendok makanan, kemudian membuang pandangan jauh
ke depan. Aku menelan ludah, menghela napas panjang. Aku tahu kalau kamu tidak
berselera makan. Nafsu makanku sendiri sudah melesat pergi sejak tadi.
“Samurai..”
“Enggak ada apa-apa Alya,” kamu
senyum lagi, kali ini sedikit lebih lama menatapku. Hanya sedikit, cuma
memberitahuku bahwa kamu baik-baik saja dengan kosakata “banyak pikiran”,
padahal belum cukup membuatku yakin soal itu. Kamu sedang ada masalah, tapi
entah kenapa malam ini sepertinya kamu ingin menelan semuanya sendirian.
Padahal ada aku yang mau mendengar ceritamu, keluh kesahmu, apa saja yang
mengganggu pikiran kamu, karena semenjak kamu datang di hidupku, aku tahu bahwa
aku tercipta untuk itu.
“Samurai?” sebuah suara datang dari
belakang punggungku, membuatmu sontak membulatkan mata, kemudian berdiri.
Tersenyum lebar, dan aku pun akhirnya ikut bangkit, menoleh ke arah sumber
suara. Baya. Segera dia menghampiri meja ini, bersalaman denganmu, sama-sama
tersenyum lebar, bagai dua sahabat yang baru bertemu setelah lama terpisah.
“Bagaimana seleksinya?” kamu
bertanya basa-basi, karena aku yakin benar kamu sudah tahu kabar Baya sampai di
tes tahap keberapa.
“Doakan saja,” Baya menjawab
diplomatis, kemudian beralih menatapku, siap meledekku yang kepergok sedang
makan sama kamu, sambil bersalaman. Aku pun tertawa, berusaha terdengar renyah
dan tidak terganggu dengan kedatangan dia yang terlalu tiba-tiba dalam situasi
yang sama sekali tidak tepat ini. Satu yang membuatku sangat terganggu di sini
adalah: tatapan kamu terhadap seseorang yang ingin aku depak jauh-jauh dari
muka bumi.
“Ke sana yuk, Ya?” kamu bertanya
padaku, dengan kedua mata berbinar yang terlihat butuh persetujuan seraya
mengarahkan dagu ke kasir. Seseorang berdiri di sana, berbicara sesuatu dengan
pelayan.
“Aku ke toilet dulu deh. Nanti
nyusul,” jawabku akhirnya sambil pura-pura meringis. Entah di mata kamu, aku
ini kelihatan ingin buang air kecil atau mau diare. Tapi aku tidak peduli. Ada
sudut hatiku yang jauh lebih remuk dibanding rasa mual yang menguasai perutku
saat ini.
I hate you, Katana!
Kenapa kamu selalu datang di antara
aku dan Samurai? Dari cerita-cerita Samurai. Kemampuan fotografimu.
Cita-citamu. Senyum kamu. Kebiasaan kamu. Juteknya kamu. Keseruan kamu. Lelucon
kamu. Lagu favorit kamu. Parfum Samurai yang selalu kamu puji. Segalanya
tentang kamu, yang berkali-kali dikisahkan Samurai sampai aku hafal di luar
kepala—sampai aku merasa bahwa aku mengenal kamu padahal kita jarang sekali
bertukar sapa. Kamu selalu ada di antara kami. Saat aku dan Samurai melintasi
jalanan lengang kota tiap malam minggu, ketika kami makan berdua, waktu Samurai
mengobrol lima menit setelah menurunkan aku di halaman rumah seolah hal-hal
tentang kamu tidak pernah habis di hidup Samurai. Tapi apa yang kamu lakukan
pada Samurai, Katana? Apa yang ada di pikiran kamu sampai kamu merasa bahwa
Samurai adalah makhluk yang tidak berhak disayangi sedemikian rupa? Kamu tahu
kenapa aku begitu benci sama kamu?
Karena kamu mengubah Samurai.
Kamu mengubah tatanan hidup Samurai.
