Minggu, 31 Januari 2016

Intuisi



Akhirnya dia benar-benar datang. Tersenyum lebar sambil menenteng tas. Wajahnya terlihat segar habis mandi. Dan benar saja. Aroma wangi yang aku tahu bukan produk parfum, menyambut hidungku saat dia mendekat. Dia masih seperti dulu. Ramah dan murah senyum.
             
Kemarin dia bilang akan pulang. Dan jika sempat, dia akan ke sini untuk membantuku belajar. Maka, seperti yang dulu-dulu. Aku akan menyiapkan ribuan pertanyaan, agar dia berbicara banyak-banyak. Juga, agar dia lebih lama duduk di sampingku. Berpura-pura tidak tahu, maka, ia akan menjelaskan banyak hal. Membicarakan sesuatu yang kutanyakan, dengan selingan canda. Diiringi gestur tangannya demi mempermudahku untuk mengerti. Dan aku selalu menyukai itu. Terkadang, aku bertanya lagi, lalu dia menggaruk kepala sebentar—memikirkan cara lain untuk menerangkan.

Rabu, 27 Januari 2016

Sebaiknya, Kamu Tetap (Tak) Peduli



Harusnya ini jadi sore yang membahagiakan. Aku sudah memperhitungkannya semenjak kita masih berbagi meja. Ketika kamu disuruh memilih nomor punggung untuk pertandingan sepak bola antar kelas, sore ini. Aku segera menghitung kalender, kurang berapa minggu setelah hari itu. Apalagi, kamu menyebut nomor punggung pemain bola favoritku. Kamu memilih nomor itu, membuatku kian bersemangat menunggu sore ini. Aku harus berfoto denganmu yang memakai nomor itu. Harus. Sebagai teman sebangku, tentu saja.
             
Tapi sepertinya hal itu berantakan. Beberapa hari mendekati pertandingan, kamu justru menjauh. Karena pengakuan tempo hari. Ketika aku baru tahu ternyata kamu tahu. Tentang perasaan itu. Tentang sesuatu yang aku sendiri masih ragu. Saat kamu berkata ‘Sebaiknya, jangan’ lalu mengambil tas dan memindahnya. Mengganti teman sebangku sekenanya. Egois. Tak peduli. Tak lagi berbagi meja.
            

Kamu Harus Baca Ini

#SWORDS's After Story

Hidupku tidak banyak berubah, seandainya kamu ingin bertanya keadaanku kini.              Bersyukur banyak-banyak karena sekolah lanjut...

Banyak yang Baca Ini