Dari jauh sebelum kamu berani datang
menentangku siang itu—saat para panitia angkatan mengadakan rapat untuk acara Prom
Night (baca novel SWORDS dulu biar paham), dan kamu justru
menggagalkan acara itu—aku tahu bahwa Samurai menyukai kamu. Aku pun mulai
memberi “tanda” pada kamu. Sosial media kamu. Kehadiran kamu yang bagiku
hilang-timbul dalam hidup Samurai, karena aku tahu kalau saat itu Samurai lebih
banyak menghabiskan waktu bersamaku. Bahkan hingga kini. Tapi kenapa kamu
seolah selalu menyusup di antara kami?
Kenapa kamu selalu ada di depan mata
Samurai?
Aku ingin menangis, melepaskan sesak
yang bergemuruh dalam dada, sayangnya logikaku memberitahu bahwa aku masih
berada di toilet tempat makan yang sedang penuh-penuhnya. Aku tidak yakin
Samurai tidak curiga kenapa aku berlama-lama di sini. Aku tidak ingin dia
curiga jika aku tidak ingin bertemu Katana, meskipun memang begitu
kenyataannya.
Aku menarik napas panjang, mencuci
muka di wastafel, berkaca sebentar, memastikan bahwa aku terlihat baik-baik
saja, kemudian keluar.
Perkiraanku tidak meleset. Baya,
Katana, sekaligus kelompoknya itu sudah pergi. Kini Samurai—kamu, kulihat
menyesap minuman, menyendok makanan. Duduk memunggungiku hingga aku ingin
berada di sini saja, yang bisa memandangmu lama-lama, daripada berada tepat di
depan muka kamu tapi tidak pernah kamu lihat. Sama saja kedua matamu tidak
mengarah padaku, kan?
“Permisi,” seseorang menyuruhku
minggir dari depan pintu toilet, membuatku mau tak mau berjalan kembali ke
meja. Menemukan kamu dengan muka berseri-seri.
“Eh, Baya udah balik?” aku bertanya
basa-basi setelah sampai di meja. Kamu mengangguk, kembali berkonsentrasi
dengan makanan. Aku duduk, mengamati kamu yang makan tanpa keengganan seperti
tadi.
“Habisin punyaku ya,” kataku kemudian
sambil mendorong piringku ke arahmu. Kamu bengong, berhenti mengunyah. “Perutku
nggak enak,”
“Kamu sakit?”
“Mules aja,”
“Berarti pulang?”
“Kamu makan dulu nggak papa,”
“Pulang aja. Daripada kamu lebih
sakit, nanti makin repot,”
“Samurai..”
“Beli obat dulu?”
“Ehm, nggak, nggak perlu,”
“Oke,
pulang sekarang,” tandasmu lantas minum sampai habis, lalu menuju meja kasir. Aku
mengemasi beberapa barangku—ponsel, powerbank—yang sempat tercecer di
meja. Namun ketika aku membalikkan badan sambil mengalungkan tas, aku mendapati
kamu terbengong-bengong di depan kasir. Dompetmu menggantung di udara sedangkan
wajahmu terfokus pada pelayan di balik kasir yang tersenyum dan mengangguk.
Setelah mendekat, aku baru tahu kalau semua makanan yang kita pesan sudah
dibayar oleh seseorang yang sejak tadi menggayuti pikiranmu.
Aku
hampir tidak dapat merasakan kedua kakiku yang masih berdiri.
“Katana baik ya?” kamu membuka
pembicaraan di tengah lalu lintas padat. Aku tertawa di belakangmu, pura-pura
“ngeh”. “Aku pikir dia marah sama aku,” lanjutmu lagi, dan aku tahu benar bahwa
kamu berbelok, mengarahkan motor menuju jalan kecil, melewati gang, menjauhi
jalan utama. Yang aku tidak tahu adalah kamu yang tidak ingin terjebak
kemacetan seperti saat kita berangkat tadi, atau karena kamu sudah punya topik
obrolan yang tidak akan pernah bosan kamu bahas berulang kali?
Tidakkah kamu lihat bahwa aku
menyayangimu berjuta-juta kali lebih banyak dibanding perempuan itu, wahai
temanku, Samurai Sastranagara? Hm?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar